ABSTRAK
Tahun-tahun pertama kehidupan manusia merupakan periode yang
sangat penting dan kritis. Keberhasian tumbuh kembang anak di tahun-tahun
pertama akan sangat menentukan hari depan anak. Kelainan atau penyimpangan
apapun kalau tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, apalagi
yang tidak terdeteksi akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak di
kemudian hari. Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal tergantung pada
potensi biologiknya.
Tingkat trcapainya berbagai faktor yang saling berkaitan,
yaitu faktor genetik, lingkungan bio-psiki-sosial dan perilaku. Lingkungan
merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.
Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,
sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Proses yang unik dengan hasil
akhir yang berbeda-eda memberikan ciri tersendiri pada setiap anak.. Untuk itu
orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan
tumbuh kembang anak secara optimal.
Kata kunci : lingkungan, tumbuh kembang, pembentukan
karakter.
A. Pendahuluan
Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup,
kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak
perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik
sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang
berkarakter serta berkepribadian baik.
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal
oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya,
institusi terkesil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan
individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang
melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh
karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi
yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak
hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga.
Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap
aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter
kehilangan jati dirinya. Tanpa di sadari budaya telah mengalami pergeseran
(akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun
sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya
lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ttakala budaya buruk dari luar
ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga. Seperti budaya
kekerasan, minum minuman keras, penyalahgunaan narkoba atau seks bebas.
Disinilah peran orang tua ditantang untuk mampu mengembalikan karakter anak
dalam kapasitas agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.
B. Tumbuh Kembang Anak :
Sebuah Realitas
Sejak dilahirkan ke dunia setelah bersemayam dalam kandungan
selama 9 bulan 10 hari, anak memliki ciri khusus yang membedakan dari orang
dewasa, yakni terus tumbuh dan berkembang (Sunartini, 2001: 1). Tumbuh kembang
anak sebenarnya sudah dimulai sejak pembuahan (konsepsi) sampai anak dewasa
(kira-kira umur 21 tahun). Jadi tumbuh kembang ini merupakan suatu proses yang
panjang dari satu sel menjadi berjuta sel manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara prinsip dapat
dibagi dalam 4 periode, yaitu masa balita, pra sekolah, masa pertengahan
kanak-kanak dan masa renaja. (Herini Sarminto, 2004: 1). Periode penting dalam
tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini terjadi
pertumnuhan dan perkembangan dasar yang akan memperngaruhi perkembangan
selanjutnya. Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan bertambahnya tinggi dan berat
badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan sebagainya.
Pertumbuhan anak ditunjukkan dengan faktor gizi dan nutrisi. Sementara
perkembangan anak ditunjukkan dengan perkembangan psikomotor, perkembangan
mental dan intelektual, perkembangan sosial, kemampuan komunikasi, perilaku dan
perkembangan seksual. Perkembangan anak ini akan dipengaruhi oleh faktor bawaan
dan lingkungan (Hibana S. Rahman, 2002 :37).
Menurut Herini Sarminto (2004 : 2) faktor bawaan (genetik)
merupakan faktor yang dibawa anak sejak lahir. Faktor bawaan ini merupakan
modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi
bawaan yang bermutu bila dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif
akan diperoleh hasil akhir yang optimal. Sementara faktor lingkungan merupakan
faktor diluar individu. Lingkungan ini merupakan lingkungan
bio-fisika-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari
konsepsi sampai akhir hayatnya. Secara garis besar faktor lingkungan ini dibagi
menjadi dua yaitu : (1) Lingkungan anak sebelum anak lahir, misalnya gizi ibu,
obat-obatan, penyakit ibu, stress, posisi janin, gangguan hormon, radiasi,
infeksi dan sebagainya; (2) Posisi setelah anak lahir, misalnya gizi anak,
penyakit-penyakit, gangguan hormon, perumahan, kebersihan, stimulasi, stress,
kasih sayang, stabilitas rumah tangga dan adat istiadat.
Terkait dengan tumbuh kembang anak para ahli psikologi
perkembangan sepakat bahwa usia balita adalah “The Golden Age” atau masa emas
dalam tahap perkembangan hidup manusia. Dikatakan sebagai masa emas karena pada
masa ini tidak kurang 100 milyar sel otak siap untuk distimulasi agar
kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal dikemudian hari. Dalam
banyak penelitian menunjukkan kecerdsan anak usia 0-4 tahun terbangun 50% dari
total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa usia 4 tahun pertama adalah masa-masa paling menentukan dalam membangun
kecerdasan anak dibanding masa-masa sesudahnya. Artinya bila pada usia tersebut
tidak mendapat rangsangan yang maksimal maka potensi tumbuh kembang anak tidak
akan teraktualisasikan secara optimal. Disamping itu bukan tidak mungkin bila
pada masa ini anak tidak dapat mengalami gangguan perkembangan emosi, sosial,
mental, intelektual dan moral sangat menentukan karakter cara bersikap dan pola
perilakunya (Anik Rahmani Yudhastawa, 2005 : 10)
C. Hak Anak
Membicarakan kelangsungan hidup dimuka bumi ini adalah
membicarakan manusia, karena manusia merupakan makhluk paling dominan dalam
kehidupan dan lebih khusus untuk kelangsungan hidup masa dengan tergantung pada
anak sebagai generasi penerus. Anak merupakan bagian dari generasi muda,
penerus cita-cita dan perjuangan bangsa. Disamping itu anak merupakan sumber
daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai
ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan. (Sri Sugiharti,
2005: 1) Tentang apa saja hak anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
mengeluarkan resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on
the Rights of the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah
diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden
nomor 36 tahun 1990. sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak yang didalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu:
1. Hak untuk memperoleh
keberlangsungan hidup
2. Hak untuk tumbuh dan
berkembang
3. Hak untuk berpartisipasi
4. Hak untuk memperoleh
perlindungan
Menurut Noor Siswanto (2002:5) secara lebih terinci ada
sebelas hak yang dimiliki oleh anak antara lain : (1) hak untuk didaftar sejak
kelahirannya, hak atas nama, memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin
mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya; (2) hak mempertahankan identitas;
(3) hak tidak dipisahkan dengan orang tua; (4) hak berhubungan dengan orang
tua; (5) hak menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama; (6) hak
kemerdekaan berserikat dan berkumpul; (7) hak memperoleh bantuan khusus dari negara
bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga; (8) hak menikmati norma
kesehatan tertinggi dan hak memperoleh pendidikan; (9) hak memperoleh
pemeliharaan, perawatan serta perlindungan; (10) hak untuk beristirahat,
bersantai, bermain dan hak untuk turut serta dalam kegiatan rekreasi dan; (11)
hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan
yang bersifat pornografis serta pemakaian narkoba.
Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang
anak dapat berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang
tentu menjadi kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk didalamnya
institusi pendidikan) untuk memenuhinya.
Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang
berkwalitas menurut Sri Mirmaning Tyas (2005:10) sesungguhnya tidak dapat hanya
disandarkan pada institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga
besar, pemerintah, swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu
dimaksimalkan. Mendasarkan pada hak dasar anak maka hak yang paling sering
diabaikan adalah hak partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan
dirinya. Orang dewasa, guru, orang tua, pendidik seringh kali merasa lebih
berhak menentukan apa yang terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis
karakter anak. Sehingga yang terjadi kemudian amat banyak orang tua yang
“Gagal” didik sejak kecil itu, melahirkan anak-anak yang “Gagal” seperti
dirinya.
D. Membangun Karakter Anak
Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang
pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang
petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan
sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan,
sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang
bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian
menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah
mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur,
petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, danmerawatnya jangan sampai
kena hama pengganggu (Suharsimi Arikunto 2004 : 1).
Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik
kejiwaan anak, tidak semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset
keluarga, yang sekaligus aset bagsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat
dikatakan jauh lebih mudah dengan mendidik ajiwa karena pertumbuhanya dapat
dengan langsung diamati, sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui
pantulannya.
Menurut Oppenheim (dalam Suharsimi Arikunto, 2004 : 2)
karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap
(attitude) dan perilaku (behavior). Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak,
tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu
sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu
terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan
demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter
atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan pendidikan yang
diberikan oleh pendidik.
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik
berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian,
perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/perilaku yang negatif lainnya
seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah
satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak. Era globalisasi memang telah
mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa
memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau
buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan
bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak
perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku
individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat
maupun bangsa (Gunarwan, 2005 : 10).
Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan
hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang
menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia
dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong,
tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan
mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang
kandali atas kertas putih tersebut.
Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil akhir seorang
anak sangat ditentukan oleh gen (sifat, karakter, biologis) orang tuanya.
Pepatah sering mendukung teori ini dengan perumpamanaan: air hujan mengalir tak
jauh dari atapnya. Sifat kareakter, hingga yang lebih ekstrim lagi nasib
anak-anak dianggap tidak akan jauh dari situasi orang tuanya. Penganut paham
ini sangat kenatar jika sampai pada keputusan menentukan jodoh anak-anaknya.
Orang tuanya cocok, maka hubungan anaknya boleh berlanjut, namun jika tidak
cocok maka biasanya orang tua tidak akan memberi restu hubungan anaknya.
Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di atas
di tambah denagn faktor mileu (lingkungan). Teori ini banyak dipakai oleh para
psikolog maupun pengembang pendidikan. Teori ini meyakini bahwa hasil akhir
seorang anak ditentukan oleh tiga hal: faktor orang tua, faktor pendidkan dan
faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan yakni dengan siapa dia bergaul,
bergaul, pengaruh orang-orang dekat, paling diyakini sangat efektif
mempengaruhi perkembangan anak
Membangun karakter anak dengan demikian dibutuhkan upaya
serius dari berbagai pihak terutama keluarga untuk mengkondidikan ketiga faktor
di atas agar kondusif untuk tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter pada anak
harus siarahkan agar anak memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab dan mengenal
sejak dini untuk dapat membedakan hal yang baik dan buruk, benar-salah,
hak-batil, angkara murka-bijaksana, perilaku hewani dan manusiawi (Witono,
2005:1)
E. Peran Orang Tua
Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa
anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betul-betul unik. Mereka
belum banyak memiliki sejarah masa lalu. Pengalaman mereka sangat terbatas.
Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup
lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila
dikaitkan dengan hak-hak anak, menurut Sri Sugiharti (2005 :1) tugas dan
tanggung jawab orang tua antara lain:
1. Sejak dilahirkan mengasuh
dengan kasih sayang.
2. Memelihara kesehatan anak.
3. Memberi alat-alat permainan
dan kesempatan bermain.
4. Menyekolahkan anak sesuia
dengan keinginan anak.
5. Memberikan pendidikan dalam
keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga pendidikan keagamaan serta
melindungi tindak kekerasan dari luar.
6. Memberikan kesempatan anak
untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai dengan usia anak.
Atas dasar itu orang tua yang bijaksana ankan mengajak anak
sejak dini untuk berinteraksi denagn lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan
karakter diberikan. Mengenal anak akan perbedaan di selilingnya dan diliatkan
dalam tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar
menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah
berkembangnya masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan
niali-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada
diri sendiri dan orang lain, bersedia memanfaatkan orang lain.
Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan
dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik,
saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat
dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik
dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan
karakter ini demikian besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita
adalah tiang negara. Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala
wanitanya rusak, maka rusaklah negara”.
Sementara itu sang bapak sebagai kepala keluarga juga harus
mampu menajdi teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan
anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan,
menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak
lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan
karakter anak.
Begitu besarnya peran orang tua dalam pembentukan karakter
dan tumbuh kembang anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan
pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang
otoriter atau serba membolehkan (permissive).
Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu
menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan
pengaturan. Mereka dangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka
sepenuhnya mengahrgai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta
perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan
cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas dalam
menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan
hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang
mereka lakukan dan minta pendapat anak.
Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan
nyaman. Mereka akan menajdi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus
mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra
sekolah akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa
bersikap tegas dan suka eksplorasi. Kondisi yeng demikian itu tidak akan
didapatkan anak bila orang tuanya menerapkan pola asuh otoriter atau permisif.
Karena anak-anak di bawah asuhan otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan
tidak percaya pada diri mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan
model permisif akan menajdi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta
idak memiliki rasa tanggung jawab.
Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang
tua sekarang mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia
berkualitas.
F. Kesimpulan
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal
oleh anak, jadi dalam lingkungan keluargalah watak dan kepribadian anak akan
dibentuk yang sekaligus akan mempengaruhi perkembangannya di masa depan.
Di mata anak, orang tu (ayah ibu) adalah figur atau contoh
yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah ibu harus mampu
memberi contoh yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta
mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dalam batasan yang wajar.
Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan
mengasuh anak, anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak
kalah pentingnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah
larut oleh budaya buruk dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik
sebagai aset generasi penerus bangsa di masa depan.
No comments:
Post a Comment