Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam
penjelasan UUD 1945, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas
hukum, sebagai barometer untuk mengukur suatu perbuatan atau tindakan telah
sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai
suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya
meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu 1) tujuan apa yang
hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang
dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan
waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu
pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Sedangkan menurut Machfud, MD, politik hukum (dikaitkan di Indonesia)
adalah sebagai berikut :
1) Bahwa
definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya
persamaan substantif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan
kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
2) Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada, mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon
ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian
dari ilmu hukum. Menurutnya ilmu hukum
terbagi atas :
a) Dogmatika
hukum
b) Sejarah
hukum
c) Perbandingan
hukum
d) Politik
hukum
e) Ilmu
hukum umum
Di antara politik dan hukum terhadap
hubungan yang sangat erat dan merupakan two
faces of a coin, saling menentukan dan mengisi. Adakalanya kebijakan
politis yang berperan utama untuk menentukan materi hukum yang seyogyanya
berlaku dalam negara, sesuai dengan pandangan dan pertimbangan politik. Di lain
posisi, hukum berperan mengatur lalulintas kehidupan politik bagi masyarakat
politik itu, baik yang berada di suprastruktur maupun infrastruktur politiknya,
baik kalangan partai politik sebagai nucleus-nya maupun bagi ormas-ormas selaku
plasma masyarakat politik itu.
Jika kita berpandangan non-dogmatik, dan
memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik,
maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika berpandangan “positif”
yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik, maka dirasa
tidak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik, karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan
politik tersebut.
Bagi kaum non-dogmatif hukum bukan
sekedar undang-undang. Hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap
kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing
terkandung kekuatan kreatif.
Perlu ditegaskan disini, bahwa yang kita
maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan
resmi suatu pemerintahan Negara. Mungkin seluruh Negara yang ada di dunia kini,
apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berpaham liberal atau sosialis;
menggunakan sistem demokrasi ataupun otoriter/diktator) menyatakan Negara
mereka sebagai Negara hukum. Olehnya senantiasa timbul pertanyaan yang mana
yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan Negara?
Menurut Mac Iver yang membedakan 2 jenis
hukum. Yang pertama hukum berada di bawah pengaruh politik, dan yang kedua
hukum yang berada di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya
konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Inilah pandangan yang
realistis tentang hubungan hukum dan politik.
Salah satu contoh yang membuktikan
kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas
karya para politisi. Bahwa tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat
erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum
serta antara ideologi-ideologi politik dan lembaga-lembaga pemerintah.
Sangat sering mendengar pernyataan para
yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri di atas dan melewati politik.
Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat
di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik.
Meskipun sistem hukum dan sistem politik
dapat dibedakan, namun dalam berbagai hal sering bertumpang tindih. Dalam
proses pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya.
Proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem
politik, karena Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari
kebijakan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses
politik.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan
yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik.
Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya
ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi,
tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab
suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsip-prinsip
tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsip-prinsip
tersebut.
Politik Hukum terwujud dalam seluruh
jenis peraturan perundang-undangan negara. Untuk mempelajari dan melihat lebih
jauh tentang politik hukum itu sendiri, maka dapat digunakan metode mempelajari
Politik Hukum Empirik, yaitu berupa kenyataan hukum dalam masyarakat. Atau lebih
sederhana lagi disebutkan secara praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah
dengan melihat Konstitusi Negara.
Belajar dari pengalaman sejarah, maka
pembenahan manajemen produk hukum merupakan sebuah langka strategis untuk
mewujudkan amanah reformasi yakni tegaknya sistem hukum yang didasarkan pada
nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial
yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat,
serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang
menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Konsepsi politik hukum sebagai landasan
kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya,
atau sebagai suatu “pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun (ius constituendum)”, yakni “sebagai kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling bersaing dalam pemberlakuan hukum sehingga latar belakang
politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan karakter tertentu”.
Berkembang pemikiran bahwa hukum
merupakan produk politik sehingga setiap karakter produk hukum akan sangat
ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfiguarasi politik yang melahirkannya.
Pandangan ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk
keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari
pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Meskipun
dari sudut das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan
hukum namun kajian ini lebih melihat sudut das sein atau empiriknya bahwa hukumlah
yang dalam kenyatannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya.
Dengan demikian, sebagai produk politik,
hukum dapat dijadikan alat justifikasi bagi visi politik penguasa. Perkembangan
yang terjadi belakangan ini adalah adanya keterlibatan asing dalam pembahasan
peraturan perundang-undangan yang
sedikit banyaknya membawa pengaruh untuk memasukkan paham neoliberalisme kepada
pola pikir para penyusun undang-undang. Salah satu indikasi perubahan pola
pikir penyusun undang-undang akibat bantuan asing adalah privatisasi atau swastanisasi
sektor publik yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah
mengukuhkan hubungannya dengan investor ke ranah perdata semata-mata.
Akibatnya, tanggung jawab publik yang ada di pundak Pemerintah tergerus menjadi
sekedar hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan investor
menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan
ekonomi.
Politik hukum adalah arahan atau garis
resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum
dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa
politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
negara. Selain itu politik hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang
mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan
negara.
Produk hukum senantiasa berkembang
seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kapasitasnya
bervariasi, konfigurasi politik yang demokratis senantiasa diikuti oleh
munculnya produk hukum yang responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik
yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum-hukum yang berkarakter
produk konservatif atau ortodoks.
Politik hukum nasional Indonesia adalah
yang sesuai dengan tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum dan ikut serta memelihara ketertiban dunia. Artinya, setiap
politik hukum di Indonesia harus memiliki semangat seluruh wilayahnya, berbeda
halnya dengan politik hukum Pemerintah Belanda ialah supaya sebanyak dan sejauh
mungkin hukum Belanda dapat berlaku di Indonesia dengan bertitik tolak kepada
asas konkordansi.
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata
(pada waktu itu), pada raker dengan Komisi III (bidang Hukum) di gedung DPR RI
Jakarta, pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2007 meminta segera dibentuk sistem
politik hukum nasional sebagai pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang dihapuskan, agar dalam setiap merumuskan undang-undang ada semangat
pemersatunya, karena Indonesia belum mempunyai landasan politik hukum nasional
yang jelas.
Dalam merumuskan perundang-undangan
dibutuhkan semangat pemersatu, agar tidak ada undang-undang yang tumpang tindih,
juga harus didasarkan pada tujuan bangsa dan Negara Indonesia. Sekarang ini ada
kencendrungan pembuatan undang-undang yang hanya menyelesaikan masalah sesaat,
sehingga tidak jarang undang-undang lahir selalu bertentangan dengan
undangundang yang disahkan sebelumnya. Oleh karena itu pembangunan hukum
mempunyai arti yang sangat strategis bagi upaya pembangunan Nasional secara
keseluruhan, sehingga menempatkan asas hukum sebagai salah satu asas
pembangunan nasional bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, setiap
warga Negara dan penyelenggara negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan
dan kebenaran, serta negara diwajibkan menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
Prolegnas semestinya tidak hanya sekedar
hanya membuat daftar judul rancangan undang-undang (RUU) yang akan dibuat dalam
kurun waktu tertentu saja, tapi yang penting apa yang mau dicapai dengan
megesahkan RUU itu, sehingga dapat menjadi roh negara hukum bangsa Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan ada susunan undang-undang yang mengikat antara yang
satu dengan lainnya. Upaya yang demikian dapat diwujudkan dengan pembangunan
sistem politik hukum yang memberi arah semangat kepada setiap pembuatan
undang-undang dengan menggunakan pengembangan Stratification Teory (Teori Bagian).
Politik hukum nasional Indonesia adalah
yang sesuai dengan tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum dan ikut serta memelihara ketertiban dunia. Artinya, setiap
politik hukum di Indonesia harus memiliki semangat seluruh wilayahnya, berbeda
halnya dengan politik hukum Pemerintah Belanda ialah supaya sebanyak dan sejauh
mungkin hukum Belanda dapat berlaku di Indonesia dengan bertitik tolak kepada
asas konkordansi, salah satu contoh adalah hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia hendaknya sama dengan Hukum Perdata Negeri Belanda dengan
memberlakukan Burgerlijk Wetboek.
No comments:
Post a Comment