Menurut PSAK nomor 19 aktiva tidak berwujud adalah aktiva non-moneter
yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk
digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan
kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan kriteria. Namun, jika riter tersebut
diperoleh dalam suatu penggabungan usaha yang bentuknya akuisisi, maka riter
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari muhibah (goodwill) yang diakui pada
tanggal akuisisi. Dalam definisi aktiva tidak berwujud terdapat criteria bahwa
keteridentifikasian aktiva tidak berwujud harus dapat dibedakan secara jelas
dengan muhibah (goodwill).
Goodwill sendiri menurut AASB didefinisikan sebagai termasuk keuntungan
di masa mendatang (future benefit) yang diperoleh dari asets yang unidentifiable akan diakui sebagai aset
dalam laporan keuangan hanya jika hal tersebut diperoleh berasal dari suatu
bisnis akuisisi. Dalam penggabungan usaha melalui akuisisi, selisih lebih
antara biaya perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar
aktiva dan kewajiban yang dapat diidentifikasi (identifiable assets and liabilities) diakui sebagai goodwill.
Goodwill merupakan cerminan atas lebih tingginya kekuatan potensi laba
perusahaan yang diakuisisi daripada nilai wajarnya. Dalam prakteknya, goodwill
merupakan cerminan pembayaran premium untuk mendapatkan perusahaan yang
diakuisisi (Anindhita, 2005).
FASB mendefinisikan aset tidak berwujud sebagai aset lancar atau aset
tidak lancar (tidak termasuk instrument keuangan) yang tidak memiliki wujud
atau substansi fisik menurut FASB:
Aset tidak berwujud harus diakui sebagai aset yang
terpisah dari goodwill jika aset itu berasal dari hak kontraktual atau hak
hukum lainnnya (tanpa memperhatikan hak-hak tersebut dapat ditransfer atau
dapat dipisahkan dari entitas yang diakuisisi atau dari hak kontraktual atau
hak hukum lainnya, maka harus diakui sebagai aset yang terpisah dari goodwill
hanya jika dapat dipisahkan, yaitu aset tersebut dapat dipisahkan atau dibagi
dari entitas yang diakuisisi dan dijual, ditransfer, disewakan, atau ditukar
(tanpa memandang apakah ada maksud untuk melakukannya) (Beams, dkk. 2006:11).
Menurut PSAK No. 19, aset tidak berwujud adalah aset non moneter yang
dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk
digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan
kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Jadi, terdapat tiga kriteria
yang harus terpenuhi untuk mengakui suatu pengeluaran sebagai aset tak
berwujud, yaitu: keterindentifikasian, pengendalian atas sumber daya, dan
adanya manfaat ekonomis di masa depan. Contoh sumber daya tidak berwujud adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses
baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan merek
dagang (termasuk merek produk dan judul publisitas).
Ciri khas aset tak berwujud yang paling utama adalah tingkat ketidakpastian
mengenai nilai dan manfaatnya di kemudian hari. Namun tidak semua jenis aset
tidak berwujud diakui dan disajikan dalam laporan keuangan (neraca). Aset tidak
berwujud yang disajikan dalam neraca antara lain berbentuk hak paten, hak
cipta, franchise, merk dagang dan goodwill. Secara tradisional, satu-satunya intellectual capital yang diakui dalam
neraca adalah intellectual property,
seperti paten, trademark, dan goodwill.
Beberapa jenis intangible asset
atau intellectual capital lainnya
tidak disajikan dalam laporan keuangan karena sulit untuk diukur atau
dikuantifikasikan ke dalam nilai moneter. IC yang tidak dapat disajikan ke
dalam neraca ini selain karena tidak dapat dikuantifikasikan secara tepat ke
dalam nilai moneter, juga karena tidak memenuhi salah satu kriteria dari intangible asset yaitu dapat
dikendalikan oleh perusahaan, seperti misalnya human capital tidak dapat
dikendalikan atau dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan.
Stewart (1997) dan Luthi (1998) dalam Choong (2008) mengkalkulasikan intellectual capital sebagai excess ROA yang terdiri dari human, customer, dan structural intangible asset. Secara umum
jika diambil suatu benang merah dari berbagai definisi intellectual capital yang ada, maka intellectual capital dapat didefinisikan sebagai jumlah dari apa
yang dihasilkan oleh tiga elemen utama organisasi (human capital, structural capital, costumer capital) yang
berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan nilai lebih
bagi perusahaan berupa keunggulan bersaing organisasi.
Aset tidak berwujud merupakan klaim keuntungan di masa depan yang tidak
memiliki wujud fisik, contohnya adalah paten dan merek, yang akan berdampak
pada penciptaan nilai perusahaan (Lev, 2001). Definisi tersebut didukung oleh
Miller dan Whiting (2005) yang menyatakan bahwa aset tidak berwujud merupakan
sumber daya penting dan memiliki manfaat di masa depan bagi perusahaan.
Namun, istilah aset tidak berwujud dalam penelitian ini mengacu pada
perbedaan (gap) antara nilai pasar perusahaan dan nilai bukunya (Lev, 2001).
Aset tidak berwujud didefinisikan sebagai unexplained
value atau hiddden reserve yang
merupakan perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku dari ekuitas perusahaan.
Terdapat empat pendekatan untuk mengukur nilai aset tidak berwujud
sebagai unexplained value, yaitu:
1) Direct Intellectual Capital Method
(DIC), yaitu memperkirakan nilai aset tidak berwujud dengan mengidentifikasi
komponen-komponennya.
2) Market Capitalization Method (MCM), yait
menghitung nilai aset tidak berwujud dengan mengurangi ekuitas pemegang saham
dan nilai kapitalisasi pasar.
3) Return on Asset Method (ROA)
4) Balance Scorecard Method (BSC)
Dalam PSAK 19 bahwa dalam mengakui suatu pos sebagai aset tidak berwujud, perusahaan perlu
menunjukkan bahwa pos tersebut memenuhi:
1) Definisi aset tidak berwujud
2) Kriteria pengakuan sebagaimana diatur
dalam pernyataan ini
Aset tidak
berwujud diakui jika dan hanya jika:
1) kemungkinan besar perusahaan akan
memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut, dan
2) biaya perolehan aset tersebut dapat
diukur secara andal.
Dalam menilai kemungkinan adanya manfaat ekonomis masa depan, perusahaan
harus menggunakan asumsi yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan, yang
merupakan estimasi terbaik manajemen atas kondisi ekonomi yang berlaku
sepanjang masa manfaat aset tersebut.
Biaya perolehan suatu aset tidak berwujud terdiri dari harga beli,
termasuk bea masuk (impor), pajak yang sifatnya tidak dapat direstitusi (non-refundable) dan semua pengeluaran
yang dapat dikaitkan langsung dalam mempersiapkan aset tersebut sehingga siap
digunakan sesuai dengan tujuannya. Pengeluaran yang dapat dikaitkan langsung
misalnya imbalan profesional konsultan hukum. Apabila ada diskonto atau rabat,
maka diskonto atau rabat itu mengurangi biaya perolehan aset.
Berkaitan dengan aset tidak berwujud, terdapat
pro dan kontra mengenai perlunya pengukuran nilai yang akurat atas aset tidak
berwujud yang dimiliki perusahaan. Pengukuran kinerja pemanfaatan aset, baik
yang bersifat tangible maupun yang
bersifat intangible perlu dilakukan
oleh perusahaan sebagai cara untuk mengevaluasi dan meningkatkan kinerja
perusahaan. Akan tetapi, terdapat kesulitan yang muncul dalam mengukur kinerja
pemanfaatan aset tidak berwujud yaitu nilainya yang terkadang sulit diukur.
No comments:
Post a Comment