Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Friday, March 3, 2017

Tinjauan Hukum Mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Jual Beli Tiket Maskapai Penerbangan Melalui Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jucnto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Konsumen dalam melakukan jual beli secara elektronik memiliki risiko yang lebih besar daripada penjual atau merchant-nya. Dengan perkataan lain hak-hak konsumen dalam jual beli secara elektronik lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari jual beli secara elektronik sendiri, yakni dalam jual beli secara elektronik tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam jual beli secara elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merupakan dasar hukum bagi perlindungan konsumen di Indonesia, sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan dasar hukum bagi konsumen yang melakukan jual beli secara elektronik.
Jual beli secara elektronik menimbulkan berbagai permasalahan, maka dalam pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai permasalahan yang penting seputar jual beli secara elektronik dan pengaturan permasalahan tersebut menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selanjutnya, dalam transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah  yang  mendorong  jual beli secara elektronik di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan jual beli secara elektronik, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa:
1.      Wanprestasi      
Jual beli secara elektronik merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini merupakan suatu perjanjian, sehingga melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi  memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha merupakan kerugian bagi pihak konsumen. Bentuk-bentuk daripada wanprestasi yang  dilakukan  oleh  pelaku usaha ini antara lain :
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
Dalam jual beli secara elektronik, Pelaku usaha mempunyai  kewajiban untuk menyerahkan tiket yang ditawarkan kepada  konsumen dan  kewajiban  untuk menanggung  kenikmatan  tenteram  dan  menanggung  kesalahan tersembunyi. Apabila Pelaku usaha tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, maka pelaku usaha dapat dikatakan wanprestasi.
Situs-situs jual beli secara elektronik di Indonesia, jarang memberikan informasi mengenai perhitungan durasi waktu pesanan ataupun pengiriman, hal ini berbeda dengan Situs jual beli secara elektronik besar seperti singaporeairlines.com dan playasia.com yang selalu mencantumkan perkiraan durasi pemesanan tiket dan waktu pengiriman tiket.
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Contoh atau aplikasi dari wanprestasi ini adalah  konsumen membeli sebuah tiket penerbangan pada forum jual beli kaskus.us. menurut dekripsi tiket yang terdapat di iklan tersebut menyatakan  bahwa tiket penerbangan tersebut adalah tiket murah (akibat dari pembatalan suatu tiket).  Ketentuan yang ada menurut iklan tersebut adalah tiket untuk kelas bisnis. Akan tetapi setelah sampai di tempat,  konsumen tidak mendapatkan kelas bisnis sebagaimana  yang  tertera  dalam  iklan. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penjual telah melakukan wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagai mana mestinya.
c.       Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada nomor a) di atas.  jika tiket yang  dipesan  datang  terlambat,  tetapi  tetap dapat  dipergunakan, hal ini dapat digolongkan  sebagai  prestasi  yang terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.
d.      Melakukan Sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi konsumen yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. Informasi yang  disebarkan oleh pelaku usaha tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh konsumen sendiri  dan  cookies  yang  berasal  dari  situs  pelaku usaha.  Penyebaran terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen, terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.

2.      Kerugian akibat CyberCrime
Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  dalam  dunia  cyber  terdapat  berbagai  jenis kejahatan  yang  dapat  merugikan  konsumen. Kegiatan jual beli secara elektronik yang semakin meningkat pesat menarik minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam dunia cyber sering disebut  dengan  cyber  crimes.  Jenis-jenis dari e-crime adalah sebagai berikut:
a.       Penipuan financial menggunakan media komputer atau media digital;
b.      Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain, dan jaringan komunikasi data;
c.       Pencurian informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu;
d.      Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan privasi terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan (denial of service);
e.       Para pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke server  tertentu  atau  ke  internet  yang  tidak  diijinkan  oleh  peraturan organisasi;
f.       Menyebarkan  virus,  worm,  backdoor,  trojan pada  perangkat komputer sebuah organisasi yang mengakibatkan terbukanya akses-akses bagi orang-orang yang tidak berhak

Dengan demikian, upaya hukum yang dapat ditempuh oleh  konsumen dalam hal terjadi kerugian dalam transaksi jual beli tiket maskapai penerbangan melalui internet adalah  melalui dua macam upaya hukum yaitu:
a)        Upaya hukum preventif.
Upaya hukum preventif  dapat diartikan  sebagai  segala  upaya yang dilakukan guna  mencegah  terjadinya  suatu  peristiwa  atau  keadaan yang  tidak  diinginkan. Dalam jual beli secara elektronik,  keadaan  yang  tidak  diinginkan  ini  adalah  terjadinya kerugian, khususnya  kerugian  pada  pihak  konsumen. Upaya  preventif  perlu  untuk diterapkan  mengingat  penyelesaian  sengketa  jual beli secara elektronik  relatif  sulit,  memerlukan waktu  yang  lama  dalam  penyelesaiannya  dan  tidak  jarang  memerlukan  biaya  yang tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 (lima) bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) atas tiket penerbangan maskapai tertentu yang telah dibeli. Oleh karena itu, sengketa jual beli secara elektronik sebisa mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :
1)                Pembinaan Konsumen.
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana disebutkan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin  diperolehnya hak konsumen dan  pelaku  usaha  serta  dilaksanakannya  kewajiban  konsumen  dan  pelaku  usaha”.
Kemudian dalam ayat (4) disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk:
1.      Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen.
2.      Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.
3.      Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan  meningkatkan kegiatan penelitian  dan  pengembangan di  bidang  perlindungan konsumen.

                 Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/ menteri teknis terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Namun dalam  praktek,  peranan  pemerintah  dalam melakukan  edukasi/ pembinaan  terhadap konsumen  belum  begitu  maksimal, hal  ini dapat  dilihat  dari  rendahnya  kesadaran  konsumen  mengenai  hak-hak  yang dimilikinya dan  masih  rendahnya  keberanian  konsumen  untuk  menuntut  pelaku usaha.
2)        Pengawasan dan perlindungan oleh pemerintah maupun badan yang  terkait.
            Kewajiban  pemerintah  untuk  melakukan  pengawasan  dan  perlindungan tercantum dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal  40  ayat  (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik, disebutkan  bahwa: 
       “Pemerintah  melindungi  kepentingan  umum  dari  segala  jenis  gangguan  sebagai  akibat  penyalahgunaan  Informasi  Elektronik  dan  Transaksi   Elektronik  yang  mengganggu  ketertiban  umum,  sesuai  dengan  ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan”. 
                  Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat (3), (4), dan (5)  dimana apabila disimpulkan bahwa Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap  data  elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam:
a.    kebijakan  pemerintah  yang  memblokir  konten-konten internet yang  mengandung  unsur  pornografi  dan  konten  yang  berbau SARA. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik.
b.    Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (3),(4), dan (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik.
b)       Upaya hukum represif
            Upaya hukum represif  adalah  upaya  hukum  yang  dilakukan  untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum  yang  sudah  terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen salah satu hak konsumen adalah  mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal  4  huruf  e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Selain  itu,  salah  satu  kewajiban  pelaku  usaha  adalah memberikan  kompensasi,  ganti  rugi  dan/atau  penggantian  atas  kerugian  akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan sebagaimana diatur dalam Pasal  7  butir  f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam jual beli secara elektronik, banyak  hal  yang  bisa menimbulkan suatu sengketa sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem jual beli secara elektronik, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
            Dengan demikian, upaya hukum bagi jual beli secara elektronik yang di Indonesia dapat dilakukan melalui:
1)        Non Litigasi      
            Penyelesaian  sengketa  konsumen  diluar  pengadilan  di  selenggarakan  untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan  tertentu  untuk  menjamin  tidak  akan terjadinya  kembali  kerugian  yang diderita oleh konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur  non  litigasi  digunakan  untuk mengatasi  keberlikuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa “jika telah dipilih upaya  penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan  melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh  para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh  melalui  Lembaga  Swadaya  Masyarakat  (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan  Penyelesaian  Sengketa  Konsumen  (BPSK) dan pelaku usaha sendiri. Masing-masing badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan perkara yang ada.
            Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem full up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM, maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas  perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Dalam hal ini, YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua yakni  sistem  non-full  up, dalam  sistem  ini  YLKI  akan memberikan  konsultasi  dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up.

            Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK  akan mengundang para pihak  yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum  layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian  sengketa oleh BPSK adalah 21 (duapuluh satu) hari sejak  pengaduan diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut. Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran  telepon,  surat, dan e-mail yang  diterima oleh customer  service. Namun, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha  tidak dapat memuaskan konsumen. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia telah  memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts