Kekuasaan legislatif selama
ini memang tidak ditentukan secara tegas harus berada di tangan DPR. Dalam UUD
Pasal 5 ayat (1) lama malah dinyatakan: ”Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR”. Memang
ditentukan pula dalam Pasal 20 ayat (1) lama bahwa ”Anggota DPR berhak memajukan rancangan undang-undang”. Akan tetapi,
hak inisiatif memajukan RUU itu sifatnya hanya tambahan terhadap kewenangan
utama (primer) yang dimiliki oleh DPR dibandingkan dengan kewenangan utama
membentuk udang-undang yang dimiliki oleh Presiden.
Dalam penjelasan UUD 1945,
dapat ditemukan adanya pengertian mengenai ”persetujuan
DPR” dan mengenai fungsi legislatif Presiden ’bersama-sama’ DPR. Kewenangan
DPR untuk memberikan persetujuan itu terhadap setiap RUU dapat saja ditafisrkan
memberikan kedudukan yang lebih tinggi, lebih rendah atau setara kepada DPR
dalam berhadapan dengan Pemerintah.
Sebenarnya fungsi legislatif
hanyalah merupakan sebagian dari tugas parlemen. Yang lebih diutamakan dari
parlemen adalah fungsi ’controlling’ bukan ’legislation’. Bahkan meskipun
secara formil fungsi legislatif itu ditentukan dalam konstitusi sebagai fungsi
pokok parlemen, tetapi dalam prakteknya justru fungsi legislatif itu tetap saja
tidak efektif untuk menggambarkan adanya kesetaraan derajat antara pemerintah
dan parlemen.
Akan tetapi dalam perubahan
UUD 1945 pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa DPR memegang kekuasan membentuk undang-undang”.
Malah ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberi hak untuk mengajukan RUU
kepada DPR. Artinya pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk
membentuk undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan
sekunder.
Perubahan tersebut membawa
implikasi terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang
berdampak sangat prinsipil. Dapat dikatakan bahwa semangat yang terkandung di
dalam perubahan itu adalah untuk memastikan dianutnya pinsip pemisahan yang
tegas antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam hubungan anatra parlemen
dan pemerintah.
Dalam Pasal 20 ayat (2)
ditegaskan bahwa tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan bersama antara
Presiden dan DPR. Akan tetapi, persetujuan itu haruslah dilakukan melalui
proses persidangan. Dalam sistem demokrasi, bisa saja terjadi bahwa meskipun
pihak Pemerintah berbeda pendapatnya dengan kekuatan oposisi di parlemen, namun
putusan akhir dalam pembahasan suatu RUU, justru dimenangkan kelompok oposisi.
Dalam hal demikian, Presiden dihadapkan pada pilihan mengesahkan atau tidak
mengesahkan RUU tersebut. Sudah tentu, Presiden berhak untuk menolak
mengesahkan RUU tersebut, dan hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto
Presiden.
No comments:
Post a Comment