Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Friday, March 3, 2017

Hakikat Etika


            Etika (ethics) bermakna sekumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, tata cara (adat, sopan santun) nilai mengenai benar dan salah, tentang  hak dan kewajiban yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat (Munir, 2006).
            Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksu kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
            Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafata ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
            Persamaan dan perbedaan etika dan akhlak bila ditelurusi mendalam akan lebih jelas. Persamaan  diantara keduanya adalah terletak pada objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
            Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut :
  1. dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
  2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal.
  3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dan sebagainya.
  4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.   
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain, etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Masalah etika tidak dapat dipisahkan dari masalah hakikat manusia yang hidup dengan segala dimensinya. Jadi, bukan semata-mata masalah teori tentang norma-norma kebaikan, melainkan meliputi seluruh perbuatan dan hidup manusia yang sesuai dengan hakikatnya (Aryani, 2010).
Manusia menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menyerahkan diri kepada-Nya, karena inti kepercayaan adalah menyerahkan diri. Di sini, manusia yang menghadapi misteri hidup meniadakan pengetahuan untuk memberi tempat kepada kepercayaan, seperti yang pernah diucapkan Kant, bahwa kepercayaan kepada Tuhan bukanlah masalah logika, melainkan masalah keterbukaan hati manusia. Hal itu pernah dikemukakan oleh Blaise Pascal dari abad ke-17, seorang jenius dalam ilmu pasti. Pascal mengemukakan, sumber kesusilaan adalah hati (Al Qalb), dan bukan akal.Akal yang pandai belum menjamin kebaikan hati, bahkan dapat mengerahkan segala nafsu yang jahat. Hati yang bersih dapat menerangi akal, sehingga akal dibawa ke jalan yang benar. Betapa pentingnya kedudukan hati di dalam proses berpikir.
Kita tidak akan jauh dari kebenaran, bila kita membahas masalah etika dengan bertitik tolak pada hakikat manusia itu sendiri atau hatinya, sebagai sumber kata hati atau konsiensi manusia yaitu instansi yang dapat menimbang dan memutuskan secara otonom dan bertanggung jawab apa itu kebaikan atau kebenaran. Jelaslah bahwa kesusilaan manusia tak dapat dilepaskan dari seluruh aspek kepribadian manusia yang mempunyai hakikat di dalam hati atau dirinya.
Menurut Drijarkara (Sutrisno, 2006:5), manusia bisa buruk dalam olahraga atau kesenian, dalam hal ini atau hal tersebut, ia dapat buruk raut wajahnya, cacat seluruh tubuhnya, atau dalam hal apa saja, akan tetapi selama moralnya tidak buruk, maka ia pun tidak buruk sebagai manusia,yang dapat menjadi baik atau buruk bukanlah sesuatu dari manusia, melainkan seluruh pribadi manusia. 
Masalah etika bersumber pada kepribadian manusia itu sendiri, ketertiban dan makna kehidupan, hal tersebut sudah tentu akan bertalian erat dengan pandangan tentang hakikat manusia dan hakikat dunia.sebab jika demikian, maka filsafat akan bertentangan dengan hakikat manusia dan hakikat dunia.
Menurut Aryani (2010), etika sebagai pedoman hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari tata tertib dunia atau kosmologi, yang tidak diketahui organisasinya, tertutama yang tersembunyi di belakang fenomena dunia ini. Etika tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari di dunia di mana kehidupan bersumber pada hakikat manusia itu sendiri.  
Tentang hakikat manusia paling sedikit ada tiga prinsip yaitu sebagai berikut :
a.       Manusia sebagai individu mempunyai harga diri. Manusia juga unik artinya satu sama lainnya berbeda dalam segala hal, diantaranya kepribadian, pengalaman, cita-cita dan nasibnya.
b.      Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup memisahkan diri dari orang lain, namun selalu membutuhkan orang lain untuk hidup.
c.       Manusia sebagai makhluk Tuhan harus selalu ingat bahwa ia hanya sekedar makhluk, dan ia akan mati. Pada hakikatnya, ia dikuasai oleh hukum yang berlaku bagi semua makhluk sampai akhir zaman.
Hidup etis tidak dapat dilepaskan dari dua dimensi hakikat manusia, yaiu kebebasan dalam bentuk realisasi dirinya, dan keterlibatan atau komitmennya terhadap Tuhan dan masyarakat. Di sini tampak adanya paradoks eksistensi manusia, yaitu bebas dan commited atau disebut hidup bertanggung jawab. Hidup bertanggung jawab secara bebas atau mandiri dapat menjamin integrasi manusia, sehingga ia memiliki hidup psycohygiene. Kedua hal tersebut yaitu bertanggung jawab dan   psycohygiene sebagai suatu aspek dari kehidupan etis. Di sini nampak hubungan yang erat antara psikologi sebagai behavioral science dengan etika (Aryani, 2010).
Psycohygiene atau kesehatan fisik, merupakan suatu kondisi mutlak bagi manusia yang ingin hidup produktif, kreatif, progresif, dan positif. Sebelum kondisi itu tercapai, manusia tak akan dapat melaksanakan cita-cita yang luhur. Kesejahteraan manusia tergantung pada kesejahteraan jiwanya, kesehatan jiwa menjamin keselamatan badan, sedangkan kesehatan badan tidak selalu menjamin kesehatan jiwa, suatu pendapat yang berlawanan dengan ungkapan mensana in corporesano. Keadaan jiwa seseorang dapat menyeimbangkan antara kepribadian sendiri dengan perasaan bersatu dengan keseluruhan hidup, yaitu kejiwaan orang yang selalu merasa bahagia di dalam hidupnya, dan tidak terganggu oleh cobaan hidupnya, dan tidak terganggu oleh cobaan hidup.
Kesusilaan bertalian erat dengan psycohygiene  dan agama. Suatu syarat yang mutlak bahwa kepribadian kita harus sehat atua normal, dan kenormalan harus maksimum supaya kita menjadi kepribadian yang produktif. Jika healthy personality dianalisa secara fenomenologis, akan terbukti bahwa kesehatan jiwa sama dengan kebahagiaan, kemerdekaan, kebaikan, kesusilaan, dan religi. Kepribadian produktif yang telah dapat merealisasikan diri dan tidak hidup parasiter, adalah kepribadian yang susila, sehat dan bahagia

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts