Pergeseran fungsi legislatif
itu ke DPR membawa implikasi yang luas, baik terhadap cabang kekuasaan
pemerintah, terhadap fungsi DPR, maupun terhadap kekuasaan kehakiman. Dengan
terjadinya pergeseran tersebut, pemisahan fungsi legislatif, eksekutif dan
yudikatif makin tegas dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini hendaknya
disadari oleh semua pihak, dan bersiap-siap untuk melakukan penyesuaian yang
diperlukan untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Di antara akibat pergeseran
tersebut adalah (a) semua jabatan dalam pemerintahan harus dilihat sebagai
jabatan pelaksana dan karenanya tidak dapat lagi diberikan wewenang untuk
membuat sendiri suatu produk peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka
’pouvoir reglementair’, yaitu kekuasaan untuk mengatur yang lahir atas perintah
atau atas kuasa undang-undang; (b) Format UU yang biasanya menggunakan kepala, ”Presiden
Republik Indonesia......menetapkan.....”harus disesuaikan menjadi : ”DPR-RI
.....menetapkan.......” (c) alasan untuk menolak pentingnya memberikan wewenang
kepada kekuasan kehakiman untuk menguji materi UU terhadap UUD karena
pertimbangan tidak dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan, tidak dapat lagi
dipertahankan.
Dengan terjadinya pergeseran
fungsi legislatif tersebut, kekuasaan kehakiman harus juga dilengkapi dengan
wewenang untuk menguji materi UU terhadap UUD; (d) keberadaan DPR sendiri harus
pula mengalami perubahan cara kerja, di samping perlu melengkapi diri dengan
segala kelengkapan yang diperlukan, termasuk misalnya kebutuhan akan tenaga
ahli ataupun badan-badan pengkajian dan perancangan perundang-undangan yang
bersifat tetap.
Pemerintah hanya berfungsi
sebagai pelaksana peraturan perundangan produk DPR. Pemerintah perlu diberikan
hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang biasa disebut
dengan ’beleidsregels’ atau ’policy rules’ di luar bentuk UU yang dhasilkan
oleh parlemen. Namun, ’policy rules’ itu hendaknya tetap dibuat atas dasar
perintah ataupun kuasa UU. Karena itu perlu dibedakan antara materi-materi
”policy rules” seperti ini dengan materi-materi yang seharusnya dimuat dalam
bentuk Undang-Undang tetapi karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam
bentuk peraturan di bawah tingkat Undang-Undang. Bentuk peraturan ini selama
ini disebut Peratuan Pemerintah pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam
pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Adanya prinsip ’freis
ermessen’ atau kebebasan bagi pemerintah untuk memilki ruang gerak yang leluasa
dalam usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip inilah yang selama ini dipakai
untuk memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan
yang bersifat mandiri, terlepas dari perintah UU. Atas dasar jalan pikiran ini,
wewenang Pemerintah untuk menetapkan ’policy rules’ (beleidregels) dibuat
leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam
undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang demikian ini adalah bahwa
proses pemerintahan secara mudah dapat dilakukan dengan keputusan-keputusan
Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang dikembangkan,
makin banyak pula keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah UU yang
cenderung ditetapkan.
Format naskah Undang-Undang
selama ini selalu dimulai dengan kalimat kepala : Presiden Republik Indonesia,
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menetapkan
Undang-Undang Nomor.....tentang.....akan tetapi setelah ditentukan dalam Pasal
5 ayat (1) bahwa ”DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”, maka kepala
kalimat sudah seharusnya sudah tidak tepat lagi dan diganti dengan ”Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan persetujuan Presiden menetapkan
undang-undang Nomor.......tentang......... dengan demikian, Undang-Undang
sebagai salah satu bentuk peraturan benar-benar ditetapkan oleh DPR sebagai
lembaga legislatif, tidak seperti selama ini yang ditetapkan oleh Presiden.
Dalam suatu negara hukum, sudah
seharusnya kekuasaan kehakiman diberi wewenang ’judicial review’ untuk menguji
materi UU terhadap UUD. Dengan cara itu, prinsip kedaulatan rakyat dapat berkembang
seimbang dengan prinsip kedaulatan hukum atau sebaliknya prinsip kedaulatan
hukum (nomokrasi) diimbangi dengan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi).
Karena itu penting artinya untuk memberikan kekuasaan menguji kepada Mahkamah
Agung terhadap semua produk UU dengan menjadikan UUD sebagai patokan.
Pelaksanaan pengujian itu sendiri dapat
dilakukan dengan dua cara, yaiu secara institusional atau prosedural.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993, hak Mahkamah Agung untuk
menguji materi peraturan perundang-undangan di bahwa tingkat UU dapat dilakukan
melalui persidangan gugatan ”judicial review” yang bersifat khusus.
Di samping itu, pengujian
terhadap materi perundang-undangan dapat pula dilakukan secara prosedural dalam
arti, tidak melalui gugatan institusional, tetapi dikaitkan dengan prinsip
kebebasan hakim dalam memutus sesuatu perkara. Proses penguijian secara
langsung dilakukan oleh hakim dalam setiap persidangan menyangkut materi-materi
yang terkait.
Dengan sendirinya, sangat mungkin dapat
terjadi suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
berkembang menjadi jurisprudensi yang justru bertentangan dengan materi suatu
UU. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagai sumber hukum, jurisprudensi itu
sama tingkatannya dengan UU.
Akibat adanya pergeseran
kekuasaan legislatif ke DPR maka cara kerja atau mekanisme kerja DPR mengalami
perubahan dari sebelumnya. Dalam rangka pembentukan UU, pihak DPR-lah yang
harus lebih banyak dan lebih sering mengajukan Rancangan UU, bukan lagi pihak
Pemerintah seperti selama ini. Jika nanti ternyata kebanyakan RUU tetap
diajukan oleh Pemerintah, maka perubahan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
dapat dikatakan tidak mempunyai makna sama sekali.
Dalam Tata Tertib DPR sejak
dulu sebenarnya sudah disebutkan bahwa tugas pokok DPR adalah tugas legislatif
dan tugas pengawasan. Bahkan fungsi legislatif DPR terus menerus disoroti oleh
para ahli sebagai indikator berperan tidaknya DPR dari waktu ke waktu. Namun
praktek penggunaan hak inisiatif DPR untuk mengajukan RUU tetap tidak banyak
digunakan.
Sekarang setelah makin
dipertegasnya peralihan kekuasaan legislatif dar Presiden ke DPR, maka
implikasinya terhadap dukungan-dukungan teknis yang dibutuhkan oleh DPR perlu benar-benar
diperhitungkan. DPR RI tidak dapat lagi bekerja menurut cara-cara yang selama ini
dipraktekkan. DPR perlu dilengkapi dengan aparatur teknis, tidak saja dalam
bentuk staf ahli atau tim-tim ahli yang diperbantukan secara ad-hoc, tetapi
apabila perlu dukungan-dukungan teknis yang lebih terlembagakan, termasuk
dukungan anggaran yang perlu ditingkatkan.
Salah satu kemungkinan yang
perlu dipertimbangkan ialah perlunya dibentuk Komisi-Komisi Tetap yang dipimpin
oleh anggota DPR, tetapi beranggotakan tokoh-tokoh yang berkeahlian di bidangnya
yang berasal dari luar keanggotaan DPR. Dibidang perundang-undangan misalnya
DPR dapat membentuk semacam ”Legislative Council” dan ”Legislative Reference
Service” seperti di Kongres Amerika Serikat. Bahkan apabila perlu sebagian dari
fungsi instansi seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
Perundang-undangan terutama di bidang Perancangan Undang-Undang dapat dialihkan
ke DPR RI.
No comments:
Post a Comment