Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan
kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau
lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri
mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak,
yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah
satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan
sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Menurut Mas Acmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya
adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak --
misalnya satu atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class repesentatif)
mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan
orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili
tersebut diistilahkan sebagai class
members . (Mas Acmad Santosa)
Class action adalah
sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih
dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu
menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. (Black’s law dictionary)
Class action
bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan
sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan
seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan
kepada perwakilan.
Hal ini berarti bahwa kegunaan class action
secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang
ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya
putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama
di hadapan hukum dan ia pun berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa
dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan
gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu gugatan
yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi, sedangkan
gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu,
gugatan perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan perdata.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan
perdata dapat dilakukan dengan dua cara.
1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli
warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama (class action).
Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Numerosity,
yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya orang
banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu
gugatan.
2. Commonality,
yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum
(question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan
anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama,
berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama, dll.
3. Tipicality,
yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan anggota
kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai
tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis
tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan,
dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang
dideritanya.
4. Adequacy
of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan
perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:
- harus
memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang
diwakilinya;
- memiliki
bukti-bukti yang kuat;
- jujur;
- memiliki
kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;
- mempunyai
sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri disbanding
kepentingan anggota kelompoknya; dan
- sanggup
untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.
Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat
formil sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, harus memuat:
- identitas
lengkap dan jelas,
- definisi
kelompok secara secara rinci dan spesifik;
- keterangan
tentang anggota kelompok;
- posita
dari seluruh kelompok;
- jika
tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka dalam
satu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
- tuntutan
atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan
tim.
Gugatan didaftarkan ke peradilan umum,
segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan gugatan kelompok dinyatakan
sah, wakil kelompok memberitahukan kepada anggota kelompok melalui media cetak/
elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada anggota kelompok.
Setelah pemberitahuan dilakukan, anggota
kelompok dalam jangka waktu tertentu diberi kesempatan menyatakan keluar dari
keanggotaan kelompok. Seterusnya proses persidangan sesuai dengan ketentuan
yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata.
PERKEMBANGAN CLASS ACTION DI INDONESIA
Class action sesungguhnya
lebih dikenal oleh negara-negara yang menganut system hukum common law daripada di
negaranegara yang menganut sistem civil
law. Hal ini karena dalam sejarah dan perkembangannnya class action untuk
pertama kalinya diperkenalkan di Inggris, negara yang melahirkan sistem hukum common law. Pada
perkembangannya negara-negara persemakmuran Inggris kemudian menganutnya.
Sedangkan negara-negara yang tidak menganut system hukum common law, seperti
halnya Amerika dan Indonesia pada umumnya hanya mengadopsi dan disesuaikan
dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya masing-masing.
Sejarah class action di Indonesia dibagi
menjadi 2 periode :
- Before
recognition
- After
recognition
Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class
action adalah dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
1. Before Recognition of Class Action
Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada
aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action
sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class
action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O.
Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga
Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Dalam
gugatannya, Pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak
hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga mewakili
seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel.
Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan
melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam
Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988. Dalam kasus ini pengacara
Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk
kepentingan diri sendiri sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili
masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa.
Selain itu Kasus YLKI melawan PT. PLN
Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun
1997 di PN Jakarta Selatan.
Dari ketiga kasus class action di atas
sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan
pertimbangan :
- Gugatan
class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak
ada kepentingan. Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya
pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh
orang yang memiliki hubungan hukum.
- Pihak
penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR
disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan
hukum diperlukan suatu Surat Khusus.
- Belum
ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class
action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class
action ke pengadilan
- Bahwa
class action lebih didominasi di negara yang menganut stelsel hukum Aglo
Saxon, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominann dipengaruhi
oleh stelsel hukum eropa
kontinental.
2. After Recognition of Class Action
Class Action dalam
Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU
Lingkungan Hidup pada tahun 1997 kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan
Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Namun pengaturan Class Action hanya
terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Selain itu ketiga UU tersebut
tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan
perwakilan kelompok (Class
Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya
dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan
pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan
melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa.
Ketentuan yang secara khusus mengenai acara
dan prosedur Class Action baru
diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur
tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka kesempatan
keluar dari gugatan class
action bagi anggota kelompok (opt
out).
A. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23
Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke
pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Dalam penjelasan pasal 37 ayat
(1) menyebutkan bahwa yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat
ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat
dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
B. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b UU No. 8
Tahun 1999 menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 46 ayat 1 Huruf b menjelaskan bahwa
Undang-undang ini (Perlindungan Konsumen) mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan
kelompok atau class action harus
diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara
hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
C. UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan
akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke
pengadilan secara :
(a) orang perorangan;
(b) kelompok orang dengan
pemberian kuasa;
(c) kelompok orang tidak dengan
kuasa melalui gugatan perwakilan.
Sedangkan dalam penjelasan pasal 38 ayat (1)
UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “hak mengajukan
gugatan perwakilan”
adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat
dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor
hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai
akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dalam pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999
disebutkan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah
tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau
pengeluaran nyata, dengan tidak menutup
kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Penjelasan pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999
disebutkan bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak
dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan
lain, yaitu :
· Memohon
kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan
kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
· Menyatakan
seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja
konstruksi;
· Memerintahkan
seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi
untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja
jasa konstruksi.
D. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pengaturan mengenai gugatan class action dalam UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
diatur dalam Pasal 71 ayat 1
yang menyatakan bahwa masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap
kerusakan hutan yang
merugikan kehidupan masyarakat.
E. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok
PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class
Action) sebagai
suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
No comments:
Post a Comment