Beranda

Friday, July 6, 2018

MAKALAH HUKUM PIDANA DAN TEORI TUJUAN PEMIDANAAN


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan memperhatikan dinamika yang terjadi, tentunya diharapkan dapat senantiasa mengikuti dan mengadopsi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi adanya perkembangan pemikiran tentang cara yang lebih tepat dan manusiawi dalam memperlakukan para pelaku kejahatan yang antara lain dilakukan dengan upaya menyediakan alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan / pidana penjara. Berkaitan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan :
“Masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat noninstitusional . . . . .”.

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mencari alternatif jenis pidana perampasan kemerdekaan dalam rangka mengeliminir dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana perampasan kemerdekaan tersebut sangatlah penting artinya. Dalam KUHP di Indonesia yang berlaku sekarang, sebetulnya sudah ada sarana alternatif pidana penjara yang bersifat non-custodial yaitu dengan adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a-f.
1
 
Dalam ketentuan Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Oleh karena itu, pidana bersyarat sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang masih kurang memberikan perlindungan terhadap individu / pelaku tindak pidana.

B.     Rumusan Masalah

Dengan berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membuat makalah dengan judul “HUKUM PIDANA DAN TEORI TUJUAN PEMIDANAAN”. Dari judul tersebut akan dikaji permasalahan utama yaitu :

1.      Apa pengertian hukum Pidana ?
2.      Teori apa saja yang mendasari tujuan pemidanaan ?

C.    Prosedur Pemecahan Masalah
Makalah ini mengungkap tentang hukum pidana dan teori yang mendasari tujuan pemidanaan. Pembahasan dari rumusan masalah di atas dilakukan dengan  menggunakan studi pustaka, dengan berdasarkan pendapat-pendapat para ahli yang kompeten dalam bidangnya yaitu hukum pidana.
                                                      
D.    Sistematika Uraian
Penulis membagi dalam beberapa bagian penulisan makalah ini dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Prosedur Pemecahan Masalah
D. Sistematika Uraian

BAB II. PEMBAHASAN

  1. Pidana dan Pemidanaan
  2. Perkembangan Teori-teori Tujuan Pemidanaan
BAB III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB II 

PEMBAHASAN



A. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian “Pidana”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IX, dicantumkan pengertian “pidana” yaitu hukum kejahatan (hukum untuk perkara kejahatan / kriminal ). Moelyatno membedakan istilah “pidana” dan “hukuman”. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana”untuk kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk kata “word gestraft”.
Hal di atas juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Sudarto, bahwa “penghukuman” berasal dari kata “hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten). “Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.  Selanjutnya juga dikemukakan oleh beliau, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Menurut beliau “penghukuman” dalam arti yang demikian mempunyai makna sama dengan “sentence” atau “veroordeling”.
Akhirnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straf”, namun menurut beliau, istilah “pidana” lebih baik daripada hukuman. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana” disamping “hukum perdata” seperti ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang.
3
 
Dalam kesempatan yang lain, Sudarto berpendapat bahwa istilah dan makna pidana tidak dapat dipisahlepaskan dengan hukum pidana, karena pidana adalah bagian/komponen penting dari hukum pidana. Dalam sistem hukum di Indonesia, pidana dan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana harus lebih dahulu tercantum dalam undang undang pidana. Hal ini sesuai dengan asas yang disebut dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam pengertian hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatar belakang pada tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan seterusnya.
Menurut Beysens, negara atau pemerintah berhak memidana karena :
a. Sudah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Di sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar berfungsi atau benar-benar memerintah. Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia secara alamiah, maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sanksi yang bersifat pembalasan itu.
b. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan itu tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat obyektif dengan cara memberikan kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Dalam hal hakekat serta apa yang menjadi tujuan pemidanaan itu, perlu dikemukakan lagi bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi yang istimewa, atau menurut Sudarto merupakan sistem sanksi yang negatif. Hukum pidana itu diterapkan jika sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, sehingga hukum pidana dikatakan juga mempunyai fungsi atau sifat yang subsidiair.
Menurut Leo Polak, apakah hakekat, makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima, merupakan poblema yang tidak terpecahkan. Terhadap pendapat Leo Polak itu, Sudarto menegaskan bahwa sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya merupakan sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel, masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak untuk dikenai. Oleh karena itu, orang tidak tidak pernah ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu sendiri.
Mengenai hakekat pidana, pada umumnya para penulis menyebutnya sebagai suatu penderitaan atau nestapa. Bonger mengatakan bahwa pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat. Pendapat ini sama dengan pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa pidana adalah “reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu”.
Hal senada juga dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa pidana dipandang
sebagai suatu nestapa yang dikenakan karena melakukan suatu delik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya tujuan terdekat. Hal tersebut yang membedakan antara pidana dan tindakan karena tindakan juga dapat berupa nestapa tetapi bukan merupakan suatu tujuan.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka Packer memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam definisinya sebagai “punishment”. Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan, Sudarto mengemukakan sebagai berikut :
“Pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.”  Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana itu ditujukan untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana dan terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan.
Akan tetapi tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya merupakan suatu penderitaan atau nestapa. Menurut Hulsman, hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde roepen). Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh G.P. Hoefnagels. Dalam Buku Muladi dan Barda Nawawi Arief dikatakan bahwa Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering).
2. Sistem Pemidanaan di Indonesia
L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).
Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian di
atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya  memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.
Dalam hukum pidana di Indonesia, sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).
a. Jenis pidana (strafsoort)
Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari :
1) Pidana pokok berupa :
- Pidana mati ;
- Pidana penjara ;
- Pidana kurungan ;
- Pidana denda ;
- Pidana tutupan.
2) Pidana tambahan berupa :
- Pencabutan beberapa hak tertentu ;
- Perampasan barang-barang tertentu ;
- Pengumuman putusan hakim.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.
b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)
Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana.
Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.
Hal tersebut senada dengan pendapat Leo Polak yang mengemukakan bahwa salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.


c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)
KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum pidananya saja. Sebagai konsekuensi dari masalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.

B. Perkembangan Teori-Teori tentang Tujuan Pemidanaan
Perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan munculnya berbagai aliran-aliran di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. Perihal ide dari ditetapkannya tujuan pidana dan pemidanaan dapat dilihat dari berbagai teori-teori pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai berikut:
1. Teori Absolut / Retributive (Retributism)
Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Teori retributivisme mencari pendasaran hukuman dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan.
Menurut teori ini, hukuman diberikan karena si pelaku harus menerima hukuman itu demi kesalahannya. Hukuman menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan. Andi Hamzah mengemukakan, dalam teori absolut atau teori pembalasan, pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan manfaat dari penjatuhan pidana.
Dengan demikian, menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Pidana adalah hal yang tidak mengenal kompromi untuk diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Menurut Johanes Andenaes, tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”, sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah merupakan tujuan yang kedua.
Tuntutan keadilan yang absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law”. Kant menyatakan sebagai berikut :
“ . . . . pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”

Adapun H.B. Vos membagi teori absolut atau teori pembalasan ini menjadi pembalasan subyektif yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku kejahatan dan pembalasan obyektif yaitu pembalasan terhadap akibat yang diciptakan oleh pelaku terhadap dunia luar. Selanjutnya John Kaplan, membedakan teori retribution ini menjadi dua teori yang sebenarnya tidak berbeda, tergantung dari cara berpikir pada waktu menjatuhkan pidana, yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” atau karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”. Kedua teori tersebut adalah yaitu :
a) Teori pembalasan (the revenge theory);
b) Teori penebusan dosa (the expiation theory).
Dengan munculnya teori-teori pembalasan tersebut, timbul pula keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan yang mensyaratkan secara mutlak adanya pidana terhadap suatu kejahatan.
Andi Hamzah menyatakan adanya dua keberatan terhadap adanya teori pembalasan tersebut, yaitu :
a)      Teori ini tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai alasan Negara harus menjatuhkan pidana.
b)      Penjatuhan pidana seringkali dilakukan tanpa ada kegunaan yang praktis.
Dengan adanya keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan tersebut, kemudian muncul teori lain yang bertentangan dengan teori pembalasan. Teori yang bertentangan dengan teori pembalasan tersebut dikenal dengan teori relatif.

2. Teori Relatif/ Teleologis (Teleological Theory)
Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntuan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andenaes menganggap teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).
Dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya pidana terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur). Selanjutnya dikemukakan juga oleh Muladi mengenai Nigel Walker yang berpendapat bahwa bahwa teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point of view), karena dasar pembenaran menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan.
Dengan demikian pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori relatif ini sering disebut juga teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran dari teori ini adalah adanya pidana terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est), melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (nepeccatur).
Berdasarkan tujuan pidana yang dimaksudkan untuk pencegahan kejahatan ini, selanjutnya dibedakan dalam prevensi khusus yang ditujukan terhadap terpidana dan prevensi umum yang ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya. Van Hammel menunjukkan prevensi khusus suatu pidana ialah sebagai
berikut :
a)      Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan, untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
b)      Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
c)      Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
d)     Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah memmpertahankan tata cara tertib hukum.
3. Teori Retributive Teleologis (Teleological Retributivist) / Teori Gabungan
Di samping pembagian secara tradisional terhadap teori-teori pemidanaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif, terdapat lagi teori ketiga yang merupakan gabungan. Menurut Andi Hamzah, teori gabungan ini bervariasi juga. Ada yang menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi.
Dalam hal teori gabungan yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi, maka Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang  seharusnya. Selanjutnya diketengahkan juga oleh beliau, bahwa teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya.
Menurut Muladi, terdapat beberapa penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana mengandung berbagai kombinasi tujuan yaitu pembalasan, prevensi general serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Mereka adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling. Dengan demikian, pada umumnya para penganut teori gabungan mempunyai paham bahwa dalam suatu pidana terkandung unsur pembalasan dan unsur perlindungan masyarakat. Adapun titik berat maupun keseimbangan di antara kedua unsur tersebut tergantung dari masing-masing sudut pandang penganut teori gabungan ini.
Di samping itu, menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural (umum), karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis (prinsip-prinsip utilitarian) dan prinsip-prinsip retributivist di dalam satu kesatuan sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integrative. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang kesemuanya dilihat sebagai saran-saran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.
Berkaitan dengan masalah tujuan atau maksud diadakannya pidana, John Kaplan mengemukakan adanya beberapa ketentuan dasar-dasar pembenaran pidana, yaitu :
1. untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds);
2. adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the education effect);
3. mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace-keeping function).


BAB III
KESIMPULAN
 



Dari keseluruhan uraian tentang tujuan pemidanaan dari masing-masing teori di atas, pada hakekatnya hanya merupakan rincian dari tujuan utama berupa memberikan perlindungan secara menyeluruh bagi masyarakat guna tercapainya tujuan akhir yaitu kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di Indonesia sendiri dengan bertitik tolak pada kepribadian bangsa/budaya bangsa, maka tujuan pemidanaan yang akan menjadi acuan dalam penerapan jenis sanksi pidana, haruslah senantiasa diorientasikan pada nilai-nilai yang tersirat dalam Pancasila yaitu berupa pengakuan persamaan derajat, persaman hak dan kewajiban antara sesama manusia, saling mencintai sesama manusia, tidak bersikap semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Di sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar berfungsi atau benar-benar memerintah. Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia secara alamiah, maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sanksi yang bersifat pembalasan itu.




13
 

DAFTAR PUSTAKA

 



Hamzah, Andi dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandarmaju, Bandung, 1993.

Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Muladi, Jenis-Jenis Pidana Pokok dalam KUHP Baru, Majalah BHN No. 2, Jakarta, 1989.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1998.

Nawawi Arief, Barda, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Ananta, Semarang, 1993.

   






14
 
 

No comments:

Post a Comment

About