Keluarga merupakan benih akal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Anak-anak mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku dengan demikian keluarga adalah elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan amat besar. Keluarga adalah salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses naturalisasi social, membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang akan terus bertahan lama.
Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku individu serta pembentukan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak karena melalui keluarga anak-anak mendapatkan bahasa, nilai-nilai, serta kecenderungan mereka ,Keluarga bertanggungjawab mendidik anak-anak dengan benar dalam kriteria yang benar, jauh dari penyimpangan. Untuk itu dalam keluarga memiliki sejumlah tugas dan tanggungjawab. Tugas dan kewajiban keluarga adalah bertanggungjawab menyelamatkan faktor-faktor cinta kasih serta kedamaian dalam rumah, menghilangkan kekerasan, keluarga harus mengawasi proses-proses pendidikan, orang tua harus menerapkan langkah-langkah sebagai tugas mereka.
Menurut Fuad Ihsan fungsi lembaga pendidikan keluarga, yaitu keluarga merupakan pengalaman pertama bagi anak-anak, pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga akan tumbuh sikap tolong menolong, tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera, keluarga berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial. (Fuad Ihsan, 2001 : 18).
selain itu Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama, dalam membentuk jati diri generasi penerus bangsa(1). Anak-anak yang dilahirkan dalam bingkai keluarga adalah aset utama penerus pembangunan nasional, yang oleh karenanya harus dicetak untuk memiliki karakter yang kokoh dan memiliki jati diri bangsanya. Perwarisan nilai-nilai budaya sangat tepat dilakukan di lembaga keluarga, karena pendidikan dalam keluarga merupakan modal dasar bagi perkembangan kepribadian anak pada masa dewasanya.
Para ahli pendidikan meyakini, pada tiga tahun pertama
usia anak adalah fase pembangunan struktur otak, sedangkan usia tujuh tahun
hampir sempurna otak dibentuk. Pada umur-umur tersebut, anak sebagian besar
waktunya berada di rumah. Dengan demikian keluarga sangat memberikan pengaruh
dalam pembentukan kepribadian yang mendasar seseorang, seiring dengan fase
perkembangan otak tersebut.
Namun sekarang ini banyak keluarga yang rapuh yang
kurang mempunyai daya tahan, sehingga mudah mengalami guncangan dan disfungsi.
Data statistik lembaga Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre (WCC) tahun 2009 mencatat jumlah layanan pengaduan dan
bantuan diberikan kepada 204 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus
kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu 91,67% di wilayah
Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan sekitarnya.
Meskipun jumlah perempuan korban yang ditangani Mitra
Perempuan tahun 2009 menurun 26,88% dibandingkan tahun sebelumnya (2008: 279
orang, 2007: 283 orang), tetapi jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami
oleh korban cukup serius dan terjadi peningkatan jumlah perempuan yang menempuh
upaya hukum sebagai implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(2).
Data-data di atas hanyalah contoh sebagian fakta
tentang kondisi keluarga di Indonesia, dimana sangat rentan terhadap munculnya
berbagai macam permasalahan hingga ke tingkat kekerasan baik secara fisik
maupun psikis. Dampak dari globalisasi telah memasuki wilayah privat, yaitu
kehidupan dalam keluarga. Struktur keluarga tradisionaltelah berubah,
terutama di kota-kota besar.
Tingginya tingkat perceraian, kekerasan
dalam rumah tangga, munculnya ibu yang masih remaja, ibu
yang bekerja yang seluruh waktunya tercurah untuk pekerjaan di luar rumah, adalah
bagian dari perubahan bentuk dan struktur keluarga. Keluarga konvensional
yang konsepnya adalah solidaritas, saling menerima, saling percaya, saling
tergantung satu sama lain untuk saling memenuhi keiginan dan kebutuhan sehingga
tercapai ketentraman dalam kehidupan keluarga, pada saat ini hal
tersebut dianggap sudah tidak layak dan tidak sesuai lagi,
karena dianggap tidak modern.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional
telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas
dalam diri individu, keluarga dan masyarakat. Heilbroner menyatakan bahwa “masa
depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa
depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif
kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain
masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila
manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta
kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak
dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu”.
“Dengan kata lain”, lanjut Heilbroner, “manusia yang
tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan
yang dahsyat yang membawanya ke tempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya
sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”(3).
Padahal jika ditilik dari fungsinya, keluarga adalah
lembaga pendidikan pertama yang membentuk alam spiritual dan moral seorang anak bangsa. Pendidikan
nilai di dalam keluarga merupakan pokok utama bagi bertahannya manusia yang bermartabat
dan memiliki jati diri yang utuh. Pendidikan
nilai ini tidak bisa ditipkan kepada lembaga pendidikan formal saja, atau
kepada Pemerintah, atau diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, namun harus
dimulai dan dibingkai dalam kehidupan keluarga.
Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan
bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai
distorsi pada diri anak lebih tinggi. Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan
dalam keluarga menjadi semakin terasakan urgensinya, ketika kita mendapatkan
kenyataan buruknya kondisi kehidupan saat ini. Masih tingginya tingkat korupsi,
banyaknya penyalahgunaan wewenang dan jabatan, banyaknya penyimpangan moral,
menandakan belum bagusnya kualitas pendidikan, termasuk di dalam keluarga.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan moral bangsa
Indonesia, tidak cukup dengan memberikan pendidikan moral. Karena moral tidak
pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dan terpengaruh oleh aspek
yang lain. Oleh karena itu, upaya yang perlu dihadirkan adalah pendidikan yang
bercorak integral, yang memadukan berbagai sisi dan dimensi kemanusiaan secara
utuh. Pendidikan integratif yang diimplementasikan dalam keluarga akan
menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban
bangsa di masa depan yang lebih baik.
Perubahan sosial, budaya dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak
dari perubahan individu dan keluarga. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa keluarga
merupakan laboratorium bagi sebuah peradaban masa depan bangsa yang dicitakan
No comments:
Post a Comment