Analisis
AMDAL
I.
Pendahuluan
Program
pembangunan pada periode Pembangunan Jangka Panjang kedua adalah pembangunan
berwawasan lingkungan, sebagai upaya sadar dan berencana mengelola sumber daya secara
bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu
hidup. Dalam setiap pembangunan akan ada berbagai usaha atau kegiatan yang pada
dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, oleh karena itu
perlu dijaga keserasian antar usaha/kegiatan tersebut dengan menganalisa dari
sejak awal perencanaannya. Dengan demikian langkah pengendalian dampak negatif
dapat dipersiapkan sedini mungkin.
Rumah
sakit sebagai salah satu hasil pembangunan dan upaya penunjang pembangunan dalam
bidang kesehatan merupakan sarana pelayanan umum, tempat berkumpulnya orang
sakit maupun orang sehat yang memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan,
gangguan kesehatan dan dapat menjadi tempat penularan penyakit. Untuk itu telah
dilakukan berbagai upaya penanggulangan dampak lingkungan Rumah Sakit yang
dimulai dari analisa dampak lingkungan (AMDAL). Kenyataan, upaya tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena berbagai kendala khususnya biaya.
Adanya
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Dampak Lingkungan,
merupakan suatu terobosan baru yang memungkinkan setiap Rumah Sakit yang
terkena wajib AMDAL (Rumah Sakit dengan kapasitas lebih dari 400 tempat tidur)
dapat melaksanakan dengan baik. Sedangkan bagi yang tidak wajib AMDAL dapat melaksanakan
sesuai dengan situasi dan kondisi Rumah Sakit tetapi masih memenuhi persyaratan
sanitasilingkungan yang baik.
II.
Dampak Lingkungan Rumah Sakit
a . P e n g
e r t i a n
Dampak
lingkungan Rumah Sakit mempunyai arti yang luas baik dari segi dampak/akibat
maupun penyebabnya, tetapi dalam mekalah ini yang akan dibicarakan adalah
dampak akibat limbah Rumah Sakit, masalah serta upaya penanggulangannya.
Pada
setiap tempat di mana orang berkumpul akan selalu dihasilkan limbah dan memerlukan
pembuangan, demikian pula Rumah Sakit yang merupakan sarana pelayanan
kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat menghasilkan limbah.
Secara garis besar ada 3 (tiga) macam limbah Rumah Sakit yaitu limbah padat
(sampah), limbah cair dan limbah klinis
-Sampah- Sampah.
Rumah
Sakit dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular karena
sampah menjadi tempat tertimbunnya mikro organisme penyakit dan sarang serangga
serta tikus. Di samping itu kadang-kadang dapat mengandung bahan kimia beracun
dan benda benda tajam yang dapat menimbulkan penyakit atau cidera.
- Limbah Cair
Limbah
cair Rumah Sakit adalah semua limbah cair yang berasal dari ruangan-ruangan
atau unit di Rumah Sakit yang kemungkinan mengandung mikro organisme, bahan
kimia beracun dan radio aktif.
- Limbah klinis
Limbah
klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan gizi,
"Veteranary", Farmasi atau sejenis serta limbah yang dihasilkan di
Rumah Sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian. Bentuk
limbah klinis antara lain berupa benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh,
limbah cito toksik. limbah Farmasi, limbah kimia, limbah radio aktif dan
limbahplastik.
b. Dampak
Ketiga
limbah di atas secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan gangguan
kesehatan dan membahayakan bagi pengunjung maupun petugas kesehatan. Ancaman
ini timbul pada saat penanganan, penampungan, pengangkutan dan pemusnahannya.
Keadaan ini terjadi karena :
- Volume limbah yang dihasilkan
melebihi kemampuan pembuangannya.
- Beberapa di antara limbah
berpotensi menimbulkan bahaya apabila tidak ditangani dengan baik.
- Limbah ini juga akan menimbulkan
pencemaran lingkungan bila dibuang
sembarangan dan akhirnya
membahayakan serta mengganggu kesehatan
masyarakat.
c. Masalah
Pada
dasarnya semua bahaya limbah Rumah Sakit tersebut dapat ditanggulangi, namun
berbagai faktor seperti kebiasaan buruk, ketidak-tahuan, kebutuhan hidup
(pemulung), biaya dan lain-lain masih menjadi masalah utama dalam penanggulangan
limbah ini.
Potensi Pencemaran Limbah Rumah
Sakit
Dalam
profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS
di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap
100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2
Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8
liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi
sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa
limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi
sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah
sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa
besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan
kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit
menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan
kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 –
0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
Sementara
itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah
sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki
instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah
sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan
bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa
rumah sakit.
IPAL-nya
dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan,
hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut,
digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh
manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim,
Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak
rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali.
Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya
tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah
sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis.
Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal,
limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis.
Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah
sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di
Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan
limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki
pembuangan seperti itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi
Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah
rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah
sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan
Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan
benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus
memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin
pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di
incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak
semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
Beberapa
hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab
tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit
antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan
lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari
kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya
pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk
menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa
yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang
dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah,
mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah
berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau
guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian
terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non
B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan
pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan
materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta
tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
Limbah
rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka
diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya
manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang
ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa
mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit,
tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit
dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter
BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas
sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah
tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia
beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke
lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang
kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan,
serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk.
Pembuangan
limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis
kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum
pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko
kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian
berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :
a.Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan
pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini
mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi
umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas
sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau
pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum
dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko
tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah
tersebut harus diberi label biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas
pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan.
Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan
karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan membuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa
makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat
seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak
menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara
aman perlu diatur dengan baik.
Secara
garis besar masalah yang dihadapi di Indonesia adalah sebagai berikut :
Di Lingkungan Rumah Sakit
-
Sebagian
besar bangunan Rumah Sakit di Indonesia pada saat ini tidak dilengkapi dengan
sarana pembuangan limbah yang memadai seperti
-
"Spoel
Hok", sehingga pencemaran lingkungan lebih mudah terjadi.
-
Belum semua
Rumah Sakit dilengkapi dengan sarana pembuangan sampah yang memenuhi syarat
karenabatasan lahan dan kendala biaya.
-
Sikap dan perilaku petugas termasuk para
manajer Rumah Sakit yang belum mendukung dalam setiap upaya penanggulangan
limba
-
Adat dan
kebiasaan buruk dari masyarakat kita yang disebabkan ketidaktahuan dan tingkat
pendidikan yang kurang.
-
Belum
tersedianya dana kahusus baik untuk penelaahan maupun penyediaan sarana
pembuangan limbah Rumah Sakit yang tercantum dalam APBN, APBD ataupun sumber
dana lainnya.
-
Biaya pembuatan sarana pembuangan dirasakan
masin terlampau mahal, sehingga perlu dibuat suatu sarana yang lebih sederhana,
lebih mudah namun memenuhi syarat.
2. Di Luar Lingkungan Rumah Sakit
-
Kebutuhan
hidup dari para pemulung yang sulit dihindarkan
-
Seyogyanya suatu kota perlu memiliki saluran
air limbah, namun saat ini belum tersedia sehingga sangat disarankan untuk
diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran air perkotaan
III.
Upaya-upaya penanggulangan limbah
Upaya-upaya
penanggulangan dampak limbah Rumah Sakit di Indonesia merupakan bagian dari upaya peningkatan
lingkungan Rumah Sakit, seperti yang tercantum pada Pasal 6 Peraturan
Menteri Kesehatan No.986/ 1992, yang meliputi penyehatan bangunan,
makanan dan minuman, kualitas air, tempat, pencucian linen, pengendalian sampah
dan limbah, tikus dan serangga, sterilisasi, perlindungan radiasi serta
penyuluhan kesehatan lingkungan.
Kebijakan
dan Langkah-langkah yang akan dilaksanakan oleh Provinsi
Di Indonesia adalah sebagai berikut
:
1. Kewenangan penanganan
limbah berada pada daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan, dengan pembinaan
teknis dari Kantor Departemen Kesehatan DT II dan Kantor wilayah Kesehatan di DT
I.
2. Sesuai
dengan edaran Dirjen Pelayanan Medis Nomor PM 01.05.6.1.01353 tentang
Limbah Rumah Sakit, maka :
a.
Setiap Rumah
Sakit harus mempunyai IPAL.
b. Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang telah ada agar dilola dengan baik.
c.
Efluen IPAL
dipantau secara berkala. Minimal 1 (satu) bulan sekali diperiksa di
laboratorium yang telah ditunjuk dan yang belum memenuhi syarat harus segera
diperbaiki.
d. IPAL harus
direncalakan dengan baik dan disertai studi kelayakan.
e.
Tenaga
pengelola IPAL didayagunakan seoptimal mungkin. Kualitas tenaga tergantung dari
kelas Rumah Sakit. Kelas A & B serendah-rendahnya S1 di bidang kesehatan
lingkungan : teknik penyehatan, kimia, teknik sipil. Kelas C serendah-rendahnya
D3 di bidang kesehatan : lingkungan, teknik penyehatan, biologi, teknik kimia,
teknik lingkungan dan teknik sipil. Kelas D Paramedik di bidang kesehata n
lingkungan, teknik penyehatan, kimia, teknik sipil.
f.
Bagi Rumah Sakit yang belum mempunyai
tenaga-tenaga tersebut agar dipersiapkan antara lain mengikuti pelatihan.
3. Teknis
Pengelolaan
Secara teknik, cukup banyak cara yang dapat
dipergunakan untuk mengelola limbah padat dan cair, namun pada dasarnya
merupakan rangkaian unit pengelola limbah. Teknis pengelolaan limbah tersebut
mengacu kepada pedoman Mente ri Kesehatan tentang Peng elolaan Limbah Klinis,
antara lain : tentang Standardisasi kantong dan kontainer pembuangan limbah.
Keseragaman standar kantong dan kon tainer mempunyai keuntungan sebagai berikut
: mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf, meningkatkan keamanan se c ara
umum, pengurangan biaya produksi kantong dan kontainer. Secara nasional kode
standar diusulkan untuk sampah yang paling berbah aya , antaralain :
-
Sampah infeksius:
kantong berwarna kuning dengan simbol biohazard berwarna hitam
-
Sampah sitotoksik kantong berwarna ungu dengan
simbol berbentuk sel dalam telofase
-
Sampah radio
aktif kantong berwarna merah dengan simbol radio aktif.
Cara pengelolaan limbah
a.
Untuk limbah
padat dipergunakan suatu insenerator yang sederhana, tidak memakan lahan,
dengan biaya tidak terlalu mahal dan sesuai dengan kondisi serta situasi Rumah
Sakit. Salah satu contoh/model incenerator seperti model pada halaman berikut
b. Salah satu
proses pengolahan limbah cair adalah dengan cara sedimentasi : air
limbah yang ke luar dari Rumah Sakit ditampung pada bak
"intermediate" equilisasi yang kemudian diaduk cepat, sehingga
terbentuk partikel-partikel, lalu diaduk lambat/fluktuasi, kemudian terjadi
proses sedimentasi filtrasi,
netralisasi dan efluen yang ke luar dapat digunakan untuk proses biologi atau
dibuang tanpa ada efek pencemaran.Sebagai contoh antara lain Waste Oxidation
Ditch Treatment System.
No comments:
Post a Comment