Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan
lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa
Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi
Hamzah:
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan
dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris.
Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia
sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental
(Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo
Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern
dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil.
Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law”
dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut
dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana oleh Negara adalah semata-mata suatu cara pemerintah (negara)
agar untuk melindungsi kepentingan hukum seseorang/warga negara. Menurut Stahl,
bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap
tata tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu maka
kepada negara diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku
kejahatan. Dalam kenyataannya penjatuhan pidana itu adalah penderitaan bagi si
pelaku tindak kejahatan, oleh karena itu timbul persoalan apa dasar hukumnya
negara menjatuhkan hukuman yang dapat menimbulkan penderitaan seseorang pelaku
tindak pidana ?
Dalam hukum pidana dikenal
beberapa teori antara lain :
1. Teori Absolut atau teori pembalasan
Teori ini membenarkan
pemidaan karena seseorang telah melakukan sutu tindak pidana. Pembalasan yang
berupa pidana mutlak harus diberikan kepada pelaku tindak pidana tanpa
mempersoalkan akibat dan masa depan terpidana, seperti kata pepatah: darah
bersabung darah, nyawa bersabung nyawa atau oog o moog, tand om tand.
Teori ini muncul pada
akhir abad ke-18 yang menurut teori absolute ini adalah penjatuhan pidana
diberikan semata-mata kepada orang telah melakukan suatu kejahatan, karena
kejahatan itu mengakibatkan pendetitaan kepada orang yang terkena kejahatan,
maka teori absolute pidana itu merupakan hukum yang mutlak harus ada sebagai
pembalasan kepada orang yang melakukan tindak pidana. Jadi dasar pembenaran
pemidaannya terletak pada kejahatan itu sendiri.
Pada dasarnya tindakan
pembalasan ini dapat diihat dari dua sudut yaitu :
a) Sudut
subyektif yang pembalasannya ditujukan langsung kepada pembuat salah.
b) Sudut
Obyektif yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi rasa balas dendam
masyarakat.
Menurut Stahl, bahwa Tuhan
menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata tertib yang
diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu maka kepada negara
diberikan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan.
2. Teori Relatif/ Teleologis (Teleological
Theory)
Teori ini membenarkan
pemidaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk
perlindungan masyarakat dan mencegah terjadinya kejahatan. Teori ini mempersoalkan
akibat dari pemidanaan terhadap penjahat di samping kepentingan masyarakat
serta pencegahan untuk masa mendatang.
3. Teori Gabungan
Penjatuhan suatu pidana
harus memberikan rasa kepuasan bagi hakim, penjahat, maupun masyarakat. Harus
ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan.
Dengan mempertimbangkan masa lalu (seperti pembalasan) juga mempertimbangkan
masa depan (seperti tujuan), maka teori ini ingin memperbaiki kelemahan pada
dua teori sebelumnya.
No comments:
Post a Comment