BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang
melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata
(Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu
yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama
Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat
Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama
Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni
kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam
terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada
masyarakat atau kelompok masyarakat.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan
memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman
manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta
mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari
keduanya.
1.2 Rumusan Masalah
·
Apakah sumber – sumber ajaran agama islam
·
Apa yang dimaksud dengan ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber-Sumber Ajaran Islam
2.1.1 AL-QUR’AN
Secara
etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan
yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran)
Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar
dengan yang disampai- kan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di
Mekah kemudian di Medinah.
Al-Qur’an
menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat mengaggumkan
bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang kafir. Al-Qur’an
pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang
perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Qur’an memiliki
beberapa nama lain, antara lain adalah Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab
(QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1), At-Tanzil (QS. As-Syu’ara:
192), Adz-Dzikir (QS. Al-Hijr: 1-9).
Ayat-ayat
al-Quran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan
antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah
(sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah)
ke Madinah. Ayat-ayat yang tutun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah
di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi
Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah
Ciri-cirinya
adalah :
1.
Ayat-ayat
Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran,
terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya
panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28
surat, 1456 ayat.
2.
Ayat-ayat
Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang
ayat–ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai
orang-orang yang beriman).
3.
Pada umumnya
ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada Kemaha Esaan
Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedang
ayat-ayat Madaniya memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya.
2.1.2 AL-HADIST
Al-Hadis
adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran
Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai
kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata
yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan
diamalkan.
2.1.3 IJTIHAD
Ijtihad
berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran
atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan
segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil
syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum
ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu
masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat
dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran
dan hadist.
Macam-macam
ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
1.
Ijma’, yaitu
menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah
beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.
Qiyas,yaitu
berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain
Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu
perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang
sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’,
‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti
hati orang tua.
3.
Istihsan,
yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih
kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah
kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang
menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita
dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan
tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.
Mushalat
Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut
istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat
Islam demi kemaslahatan umat.
5.
Sududz
Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah
adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras
walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti
ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk
bahkan menjadi kebiasaan.
6.
Istishab,
yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa
lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti
ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia
harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.
Urf, yaitu
berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan
uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab
kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Syarat-syarat
Ijtihad
a. Menguasai bahasa Arab
Ulama Ushul telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan harus
menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at –
dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas
dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab.
Imam Ghazali memberikan kriteri penguasaan bahasa Arab oleh seorang
mujtahid, dengan mengatakan: seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang
Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di
kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih,
zhahir, dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang
khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayad,
nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
b. Mengerti nasakh dan mansukh
Syarat ini telah ditentukan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah,
sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini
didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama
syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di
dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa “Barangsiapa
menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa missi kenabian (nubuwwah).
Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara
mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam
al-Quran yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap
ayat-ayat tersebut harus mendalam sampai pada yang khas dan ‘am
serta takhshish yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus
mengerti ayat-ayat yang dinasakh hukumnya berdasarkan teori bahwa pada
ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat yang menasakh dan yang dinasakh.
Dengan menguasai ayat-ayat hukum tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti
meskipun secara global isi ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang
utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu begaian dengan bagian yang lain.
Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asnawi: Sesungguhnya untuntuk mengetahui
perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat lainnya harus mengerti
keseluruhannya.”
c. Mengerti Sunnah (Hadits)
Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang
mujtahid harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah
(perkataan), fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah
(ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa
ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya. Menurut pendapat yang menolak adanya
pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah
yang mengandung hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap
maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadits.
Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam
Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayadnya,
takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur riwayat dan
sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat dan keadaan
perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
d. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf,
maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat)
yang terjadi di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara
ulama Fiqh di Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara
rasional akan mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan
yang tidak shahih, kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran
dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan
demikian, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
e. Mengetahui Qiyas
Imam syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu
adalah qiyas itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui
perihal qiyas yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang
ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan
seorang mujtahid memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi
sasaran ijtihadnya.
Pengetahuan
tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:
1.
Mengetahui
seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk
dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (Cabang).
2.
Mengetahui
aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan
dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya
sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
3.
Mengetahui
metode yang dipakai oleh ulama salaf yang shalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat
hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian
hukum fiqh.
Zahrah, Abu, Muhammad, Prof., Ushul al-Fiqh (terjemah:
Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali
Zawawi), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Mempelajari
agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan
muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal
pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber
ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber
ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist),
sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.
1.2
Saran
Sebelum kita
mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari
sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajri sesuai
dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-sunnah
(hadist).
DAFTAR
PUSTAKA
s41f.blogspot.com/2013/04/erbedaan-pendapat-para-imam-mujtahid.html
http://makalah4all.wap.sh/Data/Kumpulan+makalah+pertanian/__xtblog_entry/9601685-makalah-sumber-ajaran-agama-islam?__xtblog_block_id=1
No comments:
Post a Comment