BAB I
PENDAHULUAN
Solly Lubis berpendapat,
konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (Undang-Undang
Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). Negara Inggris
merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis.
Dalam berbagai literatur
hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham
konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
1. Anatomi kekuasaan
(kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas
dan mandiri.
4. Pertanggungjawaban
kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip atau
ajaran di atas merupakan ”maskot” bagi suatu pemerintahan yang
konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya
sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam
praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara
yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.
Secara etimologis antara
kata “konstitusi”, konstitusional”, dan “konstitusionalisme”
inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi
adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang
Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan
Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala
tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak
didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut
adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu
suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui
konstitusi.
Sedangkan istilah
Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Groundwet.
Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Undang-Undang,
dan ground berarti tanah/dasar. Mencermati dikotomi antara istilah constitution
dengan grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn
telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau groundwet (Undang
Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution
(konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama
dengan Undang Undang Dasar.
Penyamaan arti dari
keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara
dunia termasuk di Indonesia. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut
kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang
Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara
badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar
menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan
menyesuaikan diri satu sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara.
Di negara-negara yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution
yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian Konstitusi,
dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar,
tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi
para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang
lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
BAB II
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR RI 1945
Perubahan besar tatanan
kehidupan bernegara dan berbangsa telah berhasil dilakukan oleh bangsa
Indonesia melalui Perubahan UUD 1945 bercermin dari kelemahan sistem dan
praktik penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Hal itu merupakan wujud
kesadaran bahwa berbagai penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu tidak
semata-mata terjadi karena faktor orang yang berkuasa, melainkan lebih ditentukan
oleh sistem yang memungkinkan bahkan mendorong terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan.
Kelemahan sistem tersebut
antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai
mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain,
MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan
“sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi
kekuasaan negara ada di tangan Presiden (concentration of power upon the
President).
Di sisi yang lain, UUD
1945 sebelum perubahan tidak cukup mengatur pembatasan terhadap kekuasaan
sebagai wujud paham konstitusionalisme. Hal itu di antaranya dapat dilihat dari
sedikitnya ketentuan yang mengatur jaminan perlindungan, penghormatan, dan
pemajuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara.
Bahkan, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun ditetapkan dengan
Undang-Undang, yang berarti hak tersebut diposisikan sebagai pemberian negara,
bukan melekat sebagai hak asasi manusia.
Selain itu, dalam UUD 1945
sebelum perubahan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana
pembentukan dan pengisian anggota lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPRD) dan
juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Pemilu. Oleh karena itu, sah
jika pada saat itu komposisi anggota DPR dan MPR lebih banyak yang diangkat
dari pada yang dipilih sehingga lebih merupakan representasi kehendak penguasa
dari pada pilihan rakyat. Bahkan Pemilu pun dilaksanakan oleh pemerintah untuk
memperkuat legitimasi sehingga tidak pernah berjalan secara jujur dan adil.
Dengan kondisi yang
demikian, berlakulah hukum besi Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung
disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan (powers tend to
corrupt, absolut powers corrupt absolutly). Konstitusi tidak menjadi aturan
hukum tertinggi karena dapat dikesampingkan oleh MPR sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat dan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Konstitusi dalam
konteks demikian telah kehilangan ruh konstitusionalismenya.
Berdasarkan
kelemahan-kelemahan tersebut, segenap komponen bangsa yang ada dalam MPR hasil
Pemilu 1999 yang demokratis, termasuk wakil dari TNI dan Polri, bersepakat
melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan
merumuskan kesepakatan dasar yang meliputi:
a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. Mempertegas sistem Presidensiil;
d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif
akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan
e. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Pada tahap awal perubahan
di tahun 1999 sesungguhnya telah diinventarisir dan dibahas keseluruhan materi
perubahan. Namun demikian, karena setiap perubahan membutuhkan pembahasan
mendalam, maka disepakati tahapan pembahasan dan pengesahan dengan mendahulukan
hal-hal yang sudah dapat disepakati. Dengan demikian Perubahan UUD 1945 dari
tahun 1999 hingga 2002 adalah satu rangkaian perubahan, hanya pengesahannya
saja yang bertahap.
Ketentuan yang sudah
diubah sebelumnya tidak ada yang diubah lagi pada perubahan berikutnya. Oleh
karena itu adalah keliru jika menyatakan bahwa UUD 1945 sudah diubah empat
kali. Dari rangkaian Perubahan UUD 1945, terdapat beberapa substansi pokok yang
mempengaruhi tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Pertama, penegasan
konstitusi sebagai hukum tertinggi atau supremasi konstitusi (the supreme law
of the land) di dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian
bagaimana kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara yang dimiliki oleh
rakyat itu dilaksanakan, harus merujuk kepada Undang-Undang Dasar, bukan dilaksanakan
sesuai kehendak lembaga tertentu. Prinsip supremasi konstitusi ini merupakan
salah satu ciri utama negara hukum.
Dengan ditegaskannya
prinsip supremasi konstitusi, seluruh aturan hukum tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Semua aturan hukum dan tindakan
penyelenggara negara pada hakikatnya adalah untuk melaksanakan ketentuan UUD
1945. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi mengikat seluruh penyelenggara negara
dan segenap warga negara.
Kedua, untuk
membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, serta
sesuai dengan kesepakatan dasar mempertegas sistem presidensiil, organisasi
negara ditata ulang berdasarkan prinsip separation of power. Wewenang Presiden
dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR
serta berbagai bentuk pembatasan lain seperti dalam pemberian grasi, amnesti,
dan abolisi; pengangkatan dan penerimaan duta/konsul; penyusunan kementerian
negara; dan lain-lain. Kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang
merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. MPR yang semula berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadi lembaga tinggi negara sederajat
dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan
dalam UUD 1945. Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu akan tumbuh mekanisme
saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances) antara satu cabang
kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain sehingga tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridor konstitusi.
Ketiga, konstitusi
sebagai hukum dasar negara adalah bentuk perjanjian sosial tertinggi dari
seluruh warga negara dengan tujuan untuk melindungi segenap warga negara dan
seluruh tumpah darah. Oleh karena itu tidak wajar jika dalam suatu konstitusi
tidak memuat hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang menjadi
tanggungjawab negara untuk melindungi, menghormati, dan memajukannya.
Keberadaan jaminan konstitusional terhadap HAM juga merupakan pembatasan
terhadap kekuasaan negara untuk tidak melakukan pelanggaran secara sewenang-wenang
baik melalui produk hukum maupun tindakan aparat negara.
Ketiga hal mendasar
tersebut membawa konsekuensi diperlukannya mekanisme dan institusi untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan:
a. Bagaimana menjamin
bahwa UUD 1945 dilaksanakan dalam peraturan perundang-undangan, atau bahwa
peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan secara hirarkis dan
berpuncak pada konstitusi?
b. Dalam posisi
kelembagaan negara yang sederajat berdasarkan prinsip separation of powers dan
checks and balances, mekanisme apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan
jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara? Dan
c. Bagaimana menjamin
bahwa hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara tidak dilanggar
oleh aturan hukum yang ada?
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut, teori dan praktik ketatanegaraan dari berbagai
negara memiliki satu jawaban, yaitu perlu adanya lembaga pengadilan konstitusi
atau Mahkamah Konstitusi (MK). Dari sisi teoretis keberadaan MK dikemukakan
oleh Hans Kelsen dengan tujuan untuk menjamin bahwa suatu undang-undang tidak
bertentangan dengan konstitusi. Dari sisi praktis, pada saat MK RI dibentuk,
sudah ada 77 negara yang memiliki MK. Selain itu, ada banyak negara yang
memberikan wewenang-wewenang konstitusional memutus judicial review dan
interbrach dispute (sengketa kewenang lembaga negara) kepada Mahkamah Agung.
BAB III
HUKUM ACARA MAHKAMAH
KONSTITUSI
Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 memberikan empat wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Memutus pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar;
c. Memutus pembubaran
partai politik; dan
d. Memutus perselisihan
hasil Pemilu.
Selain itu, Pasal 24C ayat
(2) UUD 1945 memberikan kewajiban kepada MK untuk memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai
tahapan yang harus dilalui untuk pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sesuai dengan ketentuan
Pasal 24 UUD 1945, MK merupakan lembaga negara sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, MK berkedudukan sejajar dengan lembaga
tinggi negara lainnya. Kalaupun putusan MK dapat membatalkan suatu ketentuan
dalam suatu undang-undang tidak berarti bahwa MK kedudukannya berada di atas
pembentuk undang-undang. Demikian pula, kalaupun MK memutus sengketa kewenangan
antar lembaga negara, hal itu tidak berarti MK berkedudukan di atas lembaga
negara yang bersengketa. Kewenangan itu dimiliki semata-mata karena diberikan
oleh konstitusi dan tidak menyebabkan kedudukan MK berada di atas lembaga
negara lain.
Terdapat empat peran yang
biasa dilekatkan kepada MK sesuai dengan latar belakang pembentukan wewenang
yang dimiliki MK, yaitu:
1) pengawal konstitusi
(the guardian of the constitution);
2) penafsir final
konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy);
4) pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional
rights) dan hak asasi manusia (the protector of human rights).
Produk hukum di bawah UUD
1945 yang menjabarkan aturan dasar konstitusional adalah undang-undang yang
dibuat oleh lembaga legislatif. Pembuatan undang-undang juga merupakan proses
penafsiran terhadap UUD 1945, sehingga pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama
Presiden juga merupakan penafsir undang-undang. Namun demikian, karena UUD 1945
sendiri menentukan bahwa undang-undang tersebut dapat dimohonkan pengujian
kepada MK yang berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa
putusannya bersifat final dan mengikat, maka penafsiran MK lah yang merupakan
penafsiran akhir dan harus dilaksanakan. Oleh karena itu MK merupaka penafsir
final konstitusi (the final intepreter of the constitution).
Dalam menjalankan wewenang
memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 MK juga menjalankan peran
sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Selain itu,
karena pelaksanaan kewenangan MK yang lain juga dilakukan berdasarkan pada
ketentuan UUD 1945 untuk menyelesaikan perkara yang harus di putus, baik dalam
perkara sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik,
perselisihan hasil pemilu, maupun pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya maka dalam konteks tersebut juga melekat peran
MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan penafsir
konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Fungsi Mahkamah Konstitusi
selanjutnya adalah sebagai penjaga demokrasi (the guardian of the democracy).
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat, yang berarti bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi.
Prinsip demokrasi juga dapat dilihat dari diaturnya ketentuan Pemilu yang harus
dilakukan secara berkala oleh komisi pemilihan umum yang tetap dan mandiri
untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Demokrasi dipandang
sebagai sistem paling baik di antara sistem politik lain untuk mewujudkan dan
menjaga kedaulatan rakyat. Namun, demokrasi dapat dimanipulasi dengan
pelanggaran dan kecurangan yang menciderai kedaulatan rakyat. Proses tersebut
harus dijaga dan dikawal melalui mekanisme hukum PHPU yang menjadi wewenang MK.
Fungsi selanjutnya adalah
sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights) dan
pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional
citizen’s rights). Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi menjadikan negara
memiliki kewajiban hukum konstitusional untuk melindungi menghormati, dan memajukan
hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga
negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang.
Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga
negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan
yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak
konstitusional warga negara.
Oleh karena itu, kewenangan
pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara
negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara.
Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara pembubaran partai politik
yang dimaksudkan agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang membubarkan
partai politik yang melanggar hak berserikat dan mengeluarkan pendapat.
BAB IV
KESIMPULAN
Perubahan
UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah secara prinsip kedaulatan
rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan
menurut UUD. Hal itu menyebabkan semua lembaga Negara dalam UUD 1945
berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup
wewenangnya masing-masing.
Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam UUD NRI Tahun 194538. Sedangkan menurut pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian
Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.11
Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi
kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, M.Solly. (1978).
Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni.
Nasution, A.B. (1995)
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: Grafiti.
Soemantri, Sri. (1987). Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Bandung: Alumni.
Soemantri, Sri. (1993). Susunan
Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia
Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
Tim Penyusun Kamus, (1991).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.
Thaib, D., Jazim Hamidi,
Ni’matul Huda, (2003). Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum
Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment