Kemampuan
Bercerita
1. Pengertian Bercerita
Cerita merupakan tuturan yang
membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal, yaitu peristiwa atau kejadian
(Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2003:210). Menurut Arsjad dan
Mukti (1991:12) cerita adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya tindak
tanduk yang dijalani dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi
dalam kesatuan waktu. Wigadho (1997:166) mengatakan cerita adalah karangan yang
menceritakan satu atau beberapa kejadian dan bagaimana berlangsungnya
peristiwa-peristiwa tersebut. Isi yang diceritakan berupa peristiwa-peristiwa
yang benar-benar terjadi atau tentang sesuatu yang khayal.
Menurut Rahmulyati (2001:6)
bercerita adalah menuturkan suatu peristiwa, kejadian atau pengalaman baik yang
sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan yang disusun menurut urutan waktu. Majid
(2002:9) mengatakan bercerita yaitu penyampaian cerita kepada pendengar atau
membacakannya bagi mereka. Ketika proses bercerita dibutuhkan adanya hal-hal
yang mencakup posisi duduk, bahasa, suara, gerakan-gerakan, peragaan agar
penceritaan menjadi baik. Bercerita berdasarkan kurikulum adalah siswa mampu
mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan, secara lisan melalui
menceritakan pengalaman, membahas masalah-masalah aktual, mendeskripsikan benda
atau seseorang, menjelaskan petunjuk penggunaan, berdiskusi, dan menyampaikan
pesan melalui telepon serta menceritakan kembali isi dongeng dan bermain peran.
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas dapat didefinisikan pengertian bercerita adalah bentuk perilaku manusia
untuk mengutarakan suatu kejadian, baik fakta atau khayalan secara lisan dengan
memanfaatkan organ tubuh yaitu kepala, tangan, roman muka, disusun menurut
urutan waktu atau singkatnya menuturkan cerita.
2. Faktor Penunjang Keefektifan
Bercerita
Kemampuan bercerita ialah
kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad dan Mukti,17:1988). Yang dimaksud ucapan
adalah seluruh kegiatan yang kita lakukan dalam memproduksi bunyi bahasa, yang
meliputi artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat bicara, seperti lidah, gigi,
bibir, dan langit-langit pada waktu kita membentuk bunyi, baik vokal maupun
konsonan. Menjadi pencerita yang baik selain harus menguasai kesan bahwa ia
menguasai masalah yang dibicarakan, si pencerita juga harus memperlihatkan
keberanian, kegairahan., dan pencerita harus bercerita dengan jelas dan tepat.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh si pencerita untuk keefektifan
bercerita yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Berikut dijelaskan
faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan sebagai penunjang keefektifan
bercerita (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
1) Faktor Kebahasaan
Faktor penunjang keefektifan
bercerita faktor kebahasaan adalah meliputi, ketepatan ucapan, penempatan
tekanan, nada, sendi, dan ritme yang sesuai, plihan kata, dan ketepatan sasaran
pembicaraan. Faktor-faktor kebahasaan ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan bercerita seseorang. Berikut dijelaskan faktor-faktor kebahasaan
sebagai penunjang keefektifan bercerita.
a) Ketepatan Ucapan
Seorang pencerita harus
membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi
bahasa yang kurang tepat, dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan
bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan,
kurang menyenangkan, atau kurang menarik. Ketepatan ucapan cukup mempengaruhi
proses komunikasi. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap tidak tepat apabila
pencerita menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga mengganggu
komunikasi.
b) Penempatan Tekanan, Nada, Sendi dan
Ritme yang sesuai
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan
ritme merupakan daya tarik tersendiri dalam bercerita. Walaupun masalah yang
dibicarakan kurang menarik, maka dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan
ritme yang sesuai, akan menyebabkan masalahnya menjadi menarik. sebaliknya jika
penyampaiannya datar, akan menimbulkan kejenuhan dan keefektifan bercerita
berkurang. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan jika pencerita
bercerita dengan jelas dalam bahasa yang dikuasai pencerita.
c) Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas,
dan bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi
sasaran. Pendengar akan tertarik dan senang mendengarkan kalau pencerita
bercerita dengan jelas dalam bahasa yang dikusainya, dalam arti yang
betul-betul menjadi miliknya, baik sebagai perorangan maupun sebagai pembicara.
d) Ketepatan Sasaran Pembicaraan
Ketepatan sasaran pembicaraan berkaitan
pemakaian kalimat. Pencerita yang menggunakan kalimat efektif akan memudahkan
pendengar menangkap isi cerita. Seorang pencerita harus mampu menyusun kalimat
efektif, kalimat mengenai sasaran, sehingga mampu menimbulkan pengaruh,
meninggalkan kesan, atau menimbulkan akibat. Kalimat efektif mampu membuat isi
atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar seperti
apa yang dimaksud oleh pencerita.
2) Faktor Nonkebahasaan
Faktor nonkebahasaan menyangkut
perilaku atau tingkah laku bercerita yaitu
1) sikap yang
wajar, tenang, dan tidak kaku, 2) pandangan harus diarahkan kepada
lawan bicara, 3) kesediaan menghargai
pendapat orang lain, 4) gerak-gerik dan mimik yang tepat, 5) kenyaringan suara,
6) kelancaran, 7) relevansi atau penalaran, 8) penguasaan topik. Faktor
nonkebahasaan jika dapat dikuasai pencerita akan memudahkan penerapan faktor
kebahasaan.
Adanya faktor kebahasaan dan non
kebahasaan sebagai faktor penunjang keefektifan bercerita akan meningkatkan
nilai tinggi seorang pembicara. Agar menyampaikan informasi dengan efektif,
sebaiknya pembicara harus melihat pada fakor kebahasaan dan nonkebahasaan yang
telah dijabarkan di atas.
3. Hal-hal yang Harus Diperhatikan
dalam Bercerita
Kegiatan bercerita merupakan
kegiatan berbicara yang memerlukan persiapan untuk memulai cerita. Ada bebrapa
hal untuk persiapan bercerita. Persiapan bercerita menurut Haryadi dan Zamzani
(dalam Suhartiningsih,1997:702 ) adalah 1) memilih cerita yang tepat, 2)
mengetahui isi cerita, 3) merasakan cerita, 4) menyelaraskan cerita, 5)
pemilihan pokok cerita, 6) menyarikan cerita, 7) memperluas cerita, 8) mengisahkan
cerita secara langsung, 9) bercerita dengan tubuh yang alamiah, 10) menentukan
tujuan, 11) memfungsikan kata dan percakapan, 12) melukiskan kejadian, 13)
menetapkan suasana gerak, 14) merangkai adegan.
Menurut Suhartiningsih (1997:702 )
untuk menjadi pencerita yang baik adalah penguasaan dan penghayatan cerita,
penyelarasan dengan situasi dan kondisi, pemilihan dan penyusunan kalimat,
pengapreasian alami, dan keberanian. Petunjuk bercerita menurut Setyono (1997:5
) adalah 1) jangan menghafalkan cerita, 2) visulisasikan tokoh cerita dan latar
dalam bentuk anda, sehingga anda dapat mendeskripsikan seolah-olah anda
melihatnya, 3) tulis outline beserta detail-detailnya di kartu yang dapat anda
pegang, tetapi jangan dibaca, 4) rencanakan terkebih dahulu cara-cara agar anda
dapat memperpanjang atau memperpendek cerita tergantung pada waktu yang
disediakan dan pendengar cerita, 5) latih terlebih dahulu di depan kaca atau
kepada orang lain sebelum bercerita, 6) gunakan alat bantu untuk menambah
suasana pada saat bercerita, 7) gunakan suara yang berbeda untuk menyampaikan
rasa gembira, sedih, marah, 8) hadapkan wajah anda ke pendengar.
Berdasarkan sumber di atas hal-hal
yang harus diperhatikan untuk bercerita adalah 1) memilih cerita yang tepat, 2)
penguasaan dan penghayatan cerita 3) mengisahkan cerita langsung, 4) gunakan
suara yang berbeda untuk menyampaikan rasa gembira, marah, dan sedih, 5)
hadapkanlah wajah anda ke pendengar, dan 6) harus berani.
4. Manfaat Bercerita
Suatu kegiatan yang dilaksanakan
harus mempunyai manfaat baik bagi diri
sendiri maupun orang lain. Bercerita
mempunyai manfaat tertentu pada pencerita dan pendengar cerita. Menurut
Suhartiningsih (1997:702) manfaat dari kegiatan bercerita adalah 1) memberikan
hiburan, 2) mengajarkan kebenaran, dan 3) memberikan keteladanan atau model.
Seseorang akan merasa terhibur
bila mendengar orang bercerita. Bercerita memberikan kesenangan untuk pencerita
dan pendengar cerita. Orang yang merasakan kesedihan bila mendengarkan cerita
maupun orang bercerita akan merasakan beban kesedihannya hilang. Pendengar
cerita terhibur mendengarkan orang bercerita, pembicara bahagia ada orang yang
mau mendengarkan ceritanya dan beban sedihnya berkurang dengan bercerita. Akan
tetapi seseorang bercerita harus melihat kondisi pendengar, apakah sedih atau
bahagia.
Cerita akan mengajarkan kebenaran
dan memberikan keteladanan. Isi cerita akan memperlihatkan yang bisa dijadikan
contoh teladan yang baik dan teladan yang buruk. Kebenaran suatu cerita
mengambil keteladanan yang baik dari suatu cerita.
No comments:
Post a Comment