Ia putra dari pasangan Kiai
Asyari dan Nyai Halimah, Ayahnya Kyai Asyari merupakan seorang pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ia anak ketiga dari 11
bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asyari punya nasab
kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Setelah mengembara dari pesantren
ke pesantren di Pulau Jawa, tepatnya usai mondok di Pesantren Darat, asuhan
Kiai Sholeh Darat. Ia sungguh beruntung, selain bertemu dengan santri lain
seperti Kiai Ahmad Dahlan (Darwis). Kiai Munawwir. Kiai Mahfudz Termasi dan
lain sebagainya. Dari Kiai Soleh Darat ini, sanad keilmuannya sampai ke
Rasulallah dan para Empu di Tanah Jawa.
Di Hijaz, Ia berguru pada Syaikh
Nawawi Al-bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi,
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh
Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad
As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Sementara di Jawa, melalui Kiai Soleh
Darat, ia mendapatkan ilmu keislaman yang sintesis dengan kearifan lokal, yang
sandanya sampai ke Kanjeng Sunan Kalijaga, bahkan Empu Prapanca. Cerita
sanadnya itu demikian; atas perintah gurunya, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga
diperintah menyadur naskah Kemandalaan-Majapahit, Silakrama karya Empu
Prapanca, hasilnya adalah Serat Dewa Ruci. Kitab ini kemudian diajarkan kepada
Sunan Bayat, hasilnya Nitibrata. Diajarkan kepada Ki Ageng Donopuro hasilnya
Swakawiku. Diajarkan kepada Kiai Hasan Besari hasilnya adalah Krama Nagara.
Diajarkan kepada Kiai Anggamaya hasilnya adalah Dharmasunya. Diajarkan kepada
Kiai Yosodipura I hasilnya Sana Sunu. Diajarkan kepada Kiai Katib Anom hasilnya
adalah Wulang Semahan. Diajarkan kepada Kiai Shaleh Asnawi hasilnya adalah
Dasasila. Diajarkan kepada Kiai Sholeh Darat hasilnya adalah Sabilul Abid.
Diajarkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari hasilnya adalah Adabul Alim wal Muta’alim.
Karena itu, tak mengherankan ada
kedekatan subtantif antara ajaran Kiai Hasyim Asyari dalam Adabul Alim wal
Muta’alim dengan Empu prapacanca, dengan Kitab Silakrama, terutama titik temu
ada dalam bab tiga, adab murid kepada gurunya dan bab dua (a), naskah Lontar
Empu Prapanca.
Nasionalis Sejati
Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari
adalah ulama yang tidak mau sedikit pun tunduk kepada penjajah, baik Belanda
atau Jepang. Tetapi, begitu kolonial ada kesempatan untuk mendesak, langsung ia
menyerukan kepada umat untuk menghidupkan agama dan ukhuwah. Inilah salah satu
tipikal Kiai Hasyim dalam berpolitik Pada masa penjajahan itu, ia sering
dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu berhasil ditolaknya. Akibat sikapnya
yang non-kooperatif terhadap Belanda ini, pesantren Tebuireng pernah
dihancurkan Belanda. Pada tahun 1913 intel Belanda mengirim seorang pencuri
untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun ia tertangkap dan dihajar
beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai
Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua
tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya ia dilepaskan dari
jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan
beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri
10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1930an.
Pada sekitar tahun 1935, Belanda
memainkan politik tipu muslihat. Gubernur Belanda bersikap melunak kepada
pesantrennya. Pemerintah penjajah menawarkan bantuan.
Tidak cukup itu, Belanda
mengumumkan akan memberikan gelar Bintang Perak kepada KH. Hasyim Asyari atas
jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar kehormatan dalam
bidang pendidikan dan bantuan itu ia tolak. Penjajah Belanda tidak putus
harapan. Untuk kedua kalinya Kiai Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan
lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda Di antaranya ia pernah
dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim
sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa
perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat
kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua,
Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara
luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena
banyak umat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin
represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan
Belanda tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang
undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif
Belanda. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Perlawanan Terhadap Jepang
Jauh hari sebelum kapal perang
Jepang mendarat di Asia, Jepang sudah membuat propaganda yang menyebar ke
telinga anak bangsa di seluruh tanah air tercinta. Slogan “Jepang adalah Cahaya
Asia, Jepang Pemimpian Asia dan Jepang Pelindung Asia” merupakan propaganda
yang sangat memberikan hawa baru bagi bangsa yang sedang terjajah. Japang
datang, Belanda meradang. Konfrontasi tentara bermata sipit itu lawan Belanda,
membuat sang penjajah kulit putih itu menyerah. Bala Tentara Jepang yang
dipimpin oleh Imamura itu membuat Gubernur Belanda, Jenderal Van Starkenborgh
bertekuk lutut saat ditangkap di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942. Berita
dari Kalijati itu kemudian menyebar ke seluruh pelosok Jawa bahkan nusantara.
Anak bangsa Indonesia semakin yakin bahwa kemerdekaan semakin dekat, sehingga
mereka semakin semangat meneriakkan pekik kemerdekaan. Di Surabaya, sekretariat
Nahdlatul Ulama menjadi semarak oleh orang-orang yang terlibat di kepengurusan.
Gema tahlil membahana seiring geliat pengurus yang semakin tak sabar
mendengarkan apa yang akan dititahkan Kiai Hasyim Asy’ari. Masyarakat pun
semakin berduyun-duyun berkerumun di depan gedung tersebut. Sebab mereka tahu
akan ada tausiyah akbar oleh sang Kiyai yang penuh kharima itu.
“Saudara-saudaraku,” seru Kiai
Hasyim Asy’ari di tengah-tengah tausiyahnya, “dalam kesempatan ini marilah kita
merunduk sejenak, bertafakur dan tentu saja menyampaikan puja-puji kita
kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah begitu banyak mencurahkan
rahmat-Nya kepada kita. Salah satu caranya adalah dengan mendatangkan wasilah
tentara Jepang untuk mengusir kompeni yang sudah bercokol selama kurang lebih
delapan generasi. Kita patut bersyukur, dan salah satu cara syukur kita adalah
dengan mengisi kesempatan baik ini untuk menata negeri sendiri, membangun
pranata madrasah- madrasah untuk menyokong kecerdasan umat, dan tentu saja kita
tingkatkan hubungan baik ini dengan pemerintahan Jepang.”
Begitu seru Kiai Hasyim di atas mimbar dengan
suara semangat yang meluap-luap, meletup-letup. Sebuah sikap apresiasi kepada
Jepang, sebagaimana yang telah ditunjukkan pula oleh pemimpin nasionalis
sekuler di hampir semua daerah. Tak ketinggalan Bung Karno dan Bung Hatta juga
menyerukan hal yang sama. Hal ini, baik langsung maupun tidak langsung, karena
Jepanglah Belanda terusir dari pertiwi, dengan demikian Jepang mengurangi
penderitaan rakyat yang sudah berabad-abad lamanya. Akan tetapi, hari-hari
belum genap satu bulan, harapan besar rakyat Indonesia untuk merdeka menjauh.
Awal Juli 1942, Jepang yang pernah menjanjikan kepada Soekarno sebagai pemimpin
GAPI untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang sah dan
berdaulat utuh di bawah kibaran bendera merah-putih, kini janji itu mereka
khianati dan justru terganti dengan kebijakan yang sangat mengejutkan. Persis
pada tanggal 15 Juli 1942, tiba-tiba Jepang membuat kebijakan yang sepihak
berupa larangan terhadap semua gerakan sosial dan politik. Pada tengah malam di
hari itu, banyak pemimpin revelosioner yang awalnya satu barisan dengan Jepang
ditangkapi. Bahkan polisi Jepang (Kempetai) dengan begitu saja mengambil
tindakan yang aneh pada pribumi. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan
menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana
terbuat dari karung goni. Hanya orang kaya saja yang punya baju yang terbuat
dari kain. Itu pun kain seadanya, jauh dari layak. Dampak dari kebijakan
sepihak dan nyeleneh ini, rakyat pribumi pun sulit mendapat obat-obatan.
Rumah-rumah sakit langka. Mereka yang menderita penyakit kudis, koreng,
jumlahnya meningkat, karena sulit mendapatkan salep. Hampir saja tak ada anak-
anak pribumi yang tidak berpenyakitan jenis ini. Karena kelangkaan obat,
sementara jumlah penyakit yang mendera anak semakin banyak, jadilah pribumi
membuat obat salep sendiri dari berbagai macam jenis tumbuhan, dan dipoleskan
ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Kelaparan melanda di mana-mana,
dan karena tak kuat menahan lapar, banyak peibumi yang mengais makanan dari
sisa makan orang Jepang. Saat itu tempat sampah menjadi tempat paling favorit
bahkan orang berebut dengan cara ramai-ramai mengambil sisa makanan dari
buangan makan orang Jepang. Dan kalau bukan rebutan makanan di tempat sampah,
penjajah Jepang memerintahkan rakyat makan bekicot. Banyak laki-laki Indonesia
diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan
pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondis yang
sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang. Tentara Jepang dengan paksa mengambil
makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia,
tanpa memberikan ganti rugi.
Radio yang hanya dimiliki
beberapa gelintir orang disegel. Hanya siaran pemerintah Dai Nippon yang boleh
didengarkan. Kalau sampai ketahuan rakyat mendengarkan siaran luar negeri pasti
akan dihukum berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi
militer Jepang.
Pada malam hari seringkali
terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara
sekutu. Rakyat pun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat
perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau
lima orang bila terdengar sirene bahaya udara. Ratusan ribu tenaga kerja paksa
atau disebut romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar
wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang
menolak jadi romusha.
Jepang pun menggunakan cara
paksa. Setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia
kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan
pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Birma dan
beberapa negara lainnya. Begitu banyak kebijakan aneh yang menyiksa pribumi dan
dampak buruk ekonomi horisontal terus mendera silih berganti, tidak hanya
terbatas pada kelangkaan makanan, standar kesehatan yang sangat rendah, kerja
paksa, tetapi termasuk juga memperbudak para perempuan. Ribuan wanita Indonesia
yang ditangkap dipaksa menjadi fujingkau atau yugun ianfu alias perempuan
pemuas seks tentara Jepang.
Sekolah-sekolah juga dipaksa
untuk tutup, dan buku serta kertas, pensil menghilang pula dari pasar. Akhirnya
pribumi membuat buku tulis yang terbuat dari kertas merang. Pensilnya
menggunakan arang, hingga sulit sekali menulis.
“Saudara-saudara, sekolahan dan madrasah tak
boleh ditutup, sebab sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk mencerdaskan
anak bangsa. Dan kita jadi sadarlah, ternyata orang kulit kuning, Jepang datang
ke bumi pertiwi kita tidak hendak untuk membantu kita, tapi merebut kekuasaan
dari Belanda untuk mereka sendiri!” Begitulah seruan Kiai Hasyim di mana-mana,
dan seruan itu juga menjadi topik besar-besaran di Soeara Nahdlatoel Oelama. Lebih
dari itu, Kiai Hasyim di media basis NU itu juga menjelaskan bahwa motif Jepang
bersemangat untuk menguasai benua Asia adalah karena kebutuhan atas sumber
enegi minyak bumi. Karena saat itu geliat industri di Jepang mulai naik,
sementara negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika mengembargo minyak ke
Jepang. Dada Kiai Hasyim semakin miris saat tak lama kemudian Jepang menetapkan
kebijakan untuk seikeirei, sebuah ritual atau upacara khas dengan cara
membungkukkan badan ke istana kaisar pukul tujuh pagi. Hasyim melihat itu mirip
rukuknya kaum muslimin, apalagi kiblatnya mengarah kepada Kaisar Jepang Tenno
Heika, yang diyakini orang Jepang sebagai titisan Dewa.
“Saudara-saudaraku seiman dan
sebangsa, membungkukkan badan serupa rukuk dalam shalat untuk menghadap ke
Kaisar Jepang sebagai penghormatan, adalah bagian dari kemusyrikan. Karena itu
haram hukumnya!” Teriak Kiai Hasyim lantang. Kiai Hasyim Asy’ari juga
memberikan fatwa haram teradap muslim pribumi untuk menyanyikan lagu kebangsaan
“Kimigayo” dan mengibarkan bendera Hinomaru serta segala bentuk Niponisasi
(serba Jepang).
Hari berikutnya, Kiai Hasyim
menyerukan semua pribumi yang bekerja di Pabrik Gula yang saat itu dikuasai
oleh Jepang, untuk mogok kerja hingga perekonomian nyaris lumpuh beberapa hari.
Tak berhenti di situ, Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam militan,
dari para santri untuk ikut terjun ke milisi Laskar Hizbullah dan Barisan
Sabilillah yang diketuai oleh puteranya yang bernama Abdul Kholik. Begitu juga
sang kiai itu meminta dengan sangat agar setiap kaum muslimin bangsa ini di
manapun berada bergabung bersama tentara Pembela Tanah Air (PETA), atau masuk
gerakan Pandu Hisbul Wathan organisasi sayap Muhammadiyah. Akibat perlawananya
ini,–sebagaimana yang kita tahu, –ia kemudian dimasukkan ke penjara dan
disiksa, tetapi api perlawanannya, sedikitpun tak pernah padam.
Di antara kelebihan lain Kiai
Hasyim Asy’ari adalah kemampuan menyampaikan keilmuan Islam dengan spirit
nasionlisme dan kebangsaan, serta mampu membuat jaringan intelektual di seluruh
Nusantara, terutama pulau Jawa. Jaringan intelektual pertama dimulai dari para
santrinya yang tersebar di berbagai daerah untuk membentengi rakyat Indonesia
dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk
membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual sebagai
penggerak. Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, para intelektual jangan sampai
terpecah-belah dan dibiarkan untuk diadu-domba, tapi harus kokoh dalam
persatuan. Karena, Indonesia akan lemah jika intelektualnya tercerai-berai.
Untuk
mewujukdan itu, iapun menjadi sosok penting dalam pendirian organisasi
Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, dan pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam juga
mengangkat Kiai Hasyim Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia. Melalui
dua ormas ini, nasionalisme dan ukhuwah Islam bangkit, sehinga cita-cita bangsa
Indonesia meraih kemerdekaan, di antaranya dapat mudah terwujud.
No comments:
Post a Comment