Mata
pelajaran matematika merupakan seperangkat kompetensi yang dibakukan dan harus
dicapai oleh siswa pada akhir periode pembelajaran. Standar ini dikelompokkan
dalam kemahiran matematika bilangan, pengukuran, geometri, aljabar, statistik,
peluang, trigonometri, dan kalkulus.
Marpaung
(2001) menyatakan bahwa kemampuan hasil belajar matematika di Sekolah Dasar
masih rendah. Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang telah menekankan pada
pencapaian target artinya semua bahan harus selesai diajarkan, dan bukan
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika.
Faktor
lain yang cukup penting adalah bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang
selama ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi
(metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif
mendengarkan dan menyalin. Sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab,
guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi latihan soal yang sifatnya
rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian.
(Marpaung, 2001)
Akhirnya
terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika
rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak
kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan prosedur yang berlaku
jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang
diharapkan tidak terjadi.
Tidak
heran apabila belajar dengan cara menghapal tersebut tingkat kemampuan kognitif
anak yang terbentuk hanya pada aturan tingkat yang rendah. Kecenderungan anak
terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang terjadi dalam
pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.
Cara-cara
menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian, anak belajar
mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur dan
sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi
kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya
untuk menjawab pertanyaan.
Belajar
dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan
mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka
mencari gampang saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan
yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis. Anak akan
kehilangan motivasi untuk belajar lebih jauh dan mendalam untuk memahami konsep
matematika.
Proses
pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara berkembang
termasuk di Indonesia (Armanto, 2001). Untuk mengatasi permasalahan di atas,
perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa dengan mengubah paradigma
mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu pembelajaran yang lebih memfokuskan
pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent)
konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.
Proses
mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak berpikir
logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang berulang-ulang
akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan
bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala
bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru
diharapkan secara dini dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir logis.
Sikap
merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu,
konsep, kumpulan, ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan
sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara
deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda,
mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa
terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak
matematika.
Berkaitan
dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain
Ruseffendi (1991 : 36), mengatakan bahwa anak-anak menyukai matematika hanya
pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi
tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin
berkurang minatnya.
Siswa
yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain
terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan
baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan
tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, selesai pada waktunya.
Dengan
demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu
diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami,
tidak menakutkan dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena
itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai
dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal.
Salah
satu keberhasilan dalam pendidikan yang dapat ditampakkan adalah dari prestasi
belajar siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa banyak
macamnya. Dua diantara faktor-faktor tersebut adalah faktor yang berasal dari
luar diri siswa misalnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk belajar dan
faktor sosial yakni faktor manusia. Adapun faktor dari dalam diri siswa dapat
berupa kondisi fisiologis ataupun psikologis, yakni hal-hal yang mendorong
(memotivasi) aktivitas belajar.
No comments:
Post a Comment