BAB
I
LATAR
BELAKANG
Pemahaman konstitusi pada saat
ini sedikit bergeser akibat adanya perubahan nilai-nilai politik yang
dikembangkan dalam suatu negara. Seyogianya pemahaman tentang teori konstitusi
sangat penting sebagai acuan dalam penerapan aturan dasar suatu negara sebagai
hasil interaksi politik dan sosial.
Pembelajaran mengenai teori
dan hukum konstitusi berada di bawah naungan mata kuliah wajib Hukum Tata
Negara, kemudian disebut dengan HTN. Kajian ini adalah prasyarat bagi mereka
yang akan mengambil mata kuliah Ilmu Perbandingan HTN dan sebagai dasar yang
melengkapi kajian-kajian dalam bidang HTN pada umumnya.
Teori Konstitusi adalah sebuah kajian dalam garis
besar tentang apa dan bagaimana konstitusi sepanjang sejarah, dalam hal ini
dibicarakan sejumlah pengertian dasar tentang konstitusi, faham-faham atau
doktrin-doktrin yang penting mengenai konstitusi yang tidak terlepas kaitannya
dengan pola pandang suatu bangsa dalam perspektif negara modern.
Paradigma susunan kelembagaan negara
mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan
2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru
dibentuk, meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang
dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK didesain menjadi pengawal dan
sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi
kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara
hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun
silam
banyak
dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan
mengembangkan demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum
begitu dikenal oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang
terkait dengan MK dan segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh
masyarakat. Sejalan dengan misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia
serta budaya sadar berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern
yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan
perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi
diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju
rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip
kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK
dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional
warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest
norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat
membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara.
Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk
penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
Kata
“Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer”
(Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian
konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan
perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum.
Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
A. Konstitusi Tertulis
dan Tidak Tertulis
Konstitusi memuat suatu aturan
pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu
bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat
dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam
konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan
“Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti
halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan
“Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam
karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua
negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen
tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak
berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam
buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan
konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan
b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara
yang diakui dan dilindungi
|
Ada
konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi
yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti
uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru
236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal,
di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36
pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal,
Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
B. Klasifikasi
Konstitusi
Sebagaimana
telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi.
Apabila dibandingkan anata satunegara dengan negara lain akan nampak perbedaan
dan persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi
yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara
lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.
Dalam
buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi
sebagai berikut:
a.
Konstitusi
tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and
unwritten constitution);
b.
Konstitusi
fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
Konstitusi
fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
1)
Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah
2) Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti
mengubah undang-undang
Konstitusi
rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
1) Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari
undang-undang;
2) Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa
c.
Konstitusi
derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not
supreme constitution)
Konstitusi
derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara
(tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi
adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
d.
Konstitusi
Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
Bentuk
negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu
negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat)
dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian
kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena
pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
e.
Konstitusi
Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and
Parliamentary Executive Constitution)
Dalam sistem pemerintahan
presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
-
Presiden
memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki
kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan
-
Presiden
dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
-
Presiden
tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan
pemilihan umum
Konstitusi dalam sistem
pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :
-
Kabinet
dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang
menguasai parlemen
-
Anggota
kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen
-
Presiden
dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakan pemilihan umum.
Konstitusi
dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem
pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945 tidak termasuk ke
dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri
konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi
pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.
C. Amandemen Undang-undang Dasar RI 1945
UUD 1945 mengalami
perubahan/amandemen yang dilakukan bertahap atau beberapa kali. Ada beberapa
alasan UUD 1945 mengalami perubahan diantaranya sebagai berikut :
- Lemahnya
checksand balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Executive
heavy yakni kekuasaan dominan berada ditangan Presiden dengan hak
prerogative dan kekuasaan legislatif
- Pengaturan
yang terlampau fleksibel (vide: pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
·
Terbatasnya
pengaturan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi
Amandemen UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali dengan beberapa
hal yang mengalami perubahan. Berikut proses amandemen UUD 1945 serta inti dari
perubahan yang dihasilkan :
1)
Perubahan
Pertama, disahkan 19 Oktober 1999
-
SU
MPR 14-21 Oktober1999
-
Terdiri
dari 9 pasal: Ps. 5; Ps. 7 ;Ps.9; Ps.13; Ps.14; Ps.15; Ps.17; Ps.20 ; Ps.21.
-
Inti
perubahan: Pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlampau kuat (executive
heavy)
2)
Perubahan
Kedua, disahkan 18 Agustus 2000
-
SU
MPR 7-8 Agustus 2000
-
Perubahan:
5 Bab dan 25 pasal: Ps. 18; Ps. 18A; Ps. 18B ; Ps. 19 ; Ps.20 ; Ps.20A ; Ps.22A
; Ps.22B ; BabIXA, Ps 25E; BabX, Ps. 26 ; Ps. 27; BabXA, Ps. 28A ; Ps.28B;
Ps.28C ; Ps.28D ; Ps.28E ; Ps.28F ; Ps.28G ; Ps.28H ; Ps.28I ; Ps.28J ; BabXII,
Ps. 30; BabXV, Ps. 36A ; Ps.36B ; Ps.36C.
-
Inti
Perubahan: Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang
Negara dan Lagu Kebangsaan.
3)
Perubahan
Ketiga, disahkan 10 November 2001
-
ST
MPR 1-9 November 2001
-
Perubahan
3 Bab dan 22 Pasal: Ps. 1; Ps. 3 ; Ps.6 ; Ps.6A ; Ps.7A ; Ps.7B ; Ps.7C ; Ps.8
; Ps.11 ; Ps.17, BabVIIA, Ps. 22C ; Ps.22D ; BabVIIB, Ps. 22E ; Ps.23 ; Ps.23A
; Ps.23C ; BabVIIIA, Ps. 23E ; Ps. 23F ; Ps.23G ; Ps.24 ; Ps.24A ; Ps.24B ;
Ps.24C.
-
Inti
Perubahan : Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan,
Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman
4)
Perubahan
Keempat, disahkan10 Agustus 2002
-
ST
MPR 1-11 Agustus 2002
-
Perubahan2
Babdan13 Pasal: Ps. 2; Ps. 6A ; Ps.8 ; Ps. 11 ; Ps.16 ; Ps.23B ; Ps.23D ; Ps.24
; Ps. 31 ; Ps.32 ; BabXIV, Ps. 33 ; Ps.34 ; Ps.37.
-
Inti
Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang,
perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Amandemen UUD 1945 telah
membawa konsekuensi berubahnya struktur ketatanegaraan di Indonesia. Dalam
kasus di Indonesia ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi
banyaknya pembentukan lembaga negara baru yang bersifat independen.
BAB III
PRAKTEK HUKUM MAHKAMAH
KONSTITUSI
Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam UUD NRI Tahun 194538. Sedangkan menurut pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24C UUD NRI 1945 Joncto Pasal 10 UU
No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, mengatur bahwa: Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a.
Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Mengenai
pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal
50 sampai dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah produk politik biasanya
merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai
produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan
atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu
peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada
peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan
atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial
review12. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan
terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK.
Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang
mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor
konstitusi.
b.
Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
c.
Memutus
pembubaran partai politik.
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran
partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak
demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang
dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak
berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK
jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan
dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Perselisihan hasil Pemilu adalah
perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi
apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil
presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3).
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini
telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
e.
Pendapat DPR mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai
dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam
sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum
habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law,
presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak
bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat
mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam
ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan
2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari perspektif ilmu,
hukum dasar yang menjadi obyek formal Ilmu Hukum Konstitusi. Jadi, ilmu hukum
konstitusi adalah ilmu hukum yang mempelajari konstitusi dalam pengertian Hukum
Dasar dari suatu Negara. Aspek-aspek hukum ketatanegaraan lainnya dari Ilmu
Hukum Tata Negara dalam arti luas, yaitu Aspek hukum susunan Negara dan aspek
hukum penyelenggaraan Negara.
Amandemen Konstitusi baru mengatur secara terbatas
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Untuk
itu diperlukan mekanisme lain yang dapat mengakomodasi dan menangani konflik
dari lembaga negara lainnya.
Adapun mekanisme dimaksud dapatlah
dikemukakan sebagai berikut: kesatu sistem check and balance haruslah
diatur sedemikan rupa sehingga benar terjadi saling kontrol dan saling imbang
kekuasaan sehingga potensi konflik terserap habis di dalam sistem dmaksud;
kedua, segala sengketa di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat melalaui
proses negosisasi dan konsensus serta untuk itu perlu dibuat suatu sistem dan
mekanisme yang memungkinkan
terjadinya negosiasi politik yang dapat saja diletakan di dalam Mahkamah
Konstitusi; ketiga, Mahkamah Konstitusi diberikan
kekuasaan yang lebih luas untuk dapat menyelesaikan segala macam konflik yang
potensial terjadi pada lembaga negara.
|
DAFTAR PUSTAKA
C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi
Politik Modern-Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,
Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung, 2004
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran kekuasaan Indonesia, MKRI dan PSHTN FH UII, Jakarta,
2005
_____, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006
_____, Model-Model Pengujian Konstitusional di Beberapa
Negara, Konpress, 2005.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006
|
No comments:
Post a Comment