Etika (ethics) bermakna sekumpulan
azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, tata cara (adat, sopan santun)
nilai mengenai benar dan salah, tentang
hak dan kewajiban yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat
(Munir, 2006).
Etika merupakan sinonim dari akhlak.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni ethos
yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksu kebiasaan adalah kegiatan
yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti
merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut
filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran.
Persamaan dan perbedaan etika dan
akhlak bila ditelurusi mendalam akan lebih jelas. Persamaan diantara keduanya adalah terletak pada objek
yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya
tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana
akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadist.
- dilihat dari segi objek pembahasannya, etika
berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
- Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada
akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak
bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal.
- Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi
sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut
akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dan sebagainya.
- Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif
yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan
manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain, etika adalah aturan
atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
Masalah etika tidak dapat dipisahkan dari masalah hakikat manusia yang
hidup dengan segala dimensinya. Jadi, bukan semata-mata masalah teori tentang
norma-norma kebaikan, melainkan meliputi seluruh perbuatan dan hidup manusia
yang sesuai dengan hakikatnya (Aryani, 2010).
Manusia menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
menyerahkan diri kepada-Nya, karena inti kepercayaan adalah menyerahkan diri.
Di sini, manusia yang menghadapi misteri hidup meniadakan pengetahuan untuk
memberi tempat kepada kepercayaan, seperti yang pernah diucapkan Kant, bahwa
kepercayaan kepada Tuhan bukanlah masalah logika, melainkan masalah keterbukaan
hati manusia. Hal itu pernah dikemukakan oleh Blaise Pascal dari abad ke-17,
seorang jenius dalam ilmu pasti. Pascal mengemukakan, sumber kesusilaan adalah
hati (Al Qalb), dan bukan akal.Akal yang pandai belum menjamin kebaikan hati,
bahkan dapat mengerahkan segala nafsu yang jahat. Hati yang bersih dapat menerangi
akal, sehingga akal dibawa ke jalan yang benar. Betapa pentingnya kedudukan
hati di dalam proses berpikir.
Kita tidak akan jauh dari kebenaran, bila kita membahas masalah etika
dengan bertitik tolak pada hakikat manusia itu sendiri atau hatinya, sebagai
sumber kata hati atau konsiensi manusia yaitu instansi yang dapat menimbang dan
memutuskan secara otonom dan bertanggung jawab apa itu kebaikan atau kebenaran.
Jelaslah bahwa kesusilaan manusia tak dapat dilepaskan dari seluruh aspek
kepribadian manusia yang mempunyai hakikat di dalam hati atau dirinya.
Menurut Drijarkara (Sutrisno, 2006:5), manusia bisa buruk dalam olahraga
atau kesenian, dalam hal ini atau hal tersebut, ia dapat buruk raut wajahnya,
cacat seluruh tubuhnya, atau dalam hal apa saja, akan tetapi selama moralnya
tidak buruk, maka ia pun tidak buruk sebagai manusia,yang dapat menjadi baik
atau buruk bukanlah sesuatu dari manusia, melainkan seluruh pribadi
manusia.
Masalah etika bersumber pada kepribadian manusia itu sendiri, ketertiban
dan makna kehidupan, hal tersebut sudah tentu akan bertalian erat dengan
pandangan tentang hakikat manusia dan hakikat dunia.sebab jika demikian, maka
filsafat akan bertentangan dengan hakikat manusia dan hakikat dunia.
Menurut Aryani (2010), etika sebagai pedoman hidup manusia tidak dapat
dipisahkan dari tata tertib dunia atau kosmologi, yang tidak diketahui
organisasinya, tertutama yang tersembunyi di belakang fenomena dunia ini. Etika
tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari di dunia di mana
kehidupan bersumber pada hakikat manusia itu sendiri.
Tentang hakikat manusia paling sedikit ada tiga prinsip yaitu sebagai
berikut :
a.
Manusia sebagai individu mempunyai harga diri. Manusia
juga unik artinya satu sama lainnya berbeda dalam segala hal, diantaranya
kepribadian, pengalaman, cita-cita dan nasibnya.
b.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup
memisahkan diri dari orang lain, namun selalu membutuhkan orang lain untuk
hidup.
c.
Manusia sebagai makhluk Tuhan harus selalu ingat bahwa
ia hanya sekedar makhluk, dan ia akan mati. Pada hakikatnya, ia dikuasai oleh hukum
yang berlaku bagi semua makhluk sampai akhir zaman.
Hidup etis tidak dapat dilepaskan dari dua dimensi hakikat manusia, yaiu
kebebasan dalam bentuk realisasi dirinya, dan keterlibatan atau komitmennya
terhadap Tuhan dan masyarakat. Di sini tampak adanya paradoks eksistensi
manusia, yaitu bebas dan commited
atau disebut hidup bertanggung jawab. Hidup bertanggung jawab secara bebas atau
mandiri dapat menjamin integrasi manusia, sehingga ia memiliki hidup psycohygiene. Kedua hal tersebut yaitu
bertanggung jawab dan psycohygiene
sebagai suatu aspek dari kehidupan etis. Di sini nampak hubungan yang erat
antara psikologi sebagai behavioral
science dengan etika (Aryani, 2010).
Psycohygiene atau kesehatan
fisik, merupakan suatu kondisi mutlak bagi manusia yang ingin hidup produktif,
kreatif, progresif, dan positif. Sebelum kondisi itu tercapai, manusia tak akan
dapat melaksanakan cita-cita yang luhur. Kesejahteraan manusia tergantung pada
kesejahteraan jiwanya, kesehatan jiwa menjamin keselamatan badan, sedangkan
kesehatan badan tidak selalu menjamin kesehatan jiwa, suatu pendapat yang
berlawanan dengan ungkapan mensana in
corporesano. Keadaan jiwa seseorang dapat menyeimbangkan antara kepribadian
sendiri dengan perasaan bersatu dengan keseluruhan hidup, yaitu kejiwaan orang
yang selalu merasa bahagia di dalam hidupnya, dan tidak terganggu oleh cobaan
hidupnya, dan tidak terganggu oleh cobaan hidup.
Kesusilaan bertalian erat dengan psycohygiene dan agama.
Suatu syarat yang mutlak bahwa kepribadian kita harus sehat atua normal, dan
kenormalan harus maksimum supaya kita menjadi kepribadian yang produktif. Jika healthy personality dianalisa secara
fenomenologis, akan terbukti bahwa kesehatan jiwa sama dengan kebahagiaan,
kemerdekaan, kebaikan, kesusilaan, dan religi. Kepribadian produktif yang telah
dapat merealisasikan diri dan tidak hidup parasiter, adalah kepribadian yang
susila, sehat dan bahagia
No comments:
Post a Comment