Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Saturday, July 14, 2018

MAKALAH TENTANG KONSTITUSI & MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I
PENDAHULUAN


Solly Lubis berpendapat, konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis.
Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan ”maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.
Secara etimologis antara kata “konstitusi”, konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang-Undang, dan ground berarti tanah/dasar. Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau groundwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar.
Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.


BAB II
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR RI 1945


Perubahan besar tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa telah berhasil dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui Perubahan UUD 1945 bercermin dari kelemahan sistem dan praktik penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Hal itu merupakan wujud kesadaran bahwa berbagai penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu tidak semata-mata terjadi karena faktor orang yang berkuasa, melainkan lebih ditentukan oleh sistem yang memungkinkan bahkan mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden (concentration of power upon the President).
Di sisi yang lain, UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup mengatur pembatasan terhadap kekuasaan sebagai wujud paham konstitusionalisme. Hal itu di antaranya dapat dilihat dari sedikitnya ketentuan yang mengatur jaminan perlindungan, penghormatan, dan pemajuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara. Bahkan, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun ditetapkan dengan Undang-Undang, yang berarti hak tersebut diposisikan sebagai pemberian negara, bukan melekat sebagai hak asasi manusia.
Selain itu, dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana pembentukan dan pengisian anggota lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPRD) dan juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Pemilu. Oleh karena itu, sah jika pada saat itu komposisi anggota DPR dan MPR lebih banyak yang diangkat dari pada yang dipilih sehingga lebih merupakan representasi kehendak penguasa dari pada pilihan rakyat. Bahkan Pemilu pun dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat legitimasi sehingga tidak pernah berjalan secara jujur dan adil.
Dengan kondisi yang demikian, berlakulah hukum besi Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan (powers tend to corrupt, absolut powers corrupt absolutly). Konstitusi tidak menjadi aturan hukum tertinggi karena dapat dikesampingkan oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Konstitusi dalam konteks demikian telah kehilangan ruh konstitusionalismenya.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, segenap komponen bangsa yang ada dalam MPR hasil Pemilu 1999 yang demokratis, termasuk wakil dari TNI dan Polri, bersepakat melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan merumuskan kesepakatan dasar yang meliputi:
a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mempertegas sistem Presidensiil;
d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan
e. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Pada tahap awal perubahan di tahun 1999 sesungguhnya telah diinventarisir dan dibahas keseluruhan materi perubahan. Namun demikian, karena setiap perubahan membutuhkan pembahasan mendalam, maka disepakati tahapan pembahasan dan pengesahan dengan mendahulukan hal-hal yang sudah dapat disepakati. Dengan demikian Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999 hingga 2002 adalah satu rangkaian perubahan, hanya pengesahannya saja yang bertahap.
Ketentuan yang sudah diubah sebelumnya tidak ada yang diubah lagi pada perubahan berikutnya. Oleh karena itu adalah keliru jika menyatakan bahwa UUD 1945 sudah diubah empat kali. Dari rangkaian Perubahan UUD 1945, terdapat beberapa substansi pokok yang mempengaruhi tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Pertama, penegasan konstitusi sebagai hukum tertinggi atau supremasi konstitusi (the supreme law of the land) di dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian bagaimana kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan, harus merujuk kepada Undang-Undang Dasar, bukan dilaksanakan sesuai kehendak lembaga tertentu. Prinsip supremasi konstitusi ini merupakan salah satu ciri utama negara hukum.
Dengan ditegaskannya prinsip supremasi konstitusi, seluruh aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Semua aturan hukum dan tindakan penyelenggara negara pada hakikatnya adalah untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi mengikat seluruh penyelenggara negara dan segenap warga negara.
Kedua, untuk membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, serta sesuai dengan kesepakatan dasar mempertegas sistem presidensiil, organisasi negara ditata ulang berdasarkan prinsip separation of power. Wewenang Presiden dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR serta berbagai bentuk pembatasan lain seperti dalam pemberian grasi, amnesti, dan abolisi; pengangkatan dan penerimaan duta/konsul; penyusunan kementerian negara; dan lain-lain. Kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. MPR yang semula berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadi lembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu akan tumbuh mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances) antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridor konstitusi.
Ketiga, konstitusi sebagai hukum dasar negara adalah bentuk perjanjian sosial tertinggi dari seluruh warga negara dengan tujuan untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah. Oleh karena itu tidak wajar jika dalam suatu konstitusi tidak memuat hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi, menghormati, dan memajukannya. Keberadaan jaminan konstitusional terhadap HAM juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara untuk tidak melakukan pelanggaran secara sewenang-wenang baik melalui produk hukum maupun tindakan aparat negara.
Ketiga hal mendasar tersebut membawa konsekuensi diperlukannya mekanisme dan institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan:
a. Bagaimana menjamin bahwa UUD 1945 dilaksanakan dalam peraturan perundang-undangan, atau bahwa peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan secara hirarkis dan berpuncak pada konstitusi?
b. Dalam posisi kelembagaan negara yang sederajat berdasarkan prinsip separation of powers dan checks and balances, mekanisme apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara? Dan
c. Bagaimana menjamin bahwa hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara tidak dilanggar oleh aturan hukum yang ada?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, teori dan praktik ketatanegaraan dari berbagai negara memiliki satu jawaban, yaitu perlu adanya lembaga pengadilan konstitusi atau Mahkamah Konstitusi (MK). Dari sisi teoretis keberadaan MK dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan tujuan untuk menjamin bahwa suatu undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi. Dari sisi praktis, pada saat MK RI dibentuk, sudah ada 77 negara yang memiliki MK. Selain itu, ada banyak negara yang memberikan wewenang-wewenang konstitusional memutus judicial review dan interbrach dispute (sengketa kewenang lembaga negara) kepada Mahkamah Agung.



BAB III
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI


Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan empat wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan hasil Pemilu.
Selain itu, Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 memberikan kewajiban kepada MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai tahapan yang harus dilalui untuk pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945, MK merupakan lembaga negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, MK berkedudukan sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Kalaupun putusan MK dapat membatalkan suatu ketentuan dalam suatu undang-undang tidak berarti bahwa MK kedudukannya berada di atas pembentuk undang-undang. Demikian pula, kalaupun MK memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, hal itu tidak berarti MK berkedudukan di atas lembaga negara yang bersengketa. Kewenangan itu dimiliki semata-mata karena diberikan oleh konstitusi dan tidak menyebabkan kedudukan MK berada di atas lembaga negara lain.
Terdapat empat peran yang biasa dilekatkan kepada MK sesuai dengan latar belakang pembentukan wewenang yang dimiliki MK, yaitu:
1) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution);
2) penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal demokrasi (the guardian of the democracy);
4) pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan hak asasi manusia (the protector of human rights).
Produk hukum di bawah UUD 1945 yang menjabarkan aturan dasar konstitusional adalah undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Pembuatan undang-undang juga merupakan proses penafsiran terhadap UUD 1945, sehingga pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama Presiden juga merupakan penafsir undang-undang. Namun demikian, karena UUD 1945 sendiri menentukan bahwa undang-undang tersebut dapat dimohonkan pengujian kepada MK yang berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, maka penafsiran MK lah yang merupakan penafsiran akhir dan harus dilaksanakan. Oleh karena itu MK merupaka penafsir final konstitusi (the final intepreter of the constitution).
Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 MK juga menjalankan peran sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan MK yang lain juga dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 untuk menyelesaikan perkara yang harus di putus, baik dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, maupun pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya maka dalam konteks tersebut juga melekat peran MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Fungsi Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah sebagai penjaga demokrasi (the guardian of the democracy). Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang berarti bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi. Prinsip demokrasi juga dapat dilihat dari diaturnya ketentuan Pemilu yang harus dilakukan secara berkala oleh komisi pemilihan umum yang tetap dan mandiri untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Demokrasi dipandang sebagai sistem paling baik di antara sistem politik lain untuk mewujudkan dan menjaga kedaulatan rakyat. Namun, demokrasi dapat dimanipulasi dengan pelanggaran dan kecurangan yang menciderai kedaulatan rakyat. Proses tersebut harus dijaga dan dikawal melalui mekanisme hukum PHPU yang menjadi wewenang MK.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional citizen’s rights). Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban hukum konstitusional untuk melindungi menghormati, dan memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara.
Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat dan mengeluarkan pendapat.



BAB IV
KESIMPULAN


Perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah secara prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut UUD. Hal itu menyebabkan semua lembaga Negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing.
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 194538. Sedangkan menurut pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya.
DAFTAR PUSTAKA




Lubis, M.Solly. (1978). Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni.

Nasution, A.B. (1995) Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: Grafiti.

Soemantri, Sri. (1987). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Bandung: Alumni.

Soemantri, Sri. (1993). Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.

Tim Penyusun Kamus, (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.

Thaib, D., Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, (2003). Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.


No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts