Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Saturday, July 14, 2018

Implikasi Pergeseran kekuasaan Legislatif Ke DPR


Pergeseran fungsi legislatif itu ke DPR membawa implikasi yang luas, baik terhadap cabang kekuasaan pemerintah, terhadap fungsi DPR, maupun terhadap kekuasaan kehakiman. Dengan terjadinya pergeseran tersebut, pemisahan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif makin tegas dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini hendaknya disadari oleh semua pihak, dan bersiap-siap untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Di antara akibat pergeseran tersebut adalah (a) semua jabatan dalam pemerintahan harus dilihat sebagai jabatan pelaksana dan karenanya tidak dapat lagi diberikan wewenang untuk membuat sendiri suatu produk peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka ’pouvoir reglementair’, yaitu kekuasaan untuk mengatur yang lahir atas perintah atau atas kuasa undang-undang; (b) Format UU yang biasanya menggunakan kepala, ”Presiden Republik Indonesia......menetapkan.....”harus disesuaikan menjadi : ”DPR-RI .....menetapkan.......” (c) alasan untuk menolak pentingnya memberikan wewenang kepada kekuasan kehakiman untuk menguji materi UU terhadap UUD karena pertimbangan tidak dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan, tidak dapat lagi dipertahankan.
Dengan terjadinya pergeseran fungsi legislatif tersebut, kekuasaan kehakiman harus juga dilengkapi dengan wewenang untuk menguji materi UU terhadap UUD; (d) keberadaan DPR sendiri harus pula mengalami perubahan cara kerja, di samping perlu melengkapi diri dengan segala kelengkapan yang diperlukan, termasuk misalnya kebutuhan akan tenaga ahli ataupun badan-badan pengkajian dan perancangan perundang-undangan yang bersifat tetap.  
Pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundangan produk DPR. Pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang biasa disebut dengan ’beleidsregels’ atau ’policy rules’ di luar bentuk UU yang dhasilkan oleh parlemen. Namun, ’policy rules’ itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa UU. Karena itu perlu dibedakan antara materi-materi ”policy rules” seperti ini dengan materi-materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk Undang-Undang tetapi karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat Undang-Undang. Bentuk peraturan ini selama ini disebut Peratuan Pemerintah pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Adanya prinsip ’freis ermessen’ atau kebebasan bagi pemerintah untuk memilki ruang gerak yang leluasa dalam usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip inilah yang selama ini dipakai untuk memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat mandiri, terlepas dari perintah UU. Atas dasar jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah untuk menetapkan ’policy rules’ (beleidregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang demikian ini adalah bahwa proses pemerintahan secara mudah dapat dilakukan dengan keputusan-keputusan Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang dikembangkan, makin banyak pula keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah UU yang cenderung ditetapkan.
Format naskah Undang-Undang selama ini selalu dimulai dengan kalimat kepala : Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menetapkan Undang-Undang Nomor.....tentang.....akan tetapi setelah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa ”DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”, maka kepala kalimat sudah seharusnya sudah tidak tepat lagi dan diganti dengan ”Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan persetujuan Presiden menetapkan undang-undang Nomor.......tentang......... dengan demikian, Undang-Undang sebagai salah satu bentuk peraturan benar-benar ditetapkan oleh DPR sebagai lembaga legislatif, tidak seperti selama ini yang ditetapkan oleh Presiden.
Dalam suatu negara hukum, sudah seharusnya kekuasaan kehakiman diberi wewenang ’judicial review’ untuk menguji materi UU terhadap UUD. Dengan cara itu, prinsip kedaulatan rakyat dapat berkembang seimbang dengan prinsip kedaulatan hukum atau sebaliknya prinsip kedaulatan hukum (nomokrasi) diimbangi dengan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi). Karena itu penting artinya untuk memberikan kekuasaan menguji kepada Mahkamah Agung terhadap semua produk UU dengan menjadikan UUD sebagai patokan.
 Pelaksanaan pengujian itu sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaiu secara institusional atau prosedural. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993, hak Mahkamah Agung untuk menguji materi peraturan perundang-undangan di bahwa tingkat UU dapat dilakukan melalui persidangan gugatan ”judicial review” yang bersifat khusus.
Di samping itu, pengujian terhadap materi perundang-undangan dapat pula dilakukan secara prosedural dalam arti, tidak melalui gugatan institusional, tetapi dikaitkan dengan prinsip kebebasan hakim dalam memutus sesuatu perkara. Proses penguijian secara langsung dilakukan oleh hakim dalam setiap persidangan menyangkut materi-materi yang terkait.
 Dengan sendirinya, sangat mungkin dapat terjadi suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap berkembang menjadi jurisprudensi yang justru bertentangan dengan materi suatu UU. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagai sumber hukum, jurisprudensi itu sama tingkatannya dengan UU.
Akibat adanya pergeseran kekuasaan legislatif ke DPR maka cara kerja atau mekanisme kerja DPR mengalami perubahan dari sebelumnya. Dalam rangka pembentukan UU, pihak DPR-lah yang harus lebih banyak dan lebih sering mengajukan Rancangan UU, bukan lagi pihak Pemerintah seperti selama ini. Jika nanti ternyata kebanyakan RUU tetap diajukan oleh Pemerintah, maka perubahan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dapat dikatakan tidak mempunyai makna sama sekali.
Dalam Tata Tertib DPR sejak dulu sebenarnya sudah disebutkan bahwa tugas pokok DPR adalah tugas legislatif dan tugas pengawasan. Bahkan fungsi legislatif DPR terus menerus disoroti oleh para ahli sebagai indikator berperan tidaknya DPR dari waktu ke waktu. Namun praktek penggunaan hak inisiatif DPR untuk mengajukan RUU tetap tidak banyak digunakan.
Sekarang setelah makin dipertegasnya peralihan kekuasaan legislatif dar Presiden ke DPR, maka implikasinya terhadap dukungan-dukungan teknis yang dibutuhkan oleh DPR perlu benar-benar diperhitungkan. DPR RI tidak dapat lagi bekerja menurut cara-cara yang selama ini dipraktekkan. DPR perlu dilengkapi dengan aparatur teknis, tidak saja dalam bentuk staf ahli atau tim-tim ahli yang diperbantukan secara ad-hoc, tetapi apabila perlu dukungan-dukungan teknis yang lebih terlembagakan, termasuk dukungan anggaran yang perlu ditingkatkan.

Salah satu kemungkinan yang perlu dipertimbangkan ialah perlunya dibentuk Komisi-Komisi Tetap yang dipimpin oleh anggota DPR, tetapi beranggotakan tokoh-tokoh yang berkeahlian di bidangnya yang berasal dari luar keanggotaan DPR. Dibidang perundang-undangan misalnya DPR dapat membentuk semacam ”Legislative Council” dan ”Legislative Reference Service” seperti di Kongres Amerika Serikat. Bahkan apabila perlu sebagian dari fungsi instansi seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Perundang-undangan terutama di bidang Perancangan Undang-Undang dapat dialihkan ke DPR RI. 

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts