Menurut Wortman dkk. ada beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam memberikan pertolongan kepada orang lain.
1. Suasana hati.
Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan
terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. Itu mengapa pada masa puasa,
Idul Fitri atau menjelang Natal orang cenderung memberikan derma lebih banyak.
Merasakan suasana yang enak itu orang cenderung ingin memperpanjangnya dengan
perilaku yang positif. Riset menunjukkan bahwa menolong orang lain akan lebih
disukai jika ganjarannya jelas. Semakin nyata ganjarannya, semakin mau orang
menolong (Forgas & Bower).
Bagaimana dengan suasana hati yang buruk?
Menurut penelitian Carlson & Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan
untuk menolong meningkat pada orang yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang
yang tidak bahagia mencari cara untuk keluar dari keadaan itu, dan menolong
orang lain merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi lain tidak meyakini peran
suasana hati yang negatif itu dalam altruisme.
2. Empati.
Menolong orang lain membuat kita merasa enak.
Tapi bisakah kita menolong orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang
mementingkan diri sendiri (selfish)? Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan
empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah
mengalaminya sendiri). Empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang
untuk melakukan pertolongan altruistis.
3. Meyakini Keadilan Dunia.
Faktor lain yang mendorong terjadinya altruisme
adalah keyakinan akan adanya keadilan di dunia (just world), yaitu keyakinan
bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan yang baik akan dapat
ganjaran. Menurut teori Melvin Lerner, orang yang keyakinannya kuat terhadap
keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka
melihat orang yang tidak bersalah menderita. Maka tanpa pikir panjang mereka
segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang yang kemalangan.
4. Faktor Sosiobiologis.
Secara sepintas perilaku altruistis memberi
kesan kontraproduktif, mengandung risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan
mati. Ketika orang yang ditolong bisa selamat, yang menolong mungkin malah
tidak selamat. Perilaku seperti itu antara lain muncul karena ada proses
adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain itu, meskipun
minimal, ada pula peran kontribusi unsur genetik.
5. Faktor Situasional.
Apakah ada karakter tertentu yang membuat
seseorang menjadi altruistis? Belum ada penelitian yang membuktikannya. Yang
lebih diyakini adalah bahwa seseorang menjadi penolong lebih sebagai produk
lingkungan daripada faktor yang ada pada dirinya.
6. Faktor Penghayatan Terhadap Agama
Agama manapun didunia ini semuanya menganjurkan
perilaku menolong. Sehingga semakin tinggi tingkat penghayatan keagamaan
seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku menolongnya. Perilaku menolong
didasari karena sikap berbakti kepada manusia sebagai wujud ketaatannya kepada
Tuhan. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, tentu saja spiritualitas ini
dikembangkan melalui persatuan dengan Tuhan, juga dengan sesama umat manusia
dan alam semesta ciptaan-Nya. Dengan itu, prososial akan menjadi ciri khas yang
melekat dalam diri seseorang karena orang lain disadari sebagai bagian dari
hidupnya. Prososial bukan lagi berupa tindakan temporer yang disertai pamrih pribadi.
No comments:
Post a Comment