Peranan
adalah sesuatu yang jadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama (dalam
terjadinya sesuatu hal atau peristiwa). Peranan juga dikatakan perilaku atau
lembaga yang punya arti penting bagi struktur sosial. Dalam hal ini kata
peranan lebih banyak mengacu pada penyesuaian diri pada suatu proses.[1]
Guru secara etimologis adalah orang
yang pekerjaannya (mata pencaharian, profesinya) adalah mengajar. Barnadib
menyamakan pengertian pendidik dengan guru. Menurutnya adalah orang yang
mempunyai tanggung jawab dan melaksanakan pendidikan.[2] sedangkan menurut Tafsir pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.[3]
Secara umum peranan seorang guru
ialah mendidik, yaitu membantu dalam mengupayakan perkembangan peserta didik
dalam mengoptimalkan segala potensi hidupnya. Dalam hal ini setidaknya ada tiga
persyaratan yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa menjadi seorang guru :
1)
Kewibawaan yaitu
pengaruh positif normatif yang diberikan kepada orang lain atau anakdidik
dengan tujuan agar yang bersangkutan dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Dengan kewibawaan, maka secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan
kepercayaan diri peserta didik kepada pendidik sehingga dengan sendirinya akan
timbul suatu kepatuhan dari peserta didik kepada pendidik.
2)
Pendidik
harus mengenal secara pribadi peserta didiknya. Sebagai contoh, secara otomatis
pendidik hafal nama asuhannya (terutama untuk pendidik anak luar biasa).
3)
Pendidik harus mengetahui bahwa peserta didik adalah “aku” yang berpribadi
dan ingin bertanggung jawab, dan ingin menentukan diri sendiri.[4]
Berikut
adalah beberapa peran guru yang harus diketahui dan dipahami oleh guru agar
dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan membimbing anak guna untuk
mencetak generasi yang bermoral. Diantara peran guru itu antara lain:
1)
Guru sebagai ahli instruksional
Guru
harus secara tetap membuat keputusan tentang materi pelajaran dan metodenya.
Keputusan ini didasarkan sejumlah faktor yang meliputi mata pelajaran yang akan
disampaikan, kebutuhan dan kemampuan siswa serta seluruh tujuan yang akan
dicapai.[5]
2)
Guru sebagai motivator
Untuk
meningkatkan semangat belajar yang tinggi, siswa perlu memiliki motivasi yang
tinggi, baik motivasi dari dalam dirinya sendiri (instrinsik) maupun dari luar
(ekstrinsik) terutama yang berasal dari gurunya, seperti memberikan dorongan
kepada siswa untuk belajar lebih giat, memberikan tugas kepada siswa sesuai
kemampuan dan perbedaan individual peserta didik.
Menurut
pendapat Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abidin ada lima cara memberikan
motivasi kepada anak didik yaitu: (a) Memberikan hadiah atau hukuman; (b)
Melibatkan harga diri dan memberitahu hasil karya murid; (c) Memberikan
tugas-tugas kepada mereka; (d) Mengadakan kompetisi belajar yang sehat; (e)
sering mengadakan ulangan (tes)[6]
3)
Guru sebagai model
Tidak
menjadi soap apa yang dilakukan seorang guru, guru akan berakting sebagai
seorang model bagi siswa-siswa kita. Dalam banyak kasus, guru tidak menyadari
peranan mereka sebagai model.[7]
Al-Ghazali
menasehatkan kepada guru agar
senantiasa menjadi teladan
dan
pusat perhatian bagi muridnya. Guru harus mempunyai karisma yang tinggi. Semua
perkataan, sikap dan perbuatan yang baik darinya akan memancar kepada muridnya.[8]
Sedangkan
Al-Ghazali memberikan delapan batasan yang ketat bagi profesi pendidik sebagai
syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana dikutip oleh Syaefuddin yaitu:
a)
Pendidik harus mempunyai sifat
kasih sayang terhadap anak didik serta mampu memperlakukan mereka sebagaimana
anak sendiri. Sifat kasih sayang pendidik pada akhirnya akan melahirkan
keakraban, percaya diri dan ketentraman belajar. Suasana yang kondusif inilah
yang mempermudah proses transformasi ilmu pengetahuan.
b) Pendidik melakukan aktifitas karena Allah SWT. Artinya pendidik
tidak melakukan komersialisasi dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah sarana
transfer ilmu pengetahuan yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
berilmu.
c)
Pendidik harus memberi nasehat
yang baik kepada anak didik. Seperti, pendidik harus mengarahkan murid dalam
tahapan-tahapan belajar.
d) Pendidik harus mampu mengarahkan anak didik kepada hal-hal yang
positif dan mencegah mereka melakukan aktifitas yang destruktif. Segala bentuk
nasehat ini dilakukan dengan cara yang halus dan tidak melukai perasaan. Hal
ini dilakukan untuk menjaga kestabilan emosi mereka dalam kerangka proses
belajar.
e)
Mengenali tingkat nalar dan
intelektualitas anak didik. Pendidik harus mengenali perbedaan individu anak
didik. Sehingga dapat diidentifikasi kemampuan khususnya. Dalam konteks ini
pendidik dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan “bahasa” mereka agar proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran.
f)
Pendidik harus dapat menumbuhkan
kegairahan murid terhadap ilmu yang dipelajarinya tanpa menimbulkan sikap
apriori terhadap disiplin ilmu yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan
anak didik terjebak pada sikap fanatik terhadap suatu disiplin ilmu melainkan
yang lain.
g) Pendidik harus mampu mengidentifikasi kelompok anak didik usia
dini dan secara khusus memberikan materi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan
perkembangan kejiwaannya. Kelompok usia dini ini lebih tepat diberi ilmu
praktis, tanpa argumentasi yang berat dan melelahkan.
h) Guru bersedia mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah
menyatukan ucapan dan tindakan. Hal ini penting sebab bagaimanapun ilmu hanya
diketahui oleh mata hati (bash’ir),
sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar).[9]
[1]
Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar.
(Jakarta: UI Press, 1982), hlm. 48
[2]
Barnadib, Pendidikan Perbandingan. (Yogyakarta:
Andi Offset, 1998), hlm. 76
[3]
Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 74
[4]
Ahmadi dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan.
(Jakarta:Rineka Cipta, 2001), hlm. 48-49
[5]
Wuryani. Psikologi Pendidikan….hlm.
27
[6]
Rusn, A.I. Pemikiran Al-Ghazali tentang
pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 72
[8]
Rusn, A.I. Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 72
[9]
Syaefuddin, A. Percikan Pemikiran Imam
Al-Ghazali dalam Pengembangan Pendidikan Islam Berdasarkan Prinsip Al-Qur’an
dan Assunnah (Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm. 124-127
No comments:
Post a Comment