BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang
merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan memperhatikan dinamika
yang terjadi, tentunya diharapkan dapat senantiasa mengikuti dan mengadopsi
hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin meningkatkan
perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya dengan tetap berpijak pada
nilai-nilai kepribadian bangsa.
Hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengadopsi adanya perkembangan pemikiran tentang cara yang
lebih tepat dan manusiawi dalam memperlakukan para pelaku kejahatan yang antara
lain dilakukan dengan upaya menyediakan alternatif pengganti pidana perampasan
kemerdekaan / pidana penjara. Berkaitan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan
:
“Masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa
ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah
adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang
dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang
dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Di pelbagai negara, termasuk
Indonesia, terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana
perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat
noninstitusional . . . . .”.
Oleh karena itu, kebutuhan
untuk mencari alternatif jenis pidana perampasan kemerdekaan dalam rangka
mengeliminir dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana perampasan kemerdekaan
tersebut sangatlah penting artinya. Dalam KUHP di Indonesia yang berlaku
sekarang, sebetulnya sudah ada sarana alternatif pidana penjara yang bersifat
non-custodial yaitu dengan adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14
a-f.
|
B.
Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membuat makalah dengan judul “HUKUM PIDANA DAN TEORI TUJUAN PEMIDANAAN”. Dari judul tersebut akan dikaji permasalahan utama yaitu :
1.
Apa pengertian hukum Pidana ?
2.
Teori apa saja yang mendasari tujuan pemidanaan ?
C.
Prosedur Pemecahan Masalah
Makalah ini mengungkap tentang hukum pidana dan teori yang mendasari tujuan
pemidanaan. Pembahasan dari rumusan masalah di atas dilakukan dengan menggunakan studi pustaka, dengan berdasarkan
pendapat-pendapat para ahli yang kompeten dalam bidangnya yaitu hukum pidana.
D.
Sistematika Uraian
Penulis membagi dalam beberapa bagian penulisan makalah ini dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Prosedur Pemecahan Masalah
D. Sistematika Uraian
BAB II. PEMBAHASAN
- Pidana dan Pemidanaan
- Perkembangan Teori-teori Tujuan Pemidanaan
BAB III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pidana dan
Pemidanaan
1. Pengertian “Pidana”
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi II Cetakan IX, dicantumkan pengertian “pidana” yaitu hukum
kejahatan (hukum untuk perkara kejahatan / kriminal ). Moelyatno membedakan
istilah “pidana” dan “hukuman”. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional,
yaitu “pidana”untuk kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk kata
“word gestraft”.
Hal di atas juga selaras
dengan yang dikemukakan oleh Sudarto, bahwa “penghukuman” berasal dari kata
“hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten). “Menetapkan
hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan
tetapi juga hukum perdata. Selanjutnya
juga dikemukakan oleh beliau, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan
artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan
“pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Menurut beliau
“penghukuman” dalam arti yang demikian mempunyai makna sama dengan “sentence”
atau “veroordeling”.
Akhirnya dikemukakan Barda
Nawawi Arief, bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti
perkataan “straf”, namun menurut beliau, istilah “pidana” lebih baik
daripada hukuman. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata “hukuman” sebagai istilah
tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana”
disamping “hukum perdata” seperti ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah
uang atau penyitaan barang.
|
Dalam hal ini terdapat
perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan
undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam
pengertian hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma
kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Walaupun demikian, kedua
istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatar belakang
pada tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan,
diperbolehkan dan dilarang, dan seterusnya.
Menurut Beysens, negara
atau pemerintah berhak memidana karena :
a. Sudah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan
dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Di
sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar berfungsi atau benar-benar memerintah.
Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia secara alamiah, maka pemerintah berhak
untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sanksi yang
bersifat pembalasan itu.
b. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan
kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang
dijatuhkan itu tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat obyektif
dengan cara memberikan kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar
hukum yang dilakukannya dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Dalam hal hakekat serta
apa yang menjadi tujuan pemidanaan itu, perlu dikemukakan lagi bahwa hukum
pidana merupakan hukum sanksi yang istimewa, atau menurut Sudarto merupakan
sistem sanksi yang negatif. Hukum pidana itu diterapkan jika sarana (upaya)
lain sudah tidak memadai, sehingga hukum pidana dikatakan juga mempunyai fungsi
atau sifat yang subsidiair.
Menurut Leo Polak, apakah
hakekat, makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut
diterima, merupakan poblema yang tidak terpecahkan. Terhadap pendapat Leo Polak
itu, Sudarto menegaskan bahwa sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya
merupakan sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel,
masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang
dirasakan tidak enak untuk dikenai. Oleh karena itu, orang tidak tidak pernah
ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan
pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu sendiri.
Mengenai hakekat pidana,
pada umumnya para penulis menyebutnya sebagai suatu penderitaan atau nestapa.
Bonger mengatakan bahwa pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena
orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat. Pendapat
ini sama dengan pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa pidana adalah
“reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara
pada pembuat delik itu”.
Hal senada juga
dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa pidana dipandang
sebagai suatu nestapa yang dikenakan karena melakukan
suatu delik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya
tujuan terdekat. Hal tersebut yang membedakan antara pidana dan tindakan karena
tindakan juga dapat berupa nestapa tetapi bukan merupakan suatu tujuan.
Menurut Muladi dan Barda
Nawawi Arief, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka
Packer memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam definisinya sebagai “punishment”.
Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan, Sudarto
mengemukakan sebagai berikut :
“Pidana adalah pembalasan
(pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk
perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.” Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana
itu ditujukan untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu
bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak
mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin
dipidana dan terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan.
Akan tetapi tidak semua
sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya merupakan suatu penderitaan
atau nestapa. Menurut Hulsman, hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib”
(tot de orde roepen). Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan
oleh G.P. Hoefnagels. Dalam Buku Muladi dan Barda Nawawi Arief dikatakan bahwa
Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan
(censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan
suatu penderitaan (suffering).
2. Sistem Pemidanaan di Indonesia
L.H.C. Hullsman pernah
mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the
statutory rules relating to penal sanction and punishment).
Menurut Barda Nawawi
Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses
pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa
sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua
aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal
dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan.
Selanjutnya dikemukakan
Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian di
atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the
statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam
KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa
aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Keseluruhan peraturan
perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif
tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special
rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus
terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di
luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun
dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.
Dalam hukum pidana di
Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan
pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat),
dan pelaksanaan pidana (strafmodus).
a. Jenis pidana (strafsoort)
Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10
KUHP yang terdiri dari :
1) Pidana pokok berupa :
- Pidana mati ;
- Pidana penjara ;
- Pidana kurungan ;
- Pidana denda ;
- Pidana tutupan.
2) Pidana tambahan berupa :
- Pencabutan beberapa hak tertentu ;
- Perampasan barang-barang tertentu ;
- Pengumuman putusan hakim.
Dengan demikian, sesuai
dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan
pidana tambahan.
b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)
Ada beberapa pidana pokok
yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama.
Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang
diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman
pidana.
Sedangkan mengenai lamanya
atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam
batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan
pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah
dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana
dengan sifat yang subyektif.
Hal tersebut senada dengan
pendapat Leo Polak yang mengemukakan bahwa salah satu syarat dalam pemberian
pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya
pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak
dipidana secara tidak adil.
c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)
KUHP yang berlaku di
Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan.
Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih
jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem
alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga
dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan,
sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.
Sehubungan dengan hal
tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai
kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini
disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum pidananya
saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut
dengan disparitas pidana.
B. Perkembangan Teori-Teori tentang Tujuan
Pemidanaan
Perkembangan teori-teori
tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan munculnya berbagai aliran-aliran
di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. Perihal
ide dari ditetapkannya tujuan pidana dan pemidanaan dapat dilihat dari berbagai
teori-teori pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai berikut:
1. Teori Absolut / Retributive (Retributism)
Menurut teori absolut,
pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu
kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan
sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Teori retributivisme mencari
pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya
pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan.
Menurut teori ini, hukuman
diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya.
Hukuman menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan. Andi
Hamzah mengemukakan, dalam teori absolut atau teori pembalasan, pidana tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu
sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara
mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan
manfaat dari penjatuhan pidana.
Dengan demikian, menurut
teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap
adanya suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk
diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Menurut Johanes
Andenaes, tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk
memuaskan tuntutan keadilan”, sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan
adalah merupakan tujuan yang kedua.
Tuntutan keadilan yang absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel
Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law”. Kant menyatakan sebagai
berikut :
“ . . . . pidana tidak pernah dilaksanakan
semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi
si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus
dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya
sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara
harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu
dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima
ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada
pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat
dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang
merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”
Adapun H.B. Vos membagi
teori absolut atau teori pembalasan ini menjadi pembalasan subyektif yaitu
pembalasan terhadap kesalahan pelaku kejahatan dan pembalasan obyektif yaitu
pembalasan terhadap akibat yang diciptakan oleh pelaku terhadap dunia luar. Selanjutnya
John Kaplan, membedakan teori retribution ini menjadi dua teori yang sebenarnya
tidak berbeda, tergantung dari cara berpikir pada waktu menjatuhkan pidana,
yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu
kepadanya” atau karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”. Kedua teori tersebut
adalah yaitu :
a) Teori pembalasan (the revenge theory);
b) Teori penebusan dosa (the expiation theory).
Dengan munculnya teori-teori pembalasan tersebut,
timbul pula keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan yang mensyaratkan
secara mutlak adanya pidana terhadap suatu kejahatan.
Andi Hamzah menyatakan
adanya dua keberatan terhadap adanya teori pembalasan tersebut, yaitu :
a) Teori
ini tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai alasan Negara harus
menjatuhkan pidana.
b) Penjatuhan
pidana seringkali dilakukan tanpa ada kegunaan yang praktis.
Dengan adanya
keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan tersebut, kemudian muncul teori
lain yang bertentangan dengan teori pembalasan. Teori yang bertentangan dengan
teori pembalasan tersebut dikenal dengan teori relatif.
2. Teori Relatif/ Teleologis (Teleological
Theory)
Menurut teori ini,
memidana bukanlah untuk memuaskan tuntuan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, J. Andenaes menganggap teori ini dapat disebut sebagai “teori
perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).
Dasar pembenaran dari
teori ini adalah adanya pidana terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan
karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est), melainkan supaya
orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur). Selanjutnya dikemukakan
juga oleh Muladi mengenai Nigel Walker yang berpendapat bahwa bahwa teori ini
lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point
of view), karena dasar pembenaran menurut teori ini adalah untuk mengurangi
frekwensi kejahatan.
Dengan demikian pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Oleh karena itu, teori relatif ini sering disebut juga teori tujuan
(utilitarian theory). Dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya pidana
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan
(quia peccatum est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur).
Berdasarkan tujuan pidana
yang dimaksudkan untuk pencegahan kejahatan ini, selanjutnya dibedakan dalam
prevensi khusus yang ditujukan terhadap terpidana dan prevensi umum yang
ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya. Van Hammel menunjukkan prevensi
khusus suatu pidana ialah sebagai
berikut :
a) Pidana
harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai
kesempatan, untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
b) Pidana
harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
c) Pidana
mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
d) Tujuan
satu-satunya suatu pidana ialah memmpertahankan tata cara tertib hukum.
3. Teori Retributive Teleologis (Teleological
Retributivist) / Teori Gabungan
Di samping pembagian secara tradisional terhadap teori-teori pemidanaan
seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif,
terdapat lagi teori ketiga yang merupakan gabungan. Menurut Andi Hamzah, teori
gabungan ini bervariasi juga. Ada yang menitikberatkan pembalasan dan ada pula
yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi.
Dalam hal teori gabungan yang menginginkan supaya unsur pembalasan
seimbang dengan unsur prevensi, maka Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori ini
tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak
boleh lebih besar daripada yang seharusnya.
Selanjutnya diketengahkan juga oleh beliau, bahwa teori ini sejajar dengan
teori Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar
hukum undang-undang pidana khususnya.
Menurut Muladi, terdapat beberapa penulis-penulis lain yang berpendirian
bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan yaitu pembalasan, prevensi
general serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Mereka adalah Binding,
Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling. Dengan demikian, pada umumnya
para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu pidana
terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun titik
berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari
masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan ini.
Di samping itu, menurut
aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural (umum), karena
menghubungkan prinsip-prinsip teleologis (prinsip-prinsip utilitarian)
dan prinsip-prinsip retributivist di dalam satu kesatuan sehingga seringkali
pandangan ini disebut sebagai aliran integrative. Pandangan ini
menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori
pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, misalnya pencegahan
dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai saran-saran yang harus
dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.
Berkaitan dengan masalah
tujuan atau maksud diadakannya pidana, John Kaplan mengemukakan adanya beberapa
ketentuan dasar-dasar pembenaran pidana, yaitu :
1. untuk menghindari balas dendam (avoidance of
blood feuds);
2. adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the
education effect);
3. mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the
peace-keeping function).
KESIMPULAN
Dari
keseluruhan uraian tentang tujuan pemidanaan dari masing-masing teori di atas,
pada hakekatnya hanya merupakan rincian dari tujuan utama berupa memberikan
perlindungan secara menyeluruh bagi masyarakat guna tercapainya tujuan akhir
yaitu kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di Indonesia sendiri dengan bertitik
tolak pada kepribadian bangsa/budaya bangsa, maka tujuan pemidanaan yang akan
menjadi acuan dalam penerapan jenis sanksi pidana, haruslah senantiasa
diorientasikan pada nilai-nilai yang tersirat dalam Pancasila yaitu berupa
pengakuan persamaan derajat, persaman hak dan kewajiban antara sesama manusia,
saling mencintai sesama manusia, tidak bersikap semena-mena terhadap orang
lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Negara itu
bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau
ketertiban negara. Di sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar
berfungsi atau benar-benar memerintah. Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia
secara alamiah, maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan
jalan menjatuhkan sanksi yang bersifat pembalasan itu.
13
DAFTAR PUSTAKA
|
13
|
Hamzah, Andi dan Siti
Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1983.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
1994.
Atmasasmita, Romli, Kapita
Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandarmaju, Bandung, 1993.
Moeljatno, Membangun
Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Muladi, Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru, Majalah BHN
No. 2, Jakarta, 1989.
Muladi dan Barda Nawawi
Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1998.
Nawawi Arief, Barda, Kebijakan
Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Ananta,
Semarang, 1993.
|
No comments:
Post a Comment