Sengketa Dagang Minyak
Sawit RI-Uni Eropa
Komoditas strategis nasional Indonesia saat ini terus
diterjang badai persoalan. Di luar konteks masih buruknya tata kelola industri
ini dari aspek lingkungan dan sosial, serangan masif yang dilakukan oleh negara
kompetitor untuk menekan daya saing minyak sawit Indonesia harus dilawan.
Termasuk melawan hambatan dagang yang getol dilakukan oleh Uni Eropa (UE).
Benua Biru ini memang memiliki sejarah panjang menghambat
akselerasi perdagangan minyak sawit, terutama dari Indonesia. Bertubi-tubi cara
dilakukan, mulai dari isu kesehatan, lingkungan, hak asasi manusia (HAM),
perubahan iklim, hingga pekerja anak.
Selain itu, mereka juga pernah secara sepihak mengenakan bea
masuk anti dumping (BMAD) terhadap produk biodiesel sawit dari Indonesia
sebesar 8,8%-23,3% pada 2013 lalu. Pemerintah Indonesia protes dan membawa
sengketa dagang ini ke badan penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Body
(DSB), yang ada di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization
(WTO).
Alibi pemerintah Indonesia saat itu adalah UE tidak
menggunakan data dan perhitungan yang benar yang sesuai dengan ketentuan
Anti-dumping Agreement dan GATT 1994. Misalnya, salah menggunakan data biaya
produksi, salah menghitung keuntungan, salah menetapkan harga ekspor, salah menghitung
perbandingan harga, dan salah menetapkan besaran bea masuk anti dumping yang
melebihi laba dari dumping yang seharusnya ditetapkan. Hampir semua gugatan
Indonesia diterima oleh panel DSB tersebut.
Selain gugatan ke WTO, perusahaan biodiesel Indonesia juga
mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum Uni Eropa (General Court of the EU).
Putusan pengadilan memenangkan gugatan perusahaan biodiesel asal Indonesia
sehingga UE tidak berhak lagi memperlakukan tarif BMAD terhadap perusahaan yang
mengugat tersebut.
Sengketa baru Uni Eropa
Sekarang, UE kembali berulah. Pada pengujung 2019, mereka
telah secara sepihak menetapkan tarif bea masuk sebesar 8%-18% terhadap
biodiesel dari Indonesia untuk periode lima tahun dengan alasan perusahaan
biodiesel asal Indonesia menerima subsidi secara berlebihan dari pemerintah.
Hal ini merupakan bagian skenario panjang UE untuk menekan
biodiesel dari Indonesia. Sebelumnya, pada tahun 2018 lalu, Parlemen UE telah
mengeluarkan resolusi pelarangan penggunaan biodiesel secara bertahap sebagai
sumber energi terbarukan di Benua Biru tersebut. Itu semua dituangkannya dalam
Renewable Energy Directive (RED) II.
Mereka juga memasukkan minyak sawit sebagai komoditas
pertanian yang dinilai berisiko tinggi, melakukan alih fungsi lahan dan hutan
(indirect land use change/ILUC), sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Dari rentetan sejarah tersebut di atas, perlakuan UE
terhadap minyak sawit Indonesia sudah sangat keterlaluan dan tidak boleh lagi
ditoleransi. Sebagai mitra dagang strategis, yang terikat dalam Indonesia-EFTA
Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA), seharusnya mereka
menerapkan prinsip perdagangan yang bermartabat. Karena, sangat jelas, cara ini
merupakan bentuk diskriminasi dalam perdagangan.
Faktanya, komoditas lain seperti rappeseed dan bunga
matahari, yang notabene mereka produksi sendiri, tidak pernah diatur
prinsip-prinsip keberlanjutannya. Begitu juga minyak kedelai dari Amerika
Serikat (AS) tidak masuk ke dalam ILUC karena mereka ditekan oleh Presiden AS
Donald Trump.
Oleh karena itu, penulis mendukung langkah pemerintah
membawa sengketa dagang ini di DSB WTO. Seperti yang sudah dilakukan sebelumnya
dalam kasus pengenaan BMAD biodiesel tahun 2013 silam. Pihak perusahaan juga
bisa kembali mengajukan gugatan ke General Court of the EU. Proses litigasi ini
harus dilakukan serius oleh pemerintah dan perusahaan dengan menyiapkan
pengacara yang andal dan alat bukti yang valid.
Penguatan daya saing
Selain itu, di luar dari litigasi, kita bisa menempuh
langkah non-litigasi. Salah satunya dengan melakukan retailisasi, yaitu
menghambat balik produk-produk impor dari UE. Misalnya, menguranggi impor wine,
keju, susu, dan gandum dari UE atau mengenakan tarif bea masuk terhadap
beberapa produk impor dari UE dengan alasan yang tidak melanggar ketentuan WTO.
Hal-hal seperti ini sangat lumrah terjadi dalam sengketa dagang internasional
untuk menekan pihak lawan.
Meski demikian, langkah cerdas dalam menghadapi sengketa
dagang ini adalah menguatkan daya saing industri minyak sawit di dalam negeri.
Kita harus mengakui, di dalam negeri tata kelola industri minyak sawit ini
masih banyak masalah. Ada dua isu krusial yang harus segera dibenahi para
pemangku kepentingan sektor ini, yaitu soal deforestasi dan ketimpangan
penguasaan lahan.
Isu deforestasi telah menekan daya saing dan nilai tawar
industri minyak sawit di pasar global. Faktanya, masih ada sekitar 3,4 juta
hektare (ha) perkebunan sawit di Indonesia yang berada dalam kawasan hutan
(KPK, 2019).
Dari jumlah tersebut, sekitar 80% lahan yang terbakar pada
tahun 2015 lalu telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit (BNPB, 2019). Hal
ini jadi pembenaran dan menunjukan bahwa masih banyak persoalan dalam tata
kelola lahan perkebunan sawit di Indonesia.
Selain masalah lingkungan, masalah sosial juga jadi sorotan,
yakni ketimpangan penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan telah menyebabkan
sempitnya ruang hidup bagi masyarakat di sekitar perkebunan, terutama
masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan dan lahan.
Ekspansi yang tanpa kendali oleh korporasi sawit skala besar
telah memicu menimbulkan konflik sosial dan konflik lahan. Hal ini yang juga
sering jadi bahan sorotan UE. Mereka menyebut diskriminasi masih marak terjadi
di perkebunan sawit.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah juga fokus
dalam memperbaiki tata kelola industri sawit ini dan bukan menutup mata atau
mengabaikan hal ini. Persoalan deforestasi harus segera diselesaikan secepatnya
dan tak bisa ditawar lagi.
Caranya, bisa lewat proses penegakan hukum atau lewat
penyelesaian lain, seperti land use amnesty. Begitu juga, soal ketimpangan
penguasaan lahan, bisa diselesaikan dengan reforma agraria. Bila dua hal ini
dilakukan, penulis yakin daya saing industri minyak sawit nasional semakin
baik. Pada akhirnya kita siap menghadapi berbagai hambatan dagang yang
dilakukan negara lain ke depannya.
No comments:
Post a Comment