A. Proses Pembentukan Keterampilan Sosial
Anak Usia Dini
Pendidikan moral pada usia dini harus dilakukan sejak anak
dilahirkan, dan pada usia di bawah 2 tahun dapat dilakukan hanya dengan
memberikan kasih sayang sebesar-besarnya kepada anak. Menurut Thomas Lickona,
“Love lights the lamp of human development. If we wish to raise good children,
we should begin by giving them our love” (Budiningsih, Asri C.: 2005).
Ibaratnya sebuah bejana kosong, kalau diisi air “cinta dan kasih sayang” maka
bejana tersebut hanya berisi air kesucian. Ketika anak dewasa, bejana (hati)
ini hanya akan menebarkan kesucian dan kebajikan dalam perjalanan hidupnya.
Apabila yang diterima adalah umpatan, dan contoh-contoh yang buruk, maka
sifat-sifat seperti inilah yang akan disebarkan dalam perjalanan hidupnya. Oleh
karena itu, orang tua (khususnya ibu) perlu sekali untuk mencium, memberikan
kata-kata manis, dan mendendangkan cinta kepada bayi-bayi mereka.
Menurut Darsono Max (2001) “Seorang anak yang siap untuk
masuk usia sekolah harus sudah dibekali dengan kesadaran emosi seperti rasa
bersalah, rasa malu, perasaan disakiti, bangga, dan sebagainya”. Anak-anak pada
usia pra-sekolah harus sudah dapat membedakan beberapa jenis emosi yang
dirasakannya, sehingga mereka tidak menjadi bingung tentang nilai-nilai dari
emosi yang dirasakan oleh mereka. Misalnya, seorang anak yang merasa iba kepada
seorang anak yang dikucilkan, sedangkan seluruh kawan-kawannya mengejek anak
tersebut. Anak tersebut akan mempunyai rasa ambivalen antara rasa empati dan
rasa takut untuk dikatakan pengecut karena tidak mau terlibat untuk turut
mengejek anak yang dikucilkan tersebut. Anak harus tahu bahwa merasa empati
kepada anak yang dikucilkan adalah perasaan yang lebih baik yang harus diikuti.
Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah, terutama
pada usia TK dan SD, juga perlu dilakukan, tentunya disesuaikan dengan tahap
perkembangan umur anak. Hal ini berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila yang
selaim ini dilakukan yang hanya menyentuh aspek akademik (hafalan dan
pengetahuan saja), tetapi tidak melibatkan aspek emosi (feeling) dan perilaku
(acting).
B. Macam Keterampilan Sosial Anak
Usia Dini
Beberapa hasil penelitian menunjukkan masih banyak anak TK
(PAUD) yang memilih cara agresif dalam penyelesaian konflik, hasil penelitian
lain menunjukkan cara tersebut akan dibawa hingga dewasa. Pemahaman pendidik TK
(PAUD) dalam kajian keterampilan sosial sangat minim dan beberapa bentuk
program yang ada dilakukan dengan tidak sadar atau terprogram dengan jelas.
Pendidik PAUD atau Taman Kanak-kanak belum terbiasa untuk
melakukan stimulasi keterampilan sosial yang terprogram dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat tiga alasan pendidik PAUd yang belum
terbiasa melakukan stimulasi, yaitu;
Pendidik sebagian besar sudah mengimplementasikan social
skill dalam proses kegiatan belajar di PAUD atau TK, namun pada hasil
kualitatif, terlihat bahwa sebagian besar pendidik belum memahami secara betul
makna social life skill.
Usaha penanaman social life skill belum terprogram dalam
kegiatan yang direncanakan, melainkan hanya secara implisi disertakan pada
kegiatan-kegiatan lain.
Usaha pendidik dalam memahami macam keterapilan anak didik
masih belum terencana atau diprogramkan. Bila sudah direncanakan atau
diprograkan akan dapat dilaksanakan secara sadar sistematik, sehingga tujuan
yang ingin dicapai secara eksplisit dapat dijadikan pedoman target yang jelas.
Sedangkan maca-macam keterapilan yang dimiliki oleh anak
didik di PAUD adalah rasa empati, penuh pengertian, tenggang rasa, kepedulian
pada sesame, komunikasi dua arah/ hubungan antar pribadi, kerjasama, tata
krama/kesopanan, kemandirian, dan rasa tanggung jawab sosial. Dari beberapa
uraian di atas dapat dikemukakan bahwa ketrampilan sosial adalah keterampilan
atau strategi yang digunakan untuk memulai ataupun mempertahankan suatu
hubungan yang positif dalam interaksi sosial, yang diperoleh melalui proses
belajar dan bertujuan untuk mendapatkan hadiah atau penguat dalam hubungan
interpersonal yang dilakukan.
C. Konsep Pembentukan Karakter Sosial Usia
Dini
Pengembangan karakter anak banyak dipengaruhi oleh
lingkungan terutama dari orangtua. Anak belajar untuk mengenal nilai-nilai dan
perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dilingkungannya tersebut. Dalam
pengembangan karakter social anak, peranan orang tua dan guru sangatlah
penting, terutama pada waktu anak usia dini.
Berbagai bentuk kejahatan dan tindakan tidak bermoral
dikalangan anak menunjukan bahwa anak didik kita belum memiliki karakter social
yang baik. Hal ini perlunya pengembangan karakter yang sesuai dengan anak, yang
tidak sekedar pengetahuan, dan doktrinasi, tetapi lebih menjangkau dalam
wilayah emosi anak.
Usaha atau upaya yang dapat dilakukan oleh guru dan orang
tua dalam membangun karakter anak usia dini adalah:
1. Memperlakukan anak sesuai
dengan karakteristik anak.
2. Memenuhi kebutuhan dasar
anak antara lain kebutuhan kasih sayang, pemberian makanan yang bergizi.
3. Pola pendidikan guru dengan
orangtua yang dilaksanakan baik dirumah dan di sekolah saling berkaitan.
4. Berikan dukungan dan
penghargaan ketika anak menampilkan tingkah laku yang terpuji.
5. Berikan fasilitas
lingkungan yang sesuai dengan usia perkembangannya.
6. Bersikap tegas, konsisten
dan bertanggungjawab
D. Prosedur Pembentukan Keterapilan Sosial
Anak Usia Dini
Prosedur membentuk karakter anak dimulai sejak dini, paling
tidak anak berusia dua tahun. Apabila masa usia 2 tahun pertama anak sudah
mendapatkan cinta, maka sangat mudah anak tersebut dibentuk menjadi manusia
yang berakhlak mulia. Menurut hasil penelitian, anak-anak usia 2 tahun sudah
dapat diajarkan nilai-nilai moral, bahkan mereka sudah dapat mempunyai perasaan
empati terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain.
Misalnya, ketika ia melihat raut wajah ibunya yang sedih, ia
dapat mengekspresikan empatinya. Dikatakan bahwa rasa empati adalah sifat alami
yang sudah ada sejak anak dilahirkan yang merupakan sumber dari moralitas
individu, seperti rasa iba dan rasa ingin berbuat baik, termasuk perasaan
bersalah dan malu kalau melakukan hal-hal yang tidak baik. Sedangkan bagaimana
empati dapat terus tumbuh subur adalah tergantung dari emotional bonding dengan
ibunya pada usia-usia awal kehidupan seorang anak.
Mengenai prosedur pembentukan keterapilan sosial anak usia
dini yaitu saat usia anak paling tidak berusia dua tahun. Kemudian anak yang
berusia dua tahun tersebut harus dibekali dengan kesadaran emosi
seperti rasa bersalah, rasa malu, perasaan disakiti, bangga, dan sebagainya.
Menurut Hamalik, Oemar (2004), seorang anak yang siap untuk masuk usia sekolah
harus sudah dibekali dengan kesadaran emosi seperti rasa bersalah, rasa malu,
perasaan disakiti, bangga, dan sebagainya.
Anak-anak pada usia pra-sekolah harus sudah dapat membedakan
beberapa jenis emosi yang dirasakannya, sehingga mereka tidak menjadi bingung
tentang nilai-nilai dari emosi yang dirasakan oleh mereka. Misalnya, seorang
anak yang merasa iba kepada seorang anak yang dikucilkan, sedangkan seluruh
kawan-kawannya mengejek anak tersebut. Anak tersebut akan mempunyai rasa
ambivalen antara rasa empati dan rasa takut untuk dikatakan pengecut karena
tidak mau terlibat untuk turut mengejek anak yang dikucilkan tersebut. Anak
harus tahu bahwa merasa empati kepada anak yang dikucilkan adalah perasaan yang
lebih baik yang harus diikuti.
Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah, terutama
pada usia TK dan SD, juga perlu dilakukan, tentunya disesuaikan dengan tahap
perkembangan umur anak. Hal ini berbeda dengan Pendidikan Moral Pancasila yang
selaim ini dilakukan yang hanya menyentuh aspek akademik (hafalan dan
pengetahuan saja), tetapi tidak melibatkan aspek emosi (feeling) dan perilaku
(acting).
E. Tahapan Pembentukan Keterampilan
Sosial Anak Usia Dini
Pembentukan keterampilan sosial anak usia dini ada tiga hal
yang berlangsung secara terintegrasi.
Kesatu, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa
yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kedua, anak mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan
membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk
berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau mencuri, karena tahu mencuri itu
buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan.
Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa
melakukannya. Lewat proses sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada
anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan yang Maha Esa dan alam semesta beserta
isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan
santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja
keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati;
toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Tujuan mengembangkan keterampilan sosial anak usia dini
adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter
yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmenya untuk melakukan
berbagai hal yang terbaik dan melakukannya dengan benar, dan cenderung memiliki
tujuan hidup. Membangun karakter yang efektif, ditemukan dalam lingkungan
sekolah yang memungkinkan semua anak menunjukan potensi mereka untuk mencapai
tujuan yang sangat penting. (Salim, Agus dkk: 2004).
No comments:
Post a Comment