Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Tuesday, March 31, 2020

Makalah sumber – sumber ajaran agama islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.
1.2 Rumusan  Masalah
·       Apakah sumber – sumber ajaran agama islam
·       Apa yang dimaksud dengan ijtihad




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber-Sumber Ajaran Islam
2.1.1 AL-QUR’AN
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampai- kan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Medinah.
Al-Qur’an menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang kafir. Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Qur’an memiliki beberapa nama lain, antara lain adalah Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab (QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1), At-Tanzil (QS. As-Syu’ara: 192), Adz-Dzikir (QS. Al-Hijr: 1-9).
Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah) ke Madinah. Ayat-ayat yang tutun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah
Ciri-cirinya adalah :
1.     Ayat-ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1456 ayat.
2.     Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat–ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai orang-orang yang beriman).
3.     Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada Kemaha Esaan Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedang ayat-ayat Madaniya memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya.
 2.1.2 AL-HADIST
Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
 2.1.3 IJTIHAD
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.


Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
1.      Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.      Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.      Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.      Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.      Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.      Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.      Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Syarat-syarat Ijtihad
a.     Menguasai bahasa Arab
Ulama Ushul telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab.
Imam Ghazali memberikan kriteri penguasaan bahasa Arab oleh seorang mujtahid, dengan mengatakan: seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.



b.     Mengerti nasakh dan mansukh
Syarat ini telah ditentukan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa “Barangsiapa menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa missi kenabian (nubuwwah).
Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum  yang terdapat dalam al-Quran yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap ayat-ayat tersebut harus mendalam sampai  pada yang khas dan ‘am serta takhshish yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat yang menasakh dan yang dinasakh. Dengan menguasai ayat-ayat hukum tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti meskipun secara global isi ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu begaian dengan bagian yang lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asnawi: Sesungguhnya untuntuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat lainnya harus mengerti keseluruhannya.”
c.      Mengerti Sunnah (Hadits)
Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid  harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya. Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayadnya, takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat dan keadaan perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
d.     Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara rasional akan mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih, kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
e.      Mengetahui Qiyas
Imam syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan seorang mujtahid memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran ijtihadnya.
Pengetahuan tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:
1.     Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (Cabang).
2.     Mengetahui aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
3.     Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salaf yang shalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.
Zahrah, Abu, Muhammad, Prof., Ushul al-Fiqh (terjemah: Saefullah Ma’shum, Slamet Basyir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
BAB III
PENUTUP
1.1     Kesimpulan
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.
1.2     Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajri sesuai dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-sunnah (hadist).







DAFTAR PUSTAKA

s41f.blogspot.com/2013/04/erbedaan-pendapat-para-imam-mujtahid.html
http://makalah4all.wap.sh/Data/Kumpulan+makalah+pertanian/__xtblog_entry/9601685-makalah-sumber-ajaran-agama-islam?__xtblog_block_id=1

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts