Ismail Marzuki lahir
dan dibesarkan di Batavia, jantung kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia
waktu itu. Semangat zaman memang sangat mempengaruhi dan membentuk kepribadian
Ismail Marzuki dalam menekuni dan menjatuhkan pilihan sebagai musikus, profesi
yang saat itu masih di pandang sebelah mata. Menurut sejumlah sumber, untuk
kali pertama Ismail Marzuki mencipta lagu berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan
syair bahasa Belanda itu dibuat saat dia berusia tujuh belas tahun (1931),
nyaris bersamaan waktunya dengan pembebasan Sukarno salah seorang pemimpin PNI
pada bulan Desember 1931.
Pada tahun 1947,
presiden pertama Republik Indonesia ini mengarang buku yang berjudul Sarinah.
Menurut Sukarno, “saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika
masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Dialah yang
mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah.
Mengajarku mencintai rakyat. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa.
Ia adalah kekuasaan terbesar dalam hidupku”. Hubungan antara judul lagu ciptaan
Ismail Marzuki dan judul buku karangan Sukarno mungkin tidak berkaitan, namun
jelas keduanya lebih dari sekedar nama seorang perempuan. Sarinah adalah
perlambang bangsa yang tertindas atau, menurut tafsir Firdaus Burhan, “istilah
nasional yang melambangkan seantero rakyat Indonesia yang tertindas ”. Uniknya,
radio NIROM justru yang kali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh
Sarinah.
Pada periode 1935-1937
Ismail marzuki mencipta beberapa lagu, di antaranya kroncong Serenata(1935), Oh
Jauh di Mata, Roselani (1936; bernuansa Hawaiian), Setambul Sejati(1937), dan
Kasim Baba (1937). Pengaruh kelompok-kelompok sandiwara yang tumbuh subur sejak
pertengahan tahun 1930-an tampak jelas dalam lagu ciptaan Ismail Marzuki.
Lagu-lagu tradisional dan barat pun ditekuninya sejak 1936 sampai 1937.
Lagu-lagu barat yang tenar waktu itu adalah Bei Mir bist du Schoen, Adios
Muchachos, Beer Barrel of Polka, White Chapel in the Moonlight, dan Amapola.
Ketika duduk dibangku
sekolah dasar (HIS), Marzuki Saeran mendorong Ismail Marzuki untuk mendaftarkan
diri sebagai salah satu anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), kwartir
Surya Wirawan, Gang Kenari. Ismail Marzuki mulai berkenalan dengan dunia
gerakan. Pada waktu hampir bersamaan, beberapa tokoh masyarakat Betawi,
termasuk Muhammad Husni Thamrin, mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi. Organisasi
ini lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan kaum Betawi, khususnya di bidang
budaya, bahasa, musik, pengajaran, perdagangan, kerajinan, perawatan, kesehatan,
dan sebagainya.
Ismail Marzuki pun ikut
bergerak di dalam organisasi itu, kendati hanya diberi tugas sebagai kurir
dengan wilayah operasi mulai dari daerah sekitar Kwitang sampai Laan Tegalan
(sekarang kawasan Matraman) dan Solitude. Perlahan-lahan nama Ismail Marzuki
mulai dikenal luas, khususnya dilingkuangan Sport Organisasi Pemuda Betawi
(salah satu Onderbouw Perhimpunan Kaum Betawi). Ismail Marzuki kemudian dipilih
sebagai ketua Modern Gambus dan Harmonium Orkes Kombinasi pada 1939.Selain Ismail
Marzuki, pengusur lain “cabang musik” yang bergabung dengan Sport Organisasi
Pemuda Betawi pada pertengahan 1938 ialah Halid Thabrani (penulis), Miming
(Bendahara), Mohammad Siradj, Muslim Abdul Gani, M. Bakrie (pembantu), M.
Nazirdan HM Jasin Aldjawi (Technisch-leider).
Saat-saat akhir
Kolonialisme Belanda di Indonesia, Ismail Marzuki mencipta sejumlah lagu yang
sebagian besar berkisar keresahan jiwa muda, berkisah tentang kehidupan
manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat pada judul dan syair
lagu-lagu Malam Kemilau, Siapakah Namanya, Sederhana, Keroncong, Sukapuri,
Ani-ani Potong Padi Rumba, lagu-lagu tersebut diciptakan pada tahun 1940-an.
Ismail Marzuki yang bekerja di radio NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian
pindah ke PPRK pada bulan November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini
sampai dengan kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan di atas kian
mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selaku pemusik pejuang. Posisinya jelas:
berperan aktif dalam setiap keadaan. Bersama beberapa kawan, Ismail Marzuki
konsisten memegang nilai-nilai “merdeka” yang diperjuangkan selama itu. PPRK
dan VORO adalah hasil dari kesinambungan sikap perjuangan semacam itu.Mereka
memposisikan diri secara tepat dan mengambil setiap kesempatan, baik sebagai
pengubah(lagu kepahlawanan dan Cinta Tanah Air) maupun penyiar (melalui PPRK
dan VORO) pesan-pesan keindonesiaan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita
memandang Ismail Marzuki sebagai salah satu orang Indonesia yang turut aktif
berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar
biasa dibidang musik, maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari
jati dirinya selaku manusia Indonesia tentunya di perjuangkan lewat musik.
Seaindainya Ismail marzuki mengungkapkan atau memberikan program-program
politik penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang akan di
sandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentuakan menjadi lain.
Bulan Februari 1942
Jepang mengirim armada-armada kapal lengkap dengan berbagai rencana untuk membentuk
pemerintahan militer di wilayah pendudukan. Dua dokumen yang melandasi kegiatan
itu adalah “Asas-asas Mengenai Pemerintahan di Wilayah-wilayah Selatan yang
Diduduki” dan “Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut
mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-wilayah Pendudukan.” Kedua dokumen
diambil dalam “Konferensi Penghubung” yang diadakan di Tokyo bulan November
1941. Markas Besar Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang menyusun dan memakai
dokumen-dokumen khusus untuk setiap pemerintahan militer di daerah pendudukan.
Pada intinya, dokumen tersebut menekankan soal pemulihan ketertiban dan
keamanan, pencarian sumber kebutuhan vital, serta pemenuhan kebutuhan pasukan
tempur secara berdikari (swasembada). Pembentukan pemerintah di setiap daerah
pendudukan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pemindahan
seluruh kekuasaan administrasi Belanda ke tangan tentara Jepang. Tahap
berikutnya diberlakukan pemerintahan militer sangat ketat. Semua jabatan
dipegang oleh perwira militer.
Tahap terakhir adalah
pergeseran dan peralihan ke pemerintahan “semi-militer.” Hampir semua jabatan
diserahkan kepada Gunzoku(orang-orang sipil yang bekerja pada dinas militer)
yang dikirim bergelombang ke nusantara sejak bulan Mei sampai Agustus 1942. Kebanyakan
dari mereka adalah pedagang, teknisi, perawat, juru tulis, ahli pertanian, ahli
kehutanan, ahli pertambangan, ahli kesehatan, perkapalan, minyak, geisha, dan
lain-lain. Sekitar 4.000 orang Jepang pernah tinggal di Indonesia.
Kedatangan Jepang
disertai pula dengan keinginan untuk menghapus semua pengaruh Belanda (politik,
ekonomi, dan budaya) sekaligus membangun hegemoni baru dalam kehidupan rakyat.
Patung Jan Pieterszoon Coen, salah satu simbol kekuasaan Belanda di Indonesia,
dibongkar. Semua nama jalan yang memakai bahasa belanda di ganti. Gubernur
Jendral beserta istri, para pegawai pemerintah kolonial, direktur perusahaan
serta pimpinan beberapa lembaga dijebloskan ke kamp-kamp tawanan perang.
Dua minggu setelah
berhasil menguasai Indonesia secara resmi, pemerintah pendudukan Jepang
melarang semua bentuk aktivitas politik. Simbol-simbol keindonesiaan seperti
bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya dilarang dikibarkan dan
dinyanyikan. Partai-partai politik dibubarkan, pertemuan atau rapat-rapat organisasi
bisa diadakan asalkan telah mengantongi surat izin. Surat-surat kabar dan
majalah berbahasa Belanda, Cina dan Indonesia dilarang terbit. surat-surat
kabar Sipatahunan dan Nicork Expres di bandung dihentikan penerbitannya dan
diganti surat kabar Tjahaja. Surat kabar Mataram di Jogjakartra berganti nama
menjadi Sinar Matahari. Kecuali Sinar Baroe, seluruh surat kabar di Semarang
dilarang terbit. Semua surat kabar milik orang Indonesia, Cina, Belanda di
Surabaya dilarang beredar. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang menerbitkan
surat kabar Soeara Asia.
Sebagaimana diketahui,
radio tidak kalah penting sebagai alat komunikasi massa. Setelah menutup dan
menghentikan semua aktivitas siaran radio, pemerintah Jepang mendirikan Djawa
Hoso Kanrikyoku pada tanggal 1 Oktober 1942. Badan yang mengurus dan
menyelenggarakan siaran radio di pusat maupun di daerah-daerah itu
mengambil-alih semua peran yang pernah dimainkan NIROM, VORO, PPRK dan
sebagainya.
No comments:
Post a Comment