1. Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal
kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi
yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak
berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan
kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang
Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan
bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah
SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep
pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan
divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu
azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai
Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh
kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS)
sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah
pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali
berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang
Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di
Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama
hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian
di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
2. Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan
bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja).
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.
Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian
berikut.
3. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan
di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :
1. Akad
Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian
menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad
pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad
ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang
bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
Rukun dari akad
transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat
digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang
bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah
disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah
timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya
perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi
Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang
dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari
uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang
hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan
barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad.
Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang
jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun
Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin
dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu
jelas dan tertentu.
3. Marhun
(barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak
terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4. Jumlah maksimum
dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn
ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin
dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum
uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran
barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad
dengan kesepakatan :
1. Jangka
waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2. Nasabah
bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari
kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat
melunasi pinjaman.
3. Membayar
biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan
uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini
diberikan kelonggaran untuk :
·
melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu
empat bulan,
·
mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah
berjalan ditambah bea administrasi,
·
atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan,
maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual,
selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak
merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan
selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun
ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan
menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
4. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang
benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian
syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal
dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank
Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama
dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik
transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1. Di Pegadaian
konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai
sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional
hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang
bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang
jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa
tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan
praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara
mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan
No comments:
Post a Comment