Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Saturday, February 25, 2017

Keadaan Politik Yang Mendorong Inspirasi


Ismail Marzuki adalah salah seorang musikus dan pengubah lagu yang sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Proses kreatif  Ismail Marzuki boleh dikatakan berhubungan erat dengan perkembangan sosial politik di Indonesia pada masa akhir kolonialisme Belanda dan sepanjang masa pendudukan Jepang. Perkembangan di Indonesia sejak tahun 1930-an ditendai oleh berbagai gelombang pasang-surut yang amat menentukan hubungan sosial-politik yang terjalin diantara pemerintah kolonial Belanda dan rakyat jajahan, khususnya “kaum pergerakan.” Sebagaimana diketahui, beberapa pemimpin Perserikatan Partai Nasional Indonesia (PNI) kembali melanjutkan garis perjuangan lama setelah dibebaskan dari penjara.
Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda memakai berbagai cara untuk meredam aktivitas politik sekaligus menghambat gagasan-gagasan kaum pergerakan,, baik kooperatif maupun non kooperatif. Selain menangkap, menahan, memenjarakan, atau membuang sebagian dari mereka keluar Jawa, pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan. Surat kabar atau media yang dianggap melanggar undang-undang pers kolonial dapat segera dibredel. Redakturnya ditangkap, ditahan, atau dimasukan kedalam penjarah. Para guru sekolah dilarang menjadi anggota atau menghadiri rapat organisasi pergerakan. Pemerintah kolonial berjanji akan ikut campur tangan aparat keamanan (PID = Politieke Inlichtingen Dienst) apabila kaum pergerakan mau bersikap lebih kooperatif.
Untuk mencegah partai-partai politik bebas berkeliaran menarik simpati masyarakat luas, pemerintah kolonial memberlakukan vergader verbod (larangan berkumpul dan menyelenggarakan rapat). Rakyat dilarang keras mendendangkan lagi-lagu mars milik beberapa organisasi sosial-politik. Indonesia Raya yang senantiasa dinyanyikan dalam acara pembukaan dan penutupan rapat-rapat partai politik, serta lagu-lagu mars Partai Indonesia Raya, Persatuan Bangsa Indonesia, dan Gedung Nasional Indonesia (ciptaan Wongso Atmodjo), boleh diperdengarkan secara instrumental, tetapi tidak boleh dinyanyikan. Semua itu atas nama menjaga rust en orde (kemanan dan ketertiban) yang intinya adalah agar roda mesin kekuasaan dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan lebih lancar.
Penguasa silih berganti mengatur Indonesia. Sebagian berpaham liberal (lunak), sebagian lagi konserfatif (keras). Keras ataupun lunak, penjajah tetap penjajah. Dalam kondisi represif sekalipun toko partai harus tetap menjalin hubungan dengan rakyat. Rakyatpun akan menaruh simpati jika partai politik memuat program-program yang merakyat. Itulah yang membentuk persepsi rakyat tentang citra perhimpunan politik yang sesungguhnya, itu pula yang megubah pandangan kaum pergerakan tentang arti penjarah, suatu persepsi yang sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kejadian penangkapan dan pembuangan ke Boven Digul menyusul kegagalan pemberontakan kaum komunis 1926-1927.
Situasi plotik di Indonesia berkembang tidak menentu sejak 1934. Represi, baik terhadap pengurus maupun partai politik, membuat kaum pergerakan dikubu non koopratif seolah-olah berjalan ditempat. Aktifitas kaum pergerakan didalam partai Sarekat Islam, misalnya. Organsiasi masa yang berganti nama menjadi partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) itu mengalami kemunduran cukup berarti sejak pertengahan tahun 1920-an. Sebagian kaum pergerakan memang mulai menggunakan pranata Volksraad sebagai wahana menuju Indonesia merdeka.
Pembentukan Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum pada 19 Mei 1918. Ketika dibentuk tali pertama, Volksraad beranggotakan 39 orang (termasuk ketua) : 15 bumiputera dan 23 mewakili golongan Eropa dan Timur Asing. Pada 1927 dan 1930, anggotanya ditambah menjadi 55 orang dan 60 orang. Namun, mereka yang mewakili kepentingan pribumi mayoritas rakyat di Indonesia hanya 25 orang dan 30 orang. Sebagian kaum pergerakan, baik didalam maupun diluar Volksraad, menganggap lembaga ini tidak lebih sebagai meminjam istilah Agus Salim –“komedi omong.” Parlemen tiruan (schijn parlement) itu dinilai mereka tidak bisa menjalankan fungsi sebagai mana mestinya. Pemerintah kolonial belanda memang selalu mengabaikan keputusan-keputusan lembaga tersebut. Pendek kata, Volksraad merupakan basa basi politik perpanjangan tangan pemerintah kolonial, dan pengelabuan terhadap semua aspek kehidupan rakyat Indonesia.
Menurut sejumlah sumber, untuk kali pertama Ismail Marzuki mencipta lagu berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan syair Bahasa Belanda itu dibuat saat dia berusia 17 tahun (1931). Sarinah adalah perlambang bangsa yang tertindas atau, menurut tafsir Firdaus Burhan, “Istilah Nasional yang melambangkan santero rakyat Indonesia yang tertindas.” Uniknya, radio NIROM justru yang tali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh Sarinah. Namun demikian, ada semacam ruang kosong diantara periode 1931 sampai 1935 dalam proses kreatif Ismail Marzuki di bidang cipta mencipta lagu.
Dua tahun sesudah mencipta Oh Sarinah, dia mengubah lagu Periangan ciptaan A Rivai. Perkembangan sosial politik yang berlangsung di Indonesia pada  periode tersebut ikut mempengaruhi proses kreatif Ismail Marzuki. Pada periode 1935-1937 Ismail Marzuki mulai mencipta beberapa lagu, diantaranya Kroncong Serenata (1935), Oh Jauh Dimata, Roselani (1936), Stambul Sejati (1937) dan Kasim Baga (1937). Stambul Sejati bermodus minor dengan melodi melayu Sumatra Utara yang kental dengan keroncong stambul, sementara Kasim Baba mengambil latar cerita “Hikayat 1001 Malam.”[38]
Saat-saat akhir kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda, Ismail Marzuki mencipta sejumlah lagu yang sebagian besar berkisar keresahan jiwa muda, berkisah tentang kehidupan manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat pada judul dan syair lagu-lagu Malam Kemilau (1940; instrumental), Siapakah Namanja (1940), Sederhana (1940), Krontjong Sukapuri (1940), Bintangku (19 40), dan Arjuna Rumba (1940). Ismail Marzuki yang bekerja di Radio NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian pindah ke PPRK pada bulan November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini sampai dengan kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan diatas kian mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selain pemusik Pejuang. Posisinya jelas: berperan aktif dalam setiap keadaan. Bersama beberapa kawan, Ismail Marzuki konsisten memegang nilai-nilai “merdeka” yang diperjuangkan selama itu. PPRK dan VORO adalah hasil dari kesinambungan sikap perjuangan semacam itu. Mereka memposisikan diri secara tepat dan mengambil setiap kesempatan, baik sebagai pengubah (lagu kepahlawanan dan cinta Tanah Air) maupun penyair (melalui  VORO dan PPRK) pesan-pesan keindonesiaan.

Oleh karena itu sudah sepatutnya kita memandang Ismail Marzuki sebagai salah satu orang Indonesia yang turut aktif berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar biasa dibidang musik, maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari jati dirinya selaku manusia Indonesia tentunya diperjuangkan lewat musik. Seandainya Ismail Marzuki mengungkapkan atau membeberkan program-program politik penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang akan disandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentu akan menjadi lain.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts