Alih
fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal baru. Hal ini merupakan konsekuensi
dari pilihan pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun
pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk mengatur penentuan lokasi industri,
yang diantaranya sejauh mungkin dihindarkan pengurangan areal yang subur, namun
dalam kenyataannya banyak industri yang justru berdiri di lahan pertanian yang
subur. Hal ini berdampak pada perubahan struktur sosial masyarakat.
Menurut
laporan World Bank, struktur perekonomian kota-kota di indonesia mengalami
pergeseran dari pertanian ke industri. Lembaga ini memperkirakan kontribusi
sektor pertanian akan berkurang dari 20,2% (1990) menjadi 10,5% (2005),
sedangkan peran sektor industri diprediksi meningkat dari 27,3% menjadi
42,5% (Riyadi dalam Ambardi, 2002: 11).
Alih
fungsi lahan adalah sebuah mekanisme yang mempertemukan permintaan dan
penawaran terhadap lahan dan menghasilkan kelembagaan lahan baru dengan
karakteristik sistem produksi yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi dan
penduduk yang
memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota
bagi berbagai aktivitas ekonomi dan untuk pemukiman. Sebagai akibatnya, wilayah
pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian sawah beralih fungsi (konversi)
menjadi lahan non pertanian dengan tingkat peralihan
yang beragam
antar periode dan wilayah (Nugroho, 2004: 155).
Secara
garis besar, alih fungsi lahan dapat berjalan secara sistematis dan sporadis.
Peralihan secara sistematis memuat karakter perencanaan dan keinginan publik
sehingga luasan lahan hasil peralihan lebih terkendali dan terkonsolidasi
dalam kerangka
perencanaan tata ruang. Mekanisme ini terlihat dalam pembangunan kawasan
industri, pemukiman, dan sarana infrastrukturnya. Peralihan secara sporadis
memuat karakter lebih individual atau oleh sekelompok masyarakat sehingga
luasan hasil peralihan tidak dapat diprediksi dan menyebar tidak
terkonsolidasi
(Nugroho, 2004: 155).
No comments:
Post a Comment