Masa Mencoreng
(scribbling) : 2-4 tahun
Goresan-goresan yang
dibuat anak usia 2-3 tahun belum
menggambarkan suatu bentuk objek. Pada
awalnya, coretan hanya mengikuti perkembangan
gerak motorik. Biasanya, tahap pertama hanya
mampu menghasilkan goresan terbatas, dengan arah vertikal
atau horizontal. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan
motorik anak yang masih mengunakan motorik
kasar. Kemudian, pada perekembangan berikutnya
penggambaran garis mulai beragam dengan
arah yang bervariasi pula. Selain itu mereka juga sudah mampu mambuat
garis melingkar.
Periode ini terbagi ke
dalam tiga tahap, yaitu:
1) corengan tak beraturan,
2) corengan terkendali, dan
3) corengan bernama.
Ciri gambar yang dihasilkan
anak pada tahap corengan tak beraturan adalah bentuk
gembar yang sembarang, mencoreng tanpa
melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan berupa
lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.
Corengan terkendali
ditandai dengan kemampuan anak menemukan
kendali visualnya terhadap coretan yang
dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah
adanya kerjasama antara koordiani antara
perkembangan visual dengan perkembamngan motorik.
Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan
coretan garis baik yang horizontal , vertical, lengkung
, bahkan lingkaran.
Corengan bernama
merupakan tahap akhir masa coreng moreng.
Biasanya terjadi menjelang usia 3-4 tahun,
sejalan dengan perkembangan bahasanya anak
mulai mengontrol goresannya bahkan telah
memberinya nama, misalnya: “rumah”, “mobil”,
“kuda”. Hal ini dapat digunakan oleh
orang tua atau guru pada jenjang pendidikan
usia dini (TK) dalam membangkitkan
keberanianan anak untuk mengemukakan kata-kata
tertentu atau pendapat tertentu berdasarkan
hal yang digambarkannya.
Masa Prabagan
(preschematic) : 4-7 tahun
Kecenderungan umum
pada tahap ini, objek yang
digambarkan anak biasanya berupa gambar
kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan
kepala kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua
kaki. Ciri-ciri yang menarik lainnya pada tahap
ini yaitu telah menggunakan bentuk-bentuk dasar
geometris untuk memberi kesan objek dari
dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih
berkembang. Aspek warna belum ada hubungan
tertentu dengan objek, orang bisa saja
berwarna biru, merah, coklat atau warna
lain yang disenanginya.
Penempatan dan
ukuran objek bersifat subjektif, didasarkan
kepada kepentingannya. Ini dinamakan dengan “perspektif
batin”. Penempatan objek dan penguasan ruang belum dikuasai anak pada usia ini.
Masa Bagan (schematic
period) : 7-9 tahun
Konsep bentuk mulai tampak lebih
jelas. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar
masih tetap berkesan datar dan berputar
atau rebah (tampak pada penggambaran pohon di kiri kanan jalan
yang dibuat tegak lurus dengan badan jalan, bagian kiri rebah
ke kiri, bagian kanan rebah ke
kanan). Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan
dibuatnya garis pijak (base line).
Penafsiran ruang
bersifat subjektif, tampak pada gambar
“tembus pandang” (contoh: digambarkan orang makan
di ruangan, seakan-akan dinding terbuat dari
kaca). Gejala ini disebut dengan
idioplastis (gambar terawang, tembus pandang).
Misalnya gambar sebuah rumahyang seolah-olah
terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam
rumah kelihatan dengan jelas.
Masa Realisme Awal (Dawning
Realism) : 9-12 tahun
Pada periode
Realisme Awal, karya anak lebih menyerupai
kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul, namun berdasarkan penglihatan
sendiri. Mereka menyatukan objek dalam lingkungan.
Perhatian kepada objek sudah mulai rinci.
Namun demikian, dalam menggambarkan objek,
proporsi (perbandingan ukuran) belum dikuasai sepenuhnya. Pemahaman
warna sudah mulai disadari. Penguasan konsep ruang
mulai dikenalnya sehingga letak objek tidak lagi
bertumpu pada garis dasar, melainkan pada
bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis
horizon. Selain dikenalnya warna dan ruang,
penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai
dikenal pada periode ini.
Ada perbedaan
kesenangan umum, misalnya: anak laki-laki
lebih senang kepada menggambarkan kendaraan, anak perempuan kepada boneka
atau bunga.
Masa Naturalisme Semu (Pseudo
Naturalistic) : 12 - 14 tahun. Masa pra puber. Gambar yang dibuat sesuai
dengan obyek yang dilihatnya, sehingga timbul minat terhadap naturalisme,
terutama pada anak yang bertipe visual. Anak menjadi kritis terhadap karyanya
sendiri. Ia mulai memperhitungkan kualitas tiga dimensi (perspektif).
Mereka mampu menyerap apa yang
mereka lihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti dari
buku-buku komik, kalender, bahkan dari media visual lainnya (televisi, majalah,
Koran dan lain-lain). Oleh
karenanya, alangkah lebih baiknya apabila sebagai orang tua kita mau mengambil
langkah pertama, membuat suatu perubahan dalam membebaskan kreatifitas anak
“Membebaskan” anak menggambar sama dengan membebaskan anak dalam menuangkan
imajinasi dan mengungkapkan dirinya melalui gambar. Melalui menggambar, secara
tanpa disadari anak dapat belajar memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan
menggambar anak dapat bermain dan berekspresi dengan sepuas-puasnya. Jadi,
tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti
di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai mahluk yang lemah, serba tidak tahu.
Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkannya secara alami.
Masa Penentuan (Period of
Decision) : 14-17 tahun.
Pada periode
ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri.
Perbedaan tipe individual makin tampak. Anak
yang berbakat cenderung akan melanjutkan
kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang
merasa tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan
seni rupa, apalagi tanpa bimbingan. Dalam
hal ini peranan guru banyak menentukan, terutama dalam
meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni
akan berlangsung terus dalam kehidupan.
Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan semua
orang dan siapa pun tak akan terhindar dari sentuhan seni dalam kehidupannya
sehari-hari.
Gambar anak memiliki keunikan
dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini terjadi karena
anak-anak masih memiliki keaslian dalam
tata ungkapan emosinya dalam bentuk gambar atau karya. Secara
khusus, berikut ini disarikan berdasarkan pendapat Soesatyo
(1994: 32 –33) bahwa sifat lukisan
(gambar) anak-anak sebagai berikut:
1. Ideographisme.
Lukisan anak
merupakan ekspresi berdasar pengertian dan
logika anak, contoh: anak melukis muka manusia dari samping, meskipun
dalam kenyataan penglihatan, matanya nampak sebuah saja, tetapi berdasarkan
pengertian anak bahwa manusia itu bermata dua, maka dilukislah kedua mata itu
disamping.
2. Steorotif atau otomatisme.
Ciri gambar
anak yang kedua adalah ditemukannya gejala
umum penggambaran bentuk benda secara
berulang-ulang dengan ukuran yang monoton. Gejala ini
dinamakan stereotipe. Misalnya figure manusia yang diulang dalam
bentuk yang sama meski warnanya berbeda- beda.
Atau bunga-bunga yang sama diulang-ulang. Bahkan sampai pada tema yang terus
diulang-ulang.
3. Gejala finalitas
Sungguh unik bila kita cermati
dan amati gambar anak, anak menggambarkan peristiwa yang mengandung
unsur ruang dan waktu. Biasanya anak melukiskan manusia
atau mahluk lainnya dalam gerak. Penggambaran suatu peristiwa yang sedang
terjadi divisualisasikan dengan membuat objek gambar yang diulang-ulang.
Namun tidak semua bagian atau anggota
badan dilukis, hanya yang perlu-perlu saja atau yang
dirasakan penting dalam tema lukisan. Misalnya ibu yang sedang
menyapu, dilukis hanya satu tangan saja
yang memegang sapu itu, sedang tangan yang
satu yang tidak berperan tidak dilukis. Atau
tangan yang lebih berperan dilukis lebih besar dan lebih mendapat tekanan.
4. Perebahan atau
lipatan
Sifat ini
merupakan peristiwa yang lucu namun logis
buat anak-anak. Disebut juga sifat tegak lurus atau sifat rabatemen.
Benda apa saja yang berdiri tegak pada suatu garis dasar akan dilukis tegak lurus
pada garis dasar tersebut meskipun garis dasar
itu berbelok atau miring arahnya. Akibatnya semua benda
tampak rebah atau malah terjungkir.
5. Transparan
Kebiasaan dan
kecenderuangan anak menggambarkan hal-hal atau
peristiwa pada ciri ke tiga ini adalah
penggambaran yang tembus pandang. Sebagai contoh
bila anak melihat kucing makan ikan,
kemudian kita suruh anak itu untuk menggambarkan kucing,
maka anak biasanya akan menggambar kucing dengan perut yang kelihatan ada
ikannya. Pada usia tertentu kita dapat
menjumpai lukisan anak dengan sifat tembus
pandang. Anak cenderung melukiskan semua yang ia pikirkan dn ia mengerti
meskipun ada beberapa benda objek yang berada di dalam ruang atau tempat
tertutup. Akibatnya adalah peristiwa tembus pandang
atau sinar X (x–ray). Contoh: ibu dan bapak
duduk di dalam rumah dan tertutup dinding,
namun dilukis lengkap dengan benda dan
perabot lain. Kucing makan tikus. Tikus yang di dalam perut kucing
dilukis juga. Sabagai bahan perbandingan lihat Gambar
3.5.
Satu nilai yang dapat kita tiru
dari anak-anak dengan karakterisrik gambar ini adalah kejujuran dan
kepolosan jiwa anak. Tentunya hal ini berbeda dengan orang dewasa
yang penuh dengan kepura-puraan.
6. Juxtaposisi.
Sifat Pemecahan masalah ruang
(kedalaman jauh dekat) dalam bidang datar, diatasi dengan
dasar pemikiran praktis. Anak melukis benda atau objek yang jauh di
bagian atas kertas sedang yang dekat dibagian bawah. Bertebar namun artistic,
mirip lukisan Bali.
7. Simetris (setangkep)
Dalam melukis suatu objek sering timbul gejala atau hasrat untuk melukis
hal-hal yang asimetris menjadi asimetris. Misalnya dua pohon besar di kiri dan
di kanan, dua buah gunung kembar dengan matahari di tengah, setangkai bunga
dengan daun kiri dan di kanan, dan sebagainya.
8. Proporsi (perbandingan ukuran)
Anak- anak lebih
mementingkan proporsi nilai dari pada fisik.
Hal-hal yang dianggap lebih penting dibuat lebih besar atau lebih jelas.
9. Lukisan bersifat cerita
(naratif)
Lukisan/gambar yang dibuat anak
merupakan ungkapan perasaan atau gejolak jiwa. Jadi lukisan adalah cerita anak,
bukan sekedar mencoret sebagai aktivitas motorik atau gerak anatomis saja. Maka
perlu ditanggapi secara wajar dan dalam sikap menerima serta
mengahargai.
No comments:
Post a Comment