Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Monday, July 9, 2018

Pengertian, karakteristik, unsur-unsur, struktur, sifat dan jenis-jenis Karangan Narasi


1    Pengertian Karangan Narasi
Sebelum menguraikan konsep karangan narasi, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian karangan dan pengertian narasi. Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu, karangan merupakan susunan bahasa yang teratur baik kata, kalimat, maupun paragraf, semuanya disusun dan ditata sedemikian rupa sehingga menjadi indah dan dapat dinikmati oleh pembacanya (Rusyana, 1986:14). Karangan dapat juga diartikan sebagai susunan atau kesatuan yang teratur, baik melalui sastra maupun medium lain sebagai perwujudan pengutaraan sesuatu. Sementara itu, narasi berarti penceritaan suatu cerita; cerita; kisahan (Depdikbud, 1990:609). Secara kontekstual, karangan narasi berarti karangan yang berbentuk kisahan atau cerita.
Pengertian karangan narasi dikemukakan oleh beberapa ahli keterampilan berbahasa. Semi (1995:60) berpendapat bahwa karangan narasi ialah tulisan yang tujuannya menceritakan kronologis peristiwa kehidupan manusia. Pendapat lain dikemukakan Rusyana (1986:132) bahwa karangan narasi atau kisahan adalah karangan yang menceritakan peristiwa atau kejadian yang mengandung komponen pelaku, perilaku, latar, tempat dan waktu.
Menurut Keraf (1983:135),
“Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu”.


Sejalan dengan pendapat di atas Rusyana dalam Erdina, dkk (2001:9) mengemukakan bahwa:
“Narasi merupakan jenis karangan yang menceritakan suatu peristiwa atau kejadian sedemikian rupa sehingga pembaca seolah-olah mengalami sendiri kejadian yang menceritakan itu dengan adanya tokoh, kejadian, latar dan waktu”.

Keraf (1983:136) menjelaskan:
“Narasi dapat dibatasi sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara lain: narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Narasi berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi?”

Kecuali pendapat di atas, Sudjiman (1992:34) mengemukakan bahwa:
 “Karangan narasi (cerita) adalah kisahan nyata atau rekaan yang beragam prosa atau puisi yang tujuannya untuk menghibur atau memberikan informasi kepada pendengar atau pembacanya.

Selain itu, Aminuddin (2002:66) berpendapat bahwa narasi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Sementara itu, Syamsudin (1992:9) memberikan pendapatnya seperti berikut.
“Karangan (wacana) naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh pelaku (orang I atau orang II) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada uraian cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita atau diatur melalui alur”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa karangan narasi merupakan suatu bentuk wacana atau karangan yang berusaha mengisahkan suatu kronologi perilaku atau kejadian yang dialami tokoh pada waktu dan tempat tertentu, sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Kejadian yang menghasilkan satu atau beberapa peristiwa itu dilakukan atau dialami oleh tokoh (pelaku) dengan karakteristiknya (watak) di dalam ruang dan waktu tertentu (latar), dalam urutan kejadian tertentu (alur) yang dilandasi gagasan (tema), dan mempunyai tujuan (amanat) tertentu pula. Di samping itu, narasi merupakan hasil kemampuan pengarang menyajikan suatu peristiwa (teknik penceritaan) dengan mengungkapkan watak tokoh dan dipilihnya tokoh sebagai pusat sorotan (fokus pengisahan) atau sudut pandang yang tepat, membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri kisah yang dibacanya.

2. Karakteristik Karangan Narasi
Berdasarkan uraian di muka, dapat diuraikan beberapa ciri karangan narasi. Ciri-ciri tersebut berkaitan dengan esensi narasi. Esensi karangan narasi adalah adanya unsur kisahan, waktu, perbuatan, atau tindakan, dan tokoh. Perbuatan atau tindakan itu dilakukan tokoh dengan perilaku tertentu yang terjadi dalam satu kesatuan waktu dan terjalin sedemikian rupa dalam alur cerita sehingga hidup dan dinamis.
Narasi berbeda dengan deskripsi atau narasi. Narasi mengisahkan suatu kejadian atau tindak-tanduk, sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Tindakan yang dinamis dan perilaku tokoh dianggap sebagai karakteristik utama, sebab jika tidak ada tindakan tetapi hanya berupa lukisan pelaku, tempat, serta waktu, maka karangan itu berbentuk deskripsi atau monolog, karena semuanya dilihat dalam keadaan statis (Keraf, 1992:156). Rangkaian tindakan atau perbuatan menjadi landasan utama untuk menciptakan sifat dinamis sebuah narasi. Rangkaian tindakan membuat kisah itu hidup. Berkaitan dengan perbedaan karangan narasi dengan jenis karangan lainnya, Atmazaki (1990:28) berpendapat sebagai berikut. 
Prosa lebih dekat kepada pemaparan. Sebuah pemaparan dikatakan karya sastra apabila dipenuhi beberapa syarat. Pertama, di dalamnya terdapat deretan peristiwa. Sebuah peristiwa ditandai oleh adanya tindakan dalam satu kesatuan ruang dan waktu. Apabila tidak ada tindakan, artinya yang ada hanya lukisan tentang tempat atau ruang dan waktu maka ia berubah menjadi deskripsi. Apabila yang ada hanya tindakan tetapi tidak ada ruang dan waktu maka ia tidak dapat dipahami; mungkin itu hanya sebuah monolog, dan karena itu tidak ada peristiwa. Kedua, peristiwa menghendaki adanya tokoh. Ketiga, deretan peristiwa dan tokoh itu adalah peristiwa dan tokoh fiktif.


Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa unsur utama narasi adalah adanya kronologi tindakan pelaku yang membentuk peristiwa dalam ruang waktu. Unsur itu merupakan ciri sekaligus pembeda antara narasi dengan jenis wacana lain. Dengan demikian, ciri-ciri narasi ditinjau dari segi unsur instrinsiknya adalah adanya alur atau plot, penokohan dan perwatakan, latar atau setting, pusat pengisahan dan sudut pandang, gaya bahasa, dan pesan atau amanat. Ciri yang lainnya ialah adanya peristiwa kronologis, bersifat rekaan (fiktif), dan bentuknya dapat berupa prosa, puisi, dan drama.

3 Unsur-Unsur Karangan Narasi
Unsur karangan narasi adalah komponen yang membangun cerita. Baik Tarigan (1992:140), Keraf (1192:145), maupun Rusyana (1986:132) memiliki kesamaan pendapat mengenai unsur narasi, yaitu adanya tokoh, perbuatan, watak, sudut pandang, tema, amanat, alur, latar, bahasa, dan teknik penceritaan.
Perbuatan merupakan perilaku atau tindak-tanduk para tokoh. Tokoh adalah individu rekaan yang terlibat dalam kisahan. Watak merupakan sifat, temperamen, tabiat, atau kepribadian tokoh cerita. Latar merupakan deskripsi tempat berlangsungnya peristiwa. Alur merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha menggerakkan cerita. Tema merupakan persoalan pokok yang terdapat dalam narasi yang hendak disajikan atau gagasan yang melandasi cerita. Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita sekaligus pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sudut pandang merupakan fungsi cerita dalam sebuah narasi. Fokus pengisahan merupakan cara pencerita memberi fokus pada tokoh cerita.
2.2.3.1 Tema Cerita
Sudjiman (1992:30) mengemukakan bahwa tema adalah “gagasan, ide, atau pikiran utama yang melandasi suatu cerita”. Dengan kata lain, tema merupakan ide yang melandasi cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Aminuddin, 2002:91).
Secara lebih luas, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142). Dengan demikian, tema merupakan sesuatu yang sengaja disajikan oleh penulisnya sebagai ide yang mendasar atau makna yang melandasi cerita untuk dimaknai oleh para pembacanya.

2.2.3.2 Amanat Cerita
Amanat adalah “gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca” (Suprapto, 1993:110). Amanat seringkali disamakan dengan istilah pesan atau moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Seringkali pula disamakan dengan tema (theme) meskipun sebenarnya menyarankan pengertian dan maksud yang berbeda.
Sudjiman (1992:57) mengatakan bahwa jika permasalahan yang diajukan di dalam cerita diberi jalan keluarnya oleh pengarang maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Penjelasan lain dapat ditemukan dari Nurgiyantoro (2007:320) yang berpendapat bahwa tema bersifat lebih kompleks daripada moral (amanat) di samping tidak memiliki nilai langsung sebagi sarana yang ditujukan kepada pembaca. Dengan demikian, amanat dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan amanat.

2.2.3.3 Penokohan
Menurut Nurgiyantoro (2007:166) penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisan tokoh dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Dengan kata lain, penokohan merupakan totalitas dari identitas tokoh, penyajian watak, dan penciptaan citra tokoh.
Sementara itu, tokoh adalah “individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlaku di dalam berbagai peristiwa cerita” (Sudjiman, 1992:16). Adapun watak atau perwatakan menunjuk pada sifat atau sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca yang lebih menujuk para kualitas pribadi seseorang tokoh. Atmazaki (1990:62) mengemukakan bahwa watak adalah “temperamen tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita”. Sementara itu, karakter atau karakteristik menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam sikap, ketertarikan keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2007:165). Karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’.

2.2.3.4 Alur (Plot) Cerita
Dalam konteks ini, alur didefinisikan sebagai “rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita” (Aminuddin, 2002:83). Dengan demikian, alur merupakan hubungan sebab-akibat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa-peristiwa lainnya di dalam suatu cerita.
Alur memiliki struktur gerak atau tahapan-tahapan tertentu. Loba, dkk (dalam Aminuddin, 2002:85) menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti gelombang yang berawal dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkapan tabir suatu problema,dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasi.

2.2.3.5 Latar (Setting) Cerita
Sudjiman (1992:44) mengemukakan bahwa :
”segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra merupakan hakikat latar”.

Dengan pengertian itu, dapat dikatakan, bahwa unsur tempat, waktu, suasana, sosial budaya, atau suasana hati tokoh termasuk ke dalam unsur latar cerita.
Dalam cerita, latar bisa berupa realitas objektif, tetapi bisa juga realistis imajinatif. Latar yang digunakan bisa faktual, tetapi diletakkan dalam jaringan keseluruhan yang bersifat fiktif. Mungkin juga, pengarang menggunakan latar faktual yang jika dilacak dapat ditemukan. Namun, seringkali diubah dalam beberapa aspeknya sesuai dengan selera imajinasi. Latar fiksional merupakan hasil kreasi pengarang yang jika dilacak tidak akan bertemu sebagaimana yang diceritakannya. Selain itu, latar tidak hanya bersifat fisikal (tempat dan waktu), melainkan juga bersifat psikologis sehingga mampu menuansakan makna tertentu yang menunjang watak dan emosi atau aspek kejiwaan dan atmosfer pembaca.
Latar akan mewarnai cerita tersebut, sekaligus berhubungan dengan unsur cerita lainnya. Latar yang berwujud tempat akan mendukung watak tokoh dan menentukan tipe tokoh cerita. Sebaliknya, tipe tokoh tertentu menghendaki latar tertentu pula yang sesuai. Jadi, latar cerita berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dan menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh cerita.

2.2.3.6 Sudut Pandang/Fokus Pengisahan Cerita
Sudut pandang atau titik pandang (point of views) dan fokus pengisahan atau pusat pengisahan mengandung makna yang berbeda. Sudut pandang cerita mempersoalkan fungsi pencerita dalam sebuah cerita atau menyangkut siapa yang bercerita (narator), bagaimana visi pengarang, atau menyangkut teknik bercerita pengarang. Sedangkan fokus pengisahan mempersoalkan tokoh mana yang disoroti pencerita. Dalam hal ini Sudjiman (1992:78) menjelaskan demikian.
Sudut pandang point of view dan fokus pengisahan mempunyai titik tolak yang berbeda; berbicara tentang sudut pandang, orang bertolak dari penceritanya, yaitu tempat pencerita di dalam hubungannya dengan cerita atau posisi pencerita di dalam membawakan kisahnya. Adapun berbicara mengenai fokus pengisahan, orang bertolak dari tokoh-tokoh mana yang disorot pencerita, pusat perhatian, pusat sorotan atau fokus pengisahan si pencerita.

Berdasarkan fungsi pencerita dalam sebuah cerita, dikenal beberapa jenis sudut pandang cerita. Keraf (1992:192) membagi sudut pandang atas dua jenis, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama meliputi tipe narator sebagai tokoh utama, narator sebagai pengamatan, dan narator sebagai pengamat langsung, sementara, sudut pandang orang ketiga meliputi sudut pandang panoramik atau serba tahu, sudut pandang terarah, dan sudut pandang campuran.

2.2.3.7 Bahasa Cerita
Bahasa dalam cerita merupakan refleksi artistik imajinatif pengarangnya terhadap realita kehidupan. Makna denotasi kata-katanya diimbangi dengan makna konotatif, asosiatif, atau reflektif untuk menimbulkan efek dan impresi (kesan) indah dan menarik. Meskipun tidak seintensitas dalam puisi, bahasa dalam cerita diwarnai juga penyimpangan arti, pemadatan maksud, dan diselingi oleh kiasan serta istilah-istilah yang padat makna. Namun, karena cerita bersifat paparan, keindahan bahasanya sering tertutup oleh deskripsi situasi, peristiwa, dialog, tokoh, dan unsur lainnya yang relatif lengkap.
2.2.4    Struktur Karangan Narasi
Sesuatu dikatakan mempunyai struktur, bila ia terdiri dari bagian-bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama lain. Dalam konteks jenis karangan, Tarigan (1991:7) mengatakan bahwa karangan (termasuk narasi) mengandung tiga struktur, yatu bagian pendahuluan, isi dan penutup. Bagian pendahuluan selalu berada di awal karangan. Posisi bagian isi terletak di tengah atau di antara bagian pendahuluan dan bagian penutup. Posisi bagian penutup terletak diakhir karangan. Ketiga bagian itu berkaitan erat satu sama lain membentuk kesatuan yang utuh dan terpaku. Bagian pendahuluan berisikan gambaran ide yang bersifat umum. Selanjutnya dijelaskan secara terperinci pada bagian isi, kemudian disimpulkan pada bagian penutup.
Adapun bagian-bagian karangan secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut.

 






Bagan 2.1
Bagian Utama Karangan

Struktur karangan dapat dilihat dari beberapa segi alur. Keraf (1992:145) mengatakan bahwa struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang mengatur alur. Pada umumnya alur memiliki elemen-elemen struktur gerak yang meliputi pengenalan (exposition), timbulnya konflik (complication), puncak konflik (rising  action), klimaks (turning point) dan pemecahan masalah (ending). Stuktur narasi itu dapat berbeda dalam setiap pengurutan, bergantung cara penyajiannya, apakah secara kronologis atau urutan pengisahan. Secara kronologis, kisahan disajikan secara teratur mulai dari pengenalan, konflik, klimaks dan penyelesaian. Susunan cerita ini bersifat alamiah, sedangkan berdasarkan urutan pengisahan, narasi disajikan tanpa megikuti alur tradisional. Pengarang dapat menulis cerita dari mana saja sesuai teknik yang dikehendaki, apakah sorot balik, padahan, suspens, atau yang lainnya.

2.2.5    Sifat Karangan Narasi
Ditinjau dari sifatnya, karangan narasi bersifat faktual dan fiksional. karangan narasi faktual merupakan karangan yang mengisahkan peristiwa yang kebenarannya dapat dibuktikan atau benar-bear terjadi, sebagaimana dituturkan Rusyana (1986:133) bahwa karangan narasi faktual sebagai kisahan yang peristiwanya benar-benar terjadi, pelaku, perilaku, tempat, dan waktu kejadian memang terdapat dalam kenyataan. Sebaliknya, karangan narasi fiksional dimaksudkan untk mengisahkan peritiwa yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini dikemukan pula oleh Rusyana (1986:133) bahwa karangan narasi fiksional adalah kisahan yang peristiwanya tidak benar-benar terjadi, pelaku, perilaku, tempat dan waktu kejadian tidak pernah terjadi dalam kenyataan ruang dan waktu.
Karangan narasi fiktif (fiksional) atau cerita rekaan ini mengisahkan peristiwa yang tidak benar-benar terjadi, yakni para pelaku, tempat, dan waktu kejadian tidak terjadi dalam dunia nyata. Kisahan ini berangkat dari pengolahan daya khayal penulisnya. Meskipun demikian, kejadian nyata dapat dikisahkan secara fiktif dengan cara mengolah kenyataan itu secara fiktif atau menciptakan dunia khayal sebagai tempat kenyataan itu direnungkan. Sementara itu, narasi non fiksi (faktual) merupakan cerita yang mengisahkan kejadian yang bertolak dari kejadian nyata.

2.2.6    Jenis Karangan Narasi
Keraf (1992:136) mengklasifikasikan dua jenis narasi berdasarkan tujuan atau sasarannya, yakni narasi ekspositoris dan narasi sugestif.
1)      Narasi Ekspositoris
Narasi ekspositoris adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Narasi ekspositoris ini bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Narasi ekspositoris juga mempersoalkan tahap-tahap kejadian, rangkaian-rangkaian perbuatan kepada para pembaca atau pendengar.
Narasi ekspositoris dapat bersifat khas atau khusus dapat pula bersifat generalisasi. Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Dengan melaksanakan tipe kejadian itu secara berulang-ulang, maka seseorang dapat memperoleh kemahiran yang tinggi mengenai hal itu. Misalnya, suatu wacana naratif yang menceritakan bagaimana seseorang menyiapkan nasi goreng, membuat roti dan bagaimana membangun sebuah kapal dengan mempergunakan bahan foresemen. Semua narasi seperti yang disebutkan itu adalah narasi yang bersifat generalisasi.
Dinyatakan pula oleh Keraf (1983:138) :
“Narasi yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas adalah peristiwa yang tidak dapat diulang kembali karena merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu saja. Narasi mengenai pengalaman seseorang yang pertama kali masuk ke perguruan tinggi, pengalaman seseorang yang diidamkannya, peristiwa yang khas dikisahkan dalam sebuah narasi yang khusus”.

2)      Narasi Sugestif
Seperti halnya dengan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga pertama-tama bertalian dengan tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam suatu kejadian atau peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Tetapi tujuan atau sasarannya bukan memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha memberi makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman, karena sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal atau imajinasi.
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik suatu makna di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. Sesuatu yang eksplisit adalah sesuatu yang tersurat mengenai objek yang bergerak dan bertindak. Sedangkan makna yang baru adalah sesuatu yang tersirat mengenai objek dipaparkan sebagai suatu rangkaian yang bergerak, kehidupan para tokoh dilukiskan sebagai suatu gerak yang dinamis, bagaimana kehidupan itu berubah dari waktu ke waktu. Makna yang baru akan jelas dipahami sesudah narasi itu selesai dibaca, karena ia tersirat dalam seluruh narasi itu.
Dengan demikian, narasi tidak bercerita atau memberikan komentar mengenai sebuah cerita, tetapi ia justru memisahkan suatu cerita atau kisah. Seluruh kejadian yang disajikan menyiapkan pembaca kepada suatu perasaan tertentu untuk menghadapi peristiwa yang ada di depan matanya. Narasi menyediakan suatu kematangan mental, kesiapan mental itulah yang melibatkan simpati atau antipati kepada kejadian itu sendiri. Inilah makna yang dikatakan tadi, makna tersirat dalam seluruh rangkaian kejadian itu. (Keraf, 1983:137)

2.2.7    Bentuk Karangan Narasi
Berdasarkan penataan unsur-unsur bahasa (bunyi, struktur, kata, kalimat, paragraf dan lain-lain), karangan narasi mempunyai dua bentuk, yakni karangan narasi berbentuk prosa dan karangan narasi berbentuk puisi. Perbedaan antara karangan narasi berbentuk prosa dengan karangan narasi berbentuk puisi dijelaskan oleh beberapa ahli. Atmazaki (1991:28) menjelaskan perbedaan yaitu bahwa :
“Prosa naratif lebih dekat kepada pemaparan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk paragraf dan wacana, sedangkan kisah yang berbentuk puisi adalah pemaparan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kata-kata yang membentuk bait dan baris”.


Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa karangan narasi berbentuk prosa adalah karangan yang mengisahkan peristiwa dalam satu kesatuan waktu yang disajikan dalam kalimat dan paragraf hingga membentuk wacana. Sedangkan karangan narasi berbentuk puisi adalah karangan yang mengisahkan peristiwa yang disajikan dengan mempertimbangkan penggunaan bait, larik, bunyi, rima, dan irama.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts