Fase-fase perkembangan antropologi paling
tidak diawali sejak akhir abad ke 15 atau awal abad ke 16 (Koentjaraningrat,
1996). Dengan mengikuti pembagian fase perkembangan antropologi menurut
Koentjaraningrat dan perkembangannya pada akhir-akhir ini, maka perkembangan
antropologi dapat dibagi ke dalam 5 (lima) fase perkembangan. Fase pertama
berawal dari akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 hingga sebelum abad ke 18.
Fase kedua terjadi sekitar pertengahan Abad ke 19, fase ketiga di sekitar awal Abad
ke 20, fase keempat terjadi sesudah tahun 1930-an, dan fase kelima kira-kira
sejak tahun 1970-an. Pembagian fase pertama hingga fase keempat berasal dari
Koentjaraningrat, sedangkan fase kelima berasal dari penulis berdasarkan
referensi yang ada.
a.
Fase pertama (sebelum abad ke 18)
Bahan-bahan tulisan, yang kemudian menjadi
cikal bakal karangan etnografi, banyak dihasilkan oleh para musafir, pelaut,
pendeta, para pegawai jajahan, para pegawai agama atau misionaris yang berasal
dari Eropa. Bahan-bahan tulisan ini banyak muncul sejak akhir abad ke 15 dan
awal abad ke 16.
Selama kurang lebih 4 abad lamanya, mereka
berhasil menulis kisah-kisah perjalanan dan cerita kehidupan masyarakat yang
mereka temui. Persebaran mereka pada masa ini seiring dengan kedatangan
orang-orang Eropa di benua Afrika, Asia dan Amerika Selatan, bahkan ke daerah
Oceania. Namun tulisan-tulisan tersebut masih jauh dari sebuah karangan
etnografi karena masih bersifat subyektif sehingga tidak komprehensif dan
holistik dalam menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.
Pada umumnya mereka hanya menuliskan apa-apa
yang dianggapnya menarik (aneh) di mata mereka. Setelah tulisan etnografi di
atas diterbitkan dan banyak dibaca orang, tulisan ini banyak mempengaruhi sikap
bangsa Eropa, terutama kaum terpelajar, di mana kemudian mereka beranggapan
bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan bangsa-bangsa yang primitif (savage)
dan sangat terbelakang. Kelompok masyarakat ini juga dianggap masih murni,
jujur dan tidak mengenal kejahatan. Keunikan dari bangsa-bangsa di luar Eropa
ini, seperti adat istiadat dan benda-benda kebudayaannya, memicu munculnya pemikiran
untuk menyebarluaskan kepada khalayak luas di Eropa, yaitu misalnya dengan
mendirikan museum-museum yang secara khusus mengoleksi kebudayaan masyarakat di
luar Eropa.
Di samping itu pada awal abad ke 19 ini
timbul pula keinginan para ilmuwan Eropa untuk mengintegrasikan
karangan-karangan yang masih terlepas-lepas tersebut menjadi sebuah karangan
etnografi tersendiri. Pada fase ini belum diketahui adanya para tokoh
antropologi.
b.
Fase kedua (sekitar pertengahan abad ke 19)
Fase ini ditandai oleh keberhasilan para
ilmuwan dalam menyusun karya-karya etnografi yang bahannya dikumpulkan dari
berbagai karangan yang dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, dan para
pegawai agama atau misionaris yang pernah tinggal di luar masyarakat Eropa.
Dari bahan-bahan yang terkumpul kemudian
disusun berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu menyusun secara sistematis
mulai dari masyarakat dan kebudayaan yang sangat sederhana hingga masyarakat
yang hidup pada tingkat yang lebih tinggi. Kelompok masyarakat yang digolongkan
ke dalam tingkat yang paling tinggi atau beradab adalah masyarakat Eropa Barat
pada masa itu, sedangkan tingkat yang paling rendah adalah masyarakat yang hidup
di luar Eropa Barat.
Para tokoh antropologi pada fase kedua ini
adalah para ahli antropologi terutama para tokoh penganut teori evolusi seperti
L.H. Morgan. Beliau sebenarnya seorang ahli hukum Amerika yang bekerja sebagai
pengacara yang membantu penduduk Amerika Timur dalam menangani masalah pertanahan.
Salah satu karangan L.H. Morgan yang terkenal adalah sebuah buku tentang
evolusi masyarakat yang berjudul “Ancient Society” (1877).
Buku ini ditulis berdasarkan hasil
penelitiannya tentang adat-istiadat orang Indian dan berpuluh-puluh masyarakat
di dunia. Tokoh lain dalam fase ini adalah P.W. Schmidt tetapi ia lebih
memfokuskan perhatiannya terhadap masalah sejarah asal mula penyebaran
kebudayaan suku-suku bangsa di seluruh dunia.
c.
Fase ketiga (awal abad ke 20)
Pada masa awal abad ke 20, antropologi telah
berkembang bukan saja sebagai ilmu yang mengkaji masalah kehidupan
bangsa-bangsa di luar Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara
besar yang menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian
tentang masyarakat modern yang kompleks. Artinya, dengan mempelajari masyarakat
yang masih sederhana akan diperoleh pemahaman yang baik mengenai masyarakat
Eropa yang lebih kompleks. Negara yang memiliki pengaruh cukup besar dan
memiliki daerah jajahan paling luas pada masa ini adalah Inggris.
Oleh karena itu, antropologi sebagai ilmu
yang praktis telah berkembang pesat di Inggris terutama dalam mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa yang menjadi jajahan Inggris. Selain
Inggris, negara-negara lain yang memiliki daerah jajahan juga ikut memanfaatkan
antropologi dalam upaya memahami karakteristik kehidupan suku bangsa yang ada
di wilayah jajahannya. Amerika Serikat juga memanfaatkan ilmu ini untuk
memahami masyarakat pribuminya, suku
bangsa Indian, yang pada waktu itu dianggap bermasalah terkait dengan masalah
integrasi sosial politik.
Tokoh antropologi pada masa ketiga ini adalah
B. Malinowski. Beliau adalah ahli antropologi Inggris yang meneliti
adat-istiadat penduduk Kepulauan Trobriand. Tokoh lainnya adalah M. Fortes yang
banyak menulis adat-istiadat dari suku bangsa yang tinggal di Afrika Barat.
d.
Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Setelah tahun 1930-an, antropologi mendapat
perhatian yang sangat luas baik dari kalangan pemerintah terkait dengan fungsi
praktisnya maupun kalangan akademisi. Bagi kalangan pemerintah, ilmu ini tetap
dijadikan ilmu praktis guna memperoleh pemahaman pemakaian tentang kehidupan
dari masyarakat jajahannya. Sedangkan para akademisi lebih tertarik guna memperoleh
pemahaman tentang masyarakat secara umum, yakni keberadaan masyarakat yang
masih sederhana yang dianggap masih primitif (savage) dan keberadaan
masyarakat yang sudah kompleks.
Keterkaitan kedua bentuk masyarakat tersebut
berguna bagi kajian tentang perkembangan masyarakat (perubahan sosial), dengan
menetapkan bahwa masyarakat akan berkembang dari yang paling sederhana ke
masyarakat yang lebih kompleks. Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan
evolusi yang pada masa ini sangat kuat pengaruhnya.
Pada masa ini, antropologi telah
menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang
diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya. Objek penelitian yang diperhatikan juga tidak terbatas pada
masyarakat yang dianggap masih primitif (savage), tetapi telah
berkembang dengan memperhatikan masyarakat atau penduduk pedesaan bukan saja di
luar Eropa tetapi juga di dalam wilayah Eropa sendiri.
Perkembangan antropologi sebagai ilmu
mengalami babak baru sejak diadakan simposium internasional yang dihadiri 60
tokoh antropologi (Amerika, Eropa, dan Uni Soviet) yang berupaya untuk meninjau
kembali bahan-bahan etnografi yang telah ada serta merumuskan pokok tujuan dan
ruang lingkup dari antropologi. Pada fase ini, antropologi mempunyai dua tujuan,
yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis antropologi adalah untuk
memperoleh pemahaman tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari
beragam bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaannya. Tujuan praktis antropologi
adalah mempelajari manusia dan masyarakatnya yang beraneka ragam tadi untuk keperluan
membangun masyarakat yang bersangkutan. Tokoh penting pada fase keempat ini
adalah F. Boas (1858-1942). Ia menjadi seorang tokoh antropologi Amerika
Serikat yang sebelumnya ia adalah seorang pakar geografi Jerman. Boas banyak
mempelajari tentang beragam makhluk manusia, baik dari segi fisik, masyarakat
atau pun kebudayaannya. Tokoh lainnya
adalah A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead dan R. Linton.
e.
Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an
masih memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4 di atas yang masih
memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi penekanan
terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan
tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam antropologi yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan asal universitas tempat dikembangkannya antropologi di suatu
negara, seperti Inggris, Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan
negara-negara berkembang.
Di Inggris, antropologi diperlukan terutama
untuk mengenal dan memahami kehidupan masyarakat lokal pada negara-negara
jajahan Inggris, yang pada waktu itu sangat berguna bagi pemerintah setempat.
Setelah negara-negara jajahan Inggris merdeka, seperti Papua New Guinea dan Kepulauan
Melanesia, penelitian antropologi masih tetap dilakukan oleh para sarjana
Antropologi Inggris dan para sarjana Antropologi dari negara masing-masing dalam
upaya pembangunan masyarakat.
Di Eropa Utara, antropologi berkembang ada
upaya untuk mencapai kebutuhan akademis seperti yang berkembang di Jerman dan
Austria. Di sini juga tumbuh upaya untuk melakukan penelitian terhadap
masyarakat di luar Eropa terutama kebudayaan suku bangsa Eskimo. Metode
antropologi yang digunakan juga telah berkembang pesat dan beberapa di
antaranya telah mengembangkan metode seperti halnya yang dikembangkan di
Amerika Serikat.
Di Eropa Tengah, seperti di Belanda, Prancis,
dan Swiss, pada masa awal tahun 1970-an perhatian antropologi masih ditujukan
pada masyarakat di luar Eropa yang bertujuan untuk mengkaji sejarah penyebaran
kebudayaan manusia yang ada di seluruh dunia. Pada perkembangan selanjutnya, antropologi
di negara-negara ini pun telah banyak mengadopsi metode-metode antropologi yang
dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, antropologi menunjukkan
perkembangannya yang paling luas. Perkembangan antropologi di sini telah
didukung oleh lahirnya berbagai himpunan antropologi dan terbitnya jurnal-jurnal
serta majalah ilmiah antropologi. Antropologi yang berkembang di Amerika
Serikat telah menggunakan dan mengintegrasikan seluruh bahan-bahan dan metode antropologi
dari fase pertama, kedua, dan ketiga, serta berbagai spesialisasi antropologi
telah berkembang dengan pesat.
Tujuan dari pengembangan antropologi tersebut
adalah untuk mencapai pengertian tentang dasar-dasar dari keanekaragaman bentuk
masyarakat dan kebudayaan manusia yang hidup pada masa kini. Tujuan Antropologi
seperti yang terungkap pada fase keempat menjadi fokus perhatian kalangan
universitas-universitas di Amerika Serikat terutama universitas yang memiliki
departemen antropologi sendiri.
Di Rusia, sebelum tahun 1970-an, perkembangan
antropologi di negara ini tidak banyak diketahui, walaupun kemudian ditemukan
tulisan etnografi karya S.A. Tokarev yang berjudul ”Der Anteil Der
Russischen Gelehrten An Der Entwicklung Der International Ethnographischen
Wissenchaften” dalam majalah Sowjetwissenshaf. II (1950).
Pemikiran antropologi di Soviet banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Karl Marx dan F. Engel terutama pemikiran tentang perkembangan
masyarakat melalui tahap-tahap evolusi. Antropologi dianggap menjadi bagian
dari ilmu sejarah yang memfokuskan pada masalah-masalah asal mula kebudayaan,
evolusi, dan masalah persebaran kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, antropologi
di Soviet selain mengembangkan kajian keilmuan juga melakukan
penelitian-penelitian, terutama pada suku bangsa yang terdapat di Soviet, yang digunakan
sebagai dasar dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan masalah upaya-upaya
membangun saling pengertian di antara penduduk pribumi. Walaupun pada akhirnya,
karena situasi politik yang berkembang di Rusia, disintegrasi bangsa pun tidak
dapat dihindari.
Selain itu, antropologi di Rusia sebenarnya juga
memperhatikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan di luar bangsa-bangsa Eropa.
Hal ini terlihat dalam sebuah buku hasil
karya ahli antropologi di Soviet yang berjudul “Narody Mira”
(Bangsa-bangsa di Dunia) yang memuat deskripsi tentang kehidupan masyarakat
suku-suku bangsa di Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara, termasuk suku
bangsa di Indonesia.
Kajian pada bidang antropologi di
negara-negara berkembang terus mendapat perhatian terutama dalam kaitannya
dengan kegunaan praktisnya yang mampu mendeskripsikan berbagai pemasalah sosial
budaya. Deskripsi ini kemudian sangat berguna sebagai masukan dalam upaya
pengambilan kebijakan pembangunan, seperti masalah kemiskinan, kesehatan, hukum
adat, dan sebagainya.
Di India misalnya, antropologi dimanfaatkan
dalam kegunaan praktisnya terutama untuk memperoleh pemahaman tentang kehidupan
masyarakatnya yang sangat beragam. Pemahaman seperti itu akan sangat berguna
dalam upaya membangun integrasi sosial di antara penduduk yang beragam itu.
Sebagai negara bekas jajahan Inggris, antropologi di India banyak dipengaruhi
oleh kultur antropologi yang berkembang di Inggris.
Hal ini terlihat terutama pada metode-metode
antropologinya yang banyak mengikuti aliran-aliran antropologi yang berkembang
di Inggris. Di Indonesia juga hampir sama dengan yang terjadi di India. Antropologi
di Indonesia berkembang untuk pengkajian masalah-masalah sosial budaya dan
upaya mendeskripsikan berbagai kehidupan
dari berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke agar saling mengenal satu
dengan lainnya. Upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini karena masih banyak
suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif sedikit dan hidup di beberapa
daerah yang terpencil belum mendapat perhatian.
Perkembangan antropologi di Indonesia hampir
tidak terikat oleh tradisi antropologi manapun (Koentjaraningrat, 1996).
Menurut Koentjaraningrat (1996) antropologi di Indonesia yang belum mempunyai
tradisi yang kuat, kemudian bisa memilih sendiri dan mengombinasikan beberapa
unsur dari aliran mana pun yang paling sesuai dengan kebutuhan masalah-masalah kemasyarakatan
yang dihadapi. Menurutnya, kita bisa mengikuti cara Amerika dalam menentukan konsepsi mengenai batas-batas lapangan penelitian
antropologi dan pengintegrasian dari beberapa metode antropologi.
Kita juga dapat meniru cara India dalam
mempergunakan antropologi sebagai ilmu praktis yang mampu mendeskripsikan
kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang beragam, dan ikut membantu dalam pemecahan
masalah kemasyarakatan serta merencanakan pembangunan nasional. Kita juga dapat
mencontoh Meksiko yang telah menggunakan antropologi sebagai ilmu praktis untuk
mengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan untuk
menemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional dengan kepribadian yang
khas dan dapat digunakan untuk membangun masyarakat desa yang modern.
No comments:
Post a Comment