Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Friday, March 3, 2017

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar


Mata pelajaran matematika merupakan seperangkat kompetensi yang dibakukan dan harus dicapai oleh siswa pada akhir periode pembelajaran. Standar ini dikelompokkan dalam kemahiran matematika bilangan, pengukuran, geometri, aljabar, statistik, peluang, trigonometri, dan kalkulus.  
Marpaung (2001) menyatakan bahwa kemampuan hasil belajar matematika di Sekolah Dasar masih rendah. Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang telah menekankan pada pencapaian target artinya semua bahan harus selesai diajarkan, dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika.
Faktor lain yang cukup penting adalah bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang selama ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi (metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin. Sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi latihan soal yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian. (Marpaung, 2001)
Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan prosedur yang berlaku jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.
Tidak heran apabila belajar dengan cara menghapal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada aturan tingkat yang rendah. Kecenderungan anak terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang terjadi dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.
Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian, anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan.
Belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampang saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis. Anak akan kehilangan motivasi untuk belajar lebih jauh dan mendalam untuk memahami konsep matematika.
Proses pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara berkembang termasuk di Indonesia (Armanto, 2001). Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.
Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak berpikir logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru diharapkan secara dini dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis.
Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan, ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika.
Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1991 : 36), mengatakan bahwa anak-anak menyukai matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya.
Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, selesai pada waktunya.
Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal.

Salah satu keberhasilan dalam pendidikan yang dapat ditampakkan adalah dari prestasi belajar siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa banyak macamnya. Dua diantara faktor-faktor tersebut adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa misalnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk belajar dan faktor sosial yakni faktor manusia. Adapun faktor dari dalam diri siswa dapat berupa kondisi fisiologis ataupun psikologis, yakni hal-hal yang mendorong (memotivasi) aktivitas belajar.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts