Adapun Adab dalam berdikusi adalah :
1.
Tidak mendahului fardhu ain (yang harus
dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya
dalam standar syar’i.
2.
Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy
(faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya
mendiskusikan sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.
3.
Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di
hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah
(cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran.
4.
Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh
membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain.
5.
Tidak menghalangi pihak lain menggunakan satu dalil ke
dalil lain, atau dari satu problem ke problem lain.
6.
Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang
dianggap akan dapat diambil ilmunya.
Berikut
ungkapan imam madzhab berkenaan dengan pendapatnya dalam (A.Zakaria,
1988:38-42) sebagai berikut :
1.
Imam Abu Hanifah –rahimahullah
·
Apabila hadist itu sahih maka itulah madzhabku
·
Tidak halal bagi seseorang yang mengambil pendapat
kami selama dia tidak tahu darimana kamu mengambilnya. Dalam suatu riwayat:
Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memfatwakan ucapanku. Ia
menambahkan dalam suatu riwayat: Sesunguhnya kami ini adalah manusia biasa.
Hari ini mengucapkan sesuatu dan kemungkinan besok mencabutnya kembali.
·
Apabila aku mengucapkan sesuatu yang menyalahi Kitab
Allah dan Khabar Rasulullah saw, maka tinggalkanlah ucapanku itu.
2.
Imam Malik bin Anas –rahimahullah
·
Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa. Kadang salah
dan kadang benar. Karenanya, perhatikanlah pendapatku yang cocok dengan Alquran
dan Sunnah. Ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah,
maka tinggalkanlah.
·
Tidak seorang pun—kecuali Nabi—boleh diambil dan boleh
ditinggalkan.
3.
Imam Syafi’i—rahimahullah
·
Telah sepakat umat Islam manakala telah jelas sunnah
Rasulullah. Maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya hanya karena ucapan
seseorang.
·
Jika kamu mendapatkan dalam kitabku sesuatu yang
menyalahi sunnah Rasulullah, maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah dan
tinggalkanlah apa yang aku katakan. Dalam suatu riwayat: Ikutilah sunnah
Rasulullah saw, dan janganlah menoleh kepada ucapan seseorang
·
Apabila hadist itu sahih maka itulah madzhabku.
·
Sebuah masalah yang telah nyata shahihnya sebuah
hadist dari Rasulullah—menurut ahli hadist—akan tetapi menyalahi apa yang kau
katakan, maka aku kan kembali, baik di masa hidupku maupun di masa setelah aku
mati.
·
Apabila kamu melihat aku mengucapkan sesuatu padahal
telah jelas ada hadist shahih dari Nabi saw, yang menyalahi ucapanku, maka ketahuilah
sesungguhnya akalku telah hilang.
·
Setiap hadist dari Nabi saw adalah pendapatku,
meskipun kamu tidak mendengarnya dariku.
4.
Imam Ahmad bin Hambal—rahimahullah
·
Janganlah kau taklid kepadaku dan jangan pula taklid
kepada Malik, Syafi’i, Auza’i serta Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka
mengambilnya
·
Janganlah kamu taklid kepada seseorang dalam agamamu,
apa-apa yang datang dari Nabi saw., dan sahabatnya, maka ambillah. Kemudian
para tabi’in dan setelahnya seseorang boleh memilihnya, Di lain kesempatan, ia
berkata:Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang diriwayatkan dari
Nabi dan para sahabatnya, kemudian setelah tabiin boleh memilihnya.
No comments:
Post a Comment