Seorang anak tentunya tidak langsung
dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya,
melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan
di masyarakat. Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam
pembangunan mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar
dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat
dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya,
dan sebaliknya apa yang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting
bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa
dibingkai dengan lembutnya cinta kasih dan nuansa yang harmonis, dari sana
akan hadirlah individi-individu dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana
diharapkan. Sebaliknya keluarga yang dinding kehidupannya dipahat dengan
sentakan-sentakan, broken home, broken heart, perlakuan sadis dan
kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih sayang dan jalinan cinta, maka
keluarga beginilah yang bakal alias cikal bakal menjadi suplayer limbah-limbah
kehidupan sosial dan sampah-sampah masyarakat yang menyedihkan.
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar
pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet pendidikan anak
selanjutnya adalah pendidikan keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun
dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil
dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit
kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Gilbert Highest dalam Jalaludin
mengatakan bahwa: kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk
oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur
kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan
keluarga (Gilbert Highest, 1961: 78).
Dari apa yang diungkapkan Gilbert,
kita dapat mengetahui memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah
dari keluarga, bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian
anak, dan akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika
pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat
ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik
dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak tersebut
akan selalu hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya
yang tidak memuaskan orang tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan
mendapati hal-hal yang tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan
masyarakat, seperti perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua
orang tua dan banyak hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan
masyarakat, keluarga menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai
inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat
sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan
menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan
yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi
jika hasil jerih payah dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga
keharmonisan hubungan keduanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak
tersebut dalam peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai
orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang
tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik
dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan
mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam
berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab
dampak yang akan didapati dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari
orang tuannya. Bagi sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang
tuannya, berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala
tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga
berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga
yang fungsional ditandai oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan
mencintai (b) bersikap terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima
perasaannya dan menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah
atau pendapat diantara anggota keluarga (e) mampu berjuang mengatasi
hidupnya (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua
melindungi/mengayomi anak (h) komunikasi antara anggota keluarga berlangsung
dengan baik (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan
nilai-nilai budaya (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, dalam keluarga terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti
mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kematangan sesuai yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan
dampak dalam mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku
tertentu pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi
tidak selalu seperti yang kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak
orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan
pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti
prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita
jumpai justru bertolak belakang dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak
yang dididik keras akan timbul rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang
diberi kebebasan sehingga anak tersebut malas dan enggan untuk mencapai
prestasi yang lebih baik, sebab tidak adanya perhatian dan tanggapan dari orang
tuannya atas apa yang yang diraihnya.
No comments:
Post a Comment