Kyai Haji Ahmad Dahlan
lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri Muhammadiyah
ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama
Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq,
Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang
Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH.
Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Dengan maksud mengajar
agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang
melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya
terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi
Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur
dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa
tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia. Saran itu kemudian ditindaklanjuti
Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah
pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha
memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Bagi Kiai Dahlan, Islam
hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan
dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al
Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca
ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di
dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai
dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan
masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan
memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan,
Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang
menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan
umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah
umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga
semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah
sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun
tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang organisasi, pada
tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita.
Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah
ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda,
Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama
Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi.
Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang.
Pembentukan Hizbul
Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan
bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot
melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan
keadaan dan kemajuan zaman. Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini
agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah
yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam
bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Ketika mengadakan
dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai
palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan
suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan
mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima
perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang
diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini
dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat
mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini
ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang
dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota
Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu
organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Pada usia 66 tahun,
tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas
jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau
gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan
tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember
1961.
No comments:
Post a Comment