A. CINTA SEBAGAI WUJUD IMAN DAN AKHLAK
Islam sebenarnya memiliki konsep
“cinta” sejati. Ungkapan Tuhan Yang Maha Kasih dan Sayang, Bismillahirahmanirahim, menjadi pembuka setiap surat dalam
Al-Qur’an (kecuali surat At-Taubah). Nama-nama indah Tuhan (al-Asma al-Husna)
didominasi dengan nama-nama yang menunjukkan Kasih dan Sayang Tuhan (al-Rahman,
al-Rahim, al-Quddus, al-Salam, al-Muhaimin, al-Ghaffar, al-Wadud dll), sehingga
nama-nama Tuhan yang berkonotasi kejam seperti al-Malik (Maha Raja), al-Aziz
(Maha Gagah), al-Jabbar (Maha Pemaksa), al-Qahhar (Maha Perkasa),al-Muntaqim
(Maha Pembalas), hanyalah merupakan turunan dan bagian dari Kasih-Sayangnya.
Imam Ali bin abi Thalib k.w.
terkenal sebagai kader Nabi yang paling tinggi rasa cintanya sekaligus seorang
prajurit perang yang gaggah perkasa. Ketika seorang musuh yang jatuh tersungkur
dan tidak berdaya meludahi muka Ali, beliau malah mengurungkan pedangnya lalu
pergi meninggalkan musuh yang sudah tidak berdaya itu.
Dalam bentuk sya’ir, Rabi’ah
mengungkapkan tentang cinta:
Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku
Adalah
keadaaanku senantiasa mengingatMu
Cinta
karena diriMu
Adalah keadaanMu mengungkapkan tabir hingga Engkau
kulihat
Baik untuk ini
maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
BagiMulah pujian untuk kesemuanya
Di kalangan sufi, cinta adalah prinsip etika dan moralitas. Dengan kata lain,
etika dan moral tidak akan ada tanpa adanya cinta. Keyakinan para wali dan keberanian para syuhada hanyalah dasar dari kesempurnaan
moral dan pengetahuan spiritual.
“Cinta”, ujar Jalaludin Rumi, adalah
penyembuh bagi kebanggan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan
diri. Hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak
mementingkan diri”
Untuk menggapai cinta abadi,
terlebih dahulu kita perlu mengenali apa saja penyebab adanya cinta yaitu :
- Cinta “diri”.
Masing-masing
kita cinta terhadap diri sendiri, sehingga kita begitu egois dan mementingkan
diri sendiri.
- Cinta pada orang lain atau di luar diri kita
Kita
biasanya memberikan cinta kepada orang yang memberikan kebaikan kepada kita.
Semakin besar dan banyak kebaikan yang mereka berikan maka semakin besar cinta
kita kepada orang itu.
Karena itu Imam Ghazali menunjukkan
dua cara mencintai Allah SWT, yaitu
1.
Melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi
Meninggalkan
dunia bukan berarti melepaskan diri sama sekali dengan dunia,melainkan justru
menguasai dunia.
2.
Mengeluarkan kotoran-kotoran hati
Cinta
Ilahi akan terhijab selama hati kita penuh dengan kotortean-kotoran: marah,
dendam, iri-dengki, riya, takabur, ‘ujub
dan ghurur.
Cinta disebut-sebut Nabi sebagai ekspresi keimanan. Jadi, Iman
bukanlah sebuah keyakinan “nol”, melainkan suatu keyakinan yang disertai cinta.
Sedangkan tinggi-rendahnya cinta dapat diukur dari seberapa besar
tinggi-rendahnya pengorbanan. Hadits-hadits yang mengungkapkan cinta sebagai
ekspresi keimanan cukup banyak Nabi ucapkan. Hadits yang dimulai dnegan kalimat
“La yu’minu ahadukum…..” (tidak
beriman seseorang … ) cukup banyak Nabi sampaikan,diantaranya sbb:
Tidak beriman kamu sebelum kamu mencintai saudaramu
seperti kamu mencintai dirimu sendiri.
Tidak beriman kamu bila kamu tidur kenyang sementara tetangga
kelaparan di samping kamu.
B. APA DAN
BAGAIMANA AKHLAK
Ungkapan akhlak
dimaksudkan untuk menyebutkan “akhlaq al-karimah” (akhlak mulia) atau “akhlaq
al-mahmudh” (akhlak terpuji), yakni akhlak yang baik, sebagai lawan dari akhlak
yang buruk atau akhlak yang biasa-biasa (tidak baik dan tidak buruk).
Dalam arti luas, akhlak
didefinisikan sebagai segala tindakan yang “baik” yang medatangkan pahala bagi
orang yang mengerjakannya atau segala tindakan yang didasarkan pada perintah
syara’, yang wajib ataupun sunat, yang haram ataupun makruh. Implikasinya orang
yang berakhlak adalah orang yang taat beragama, atau orang yang mengerjakan
ajaran Islam secara “kafah”. Dalam pengertian yang terbatas, akhlak hanya
dimaksudkan untuk menyebutkan sejumlah tindakan yang “baik”, “etis’, bersifat
“ikhtiari” danpelakuanya memang patut dipuji
Ciri-ciri perbuatan akhlak adalah
sebagai berikut :
- Akhlak merupakan suatu tindakan yang ‘baik’
- Akhlak merupakan suatu tindakan “ikhtiari”
- Akhlak merupakan buah keimanan
- Akhlak bersifat fitri
- Akhlak bersifat “ta’abbudi”
- Akhlak merupakan moral dan etika universal
- Pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk
masyarakat
- Pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk
hati-nurani
Faktor-faktor
yang memperkuat akhlak dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.
Mantapnya keimanan
2.
Terbimbing oleh seorang guru yang shaleh
3.
Memiliki
pengetahuan agama yang cukup dan benar
4.
Memilki falsafah hidup yang baik, yang sesuai dengan
substansi ajaran Islam
5.
Memilki lingkungan pergaulan yang baik
6.
Visioner
7.
Memiliki pekerjaan dan aktivitas yang “kredensial”
8.
Terpenuhinya kebutuhan pokok
Adapun
faktor yang memeperlemah perbuatan akhlaki sebegai berikut :
1.
“Hidup mewah”
2.
Miskin
3.
Lingkungan pergaulan yang buruk
4.
Menganggur
5.
Minim pengetahuan agama
6.
“Negative Thinking”
C. AMAL
SALEH
Amal saleh
tidak terlepas dari definisi iman seperti yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Menurut Jalaludin Rahmat seringkali iman itu ditandai dengan bentuk amal
sosial daripada amal saleh yang bersifat ritual. Ibadah rityual sebenarnya
tidak banyak misalnya : shalat, puasa, zakat, haji, do’a dan aqiqah, yang
dimaksudkan untuk secara langsung menyembah Allah SWT, Ibadah mahdhah banyak
mengandung dimensi sosial, contohnya zakat dan aqidah, karena kedua ibadah
ritual ini tampak dari membagikan harta dan mengundang makan tetangga atau
kerabat.
Menurut Jalaludin Rakhmat, islam
menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar dari pada dimensi
ritual. Beberapa alsan yang beliau kemukakan adalah :
- Ketika Al-Qur’an membicarakan ciri-ciri orang
mukmin / orang takwa, maka disitu ditemukan bahwa ibadah ritualnya satu
saja tetapi ibadah sosialnya banyak.
- Bila mengerjakan ibadah ritual itu bersamaan
dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka di beri
pelajaran untuk mendahulukan yang berdimensi sosial.
- Bila ibadah ritual itu bercacat, kita di
anjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Contoh, bila
melanggar shaum kita dianjurkan membayar fidyah. Dan bila ada cacat dalam
ibadah yang berdimensi sosial maka ibadah ritual sama sekali tidak bisa di
jadikan tebusan ibadah sosial.Contoh, bila kita berbuat zalim kepada
manusia, maka kezaliman kita tidak bisa di tebus dengan misalkan shalat tahajud selama sekian
malam. Ada hadits yang mengatakan bahwa ibadah mahdhah bisa tidak berarti
bila ibadah sosialnya buruk.
No comments:
Post a Comment