Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan
bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan
tujuan perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut:
Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak anak meliputi:
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan yang terbaik
bagi anak
3. Hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan
4. Penghargaan terhadap anak.
Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera.
Pasal 2 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
menegaskan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak
asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah,
keluarga, orang tua, sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang
Perlindungan Anak menentukan:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam
usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:
1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental
(Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan
anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain
yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 23);
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya
dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak
(Pasal 24)
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan
anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak).
Kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Anak, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak;
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
3. Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksut dengan anak yang berhadapan dengan
hukum (children in conflict with the law), adalah sebagai berikut :
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana.
Melihat kecendrungan yang ada di media saat ini, baik media
cetak maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak
(juvenile delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya. Masalah
delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera
diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita
dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak
adalah sebagai berikut :[3]
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada
kenakalan anak-anak adalah :
a. Faktor intelegentia;
b. Faktor usia;
c. Faktor kelamin;
d. Faktor kedudukan anak dalam
keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a.
aktor rumah tangga;
b.
Faktor pendidikan dan sekolah;
c.
Faktor pergaulan anak;
d. Faktor
mass media.
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk
melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa
berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak pidana
ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara
luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai
mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana
dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak
mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak
pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi
sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. 5 Dengan demikian,
istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar,
prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus
diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.[4]
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak
melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Pemerintah juga telah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Kemudian Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terakhir
adalah dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak. Semua instrumen hukum tersebut dimaksudkan untuk
memberikan jaminan
perlindungan atas hak-hak anak secara lebih kuat ketika
berhadapan dengan
hukum dan dalam menjalani proses peradilan. Anak sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah
orang yang dalam
perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin. Anak pelaku
tindak pidana yang masih berumur di bawah 12 (dua belas)
tahun dikenakan
sanksi tindakan sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut:
“Apabila anak nakal sebagaimana maksudnya dalam Pasal 1
angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak
pidana yang
tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara
seumur hidup,
maka terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana
maksudkan dalam Pasal 24”.
Jika dilihat dari Undang – Undang Perlindungan Anak, seorang
anak yang
berkonflik dengan hukum seyogyanya mendapat perlindungan
hukum, seperti
yang dikemukakan dalam Pasal 64 Ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Anak
yang menyatakan: (a) Perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak; (b) Penyediaan petugas pendamping
khusus anak
sejak dini; (c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; (d)
Penjatuhan sanksi
yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; (e)
Pemantauan dan
pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan
hukum; (f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang
tua atau keluarga; dan (g) Perlindungan dari pemberitaan
identitas melalui media
masa dan untuk menghindari labelisasi.
Menarik perhatian, yaitu Putusan Nomor 23/Pid.
An/2007/Pn.M.BLN.
Pelaku Duwi Arianto Als Ari Bin Suroto. Perkara ini menarik
karena pelakunya
adalah anak yang belum genap umur 12 (dua belas ) tahun yang
dijatuhi pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun. Persoalannya adalah putusan
tersebut bertentangan
dengan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
No comments:
Post a Comment