Standar kompetensi : Menerapkan nilai dan norma dalam
proses pengembangan
kepribadian.
Kompetensi dasar :
Mendeskripsikan terjadinya perilaku menyimpang dan sikap -
sikap anti sosial
Tujuan pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan belajar ini diharapkan siswa mampu :
-
Menjelaskan pengertian perilaku menyimpang
-
Menjelaskan ciri-ciri perilaku menyimpang
-
Menjelaskan teori-teori perilaku menyimpang
-
Membedakan jenis-jenis perilaku menyimpang
-
Mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku menyimpang
-
Menjelaskan pengertian pengendalian sosial
-
Menjelaskan fungsi pengendalian sosial
A.
PENYIMPANGAN SOSIAL
1. Pengertian Perilaku Menyimpang dan
Antisosial
Perilaku menyimpang dapat didefinisikan sebagai
suatu perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau beberapa orang anggota
masyarakat yang secara disadari atau tidak disadari, tidak menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku dan telah diterima oleh sebagian besar anggota
masyarakat. Dengan kata lain, semua bentuk perilaku warga masyarakat yang tidak
sesuai dengan norma dinamakan perilaku menyimpang. Pendapat dari beberapa tokoh
mengenai perilaku menyimpang :
a.
Robert M.Z. Lawang (dalam Pengantar
Sosiologi, 1980) berpendapat bahwa penyimpangan adalah tindakan yang menyimpang
dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari pihak berwenang untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang atau abnormal
tersebut.
b.
James Vander Zanden (dalam Pengantar
Sosiologi edisi kedua, Kamanto Sunarto, 1993) berpendapat bahwa penyimpangan
merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang
tercela dan diluar batas toleransi.
c. Kartini Kartono (dalam Patologi Sosial Jilid I,
2005) berpendapat bahwa penyimpangan merupakan tingkah laku yang menyimpang
dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat
kebanyakan.
d. Bruce J. Cohen berpendapat bahwa menyimpang adalah setiap
perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau
kelompok tertentu dalam masyarakat.
e. Paul B. Horton berpendapat bahwa menyimpang adalah setiap
perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau
masyarakat.
2. Teori-Teori Penyimpangan Sosial
Beberapa teori tentang penyimpangan (dalam
Pengantar Sosiologi, Kamanto Soenarto, 1993) adalah sebagai berikut :
a. Teori Differential Association
Teori ini diciptakan oleh
Edwin H. Sutherland yang berpendapat bahwa penyimpangan bersumber pada
pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya.
Contohnya, proses menghisap ganja dan perilaku homoseksual.
b. Teori Labelling
Teori ini dipelopori oleh
Edwin M. Lemerd yang berpendapat bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan
pada tahap primer (pertama) lalu oleh masyarakat sudah diberikan cap sebagai
penyimpang, maka orang tersebut
terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder dengan alasan “Kepalang
tanggung”. Contohnya seorang yang pernah sekali mencuri dengan alasan
kebutuhan, tetapi kemudian oleh masyarakat dijuluki pencuri, maka ia akan
terdorong menjadi penjahat bahkan dapat menjadi perampok.
c. Teori Merton
Teori ini dikemukakan
oleh Robert K. Merton yaitu perilaku penyimpangan merupakan bentuk dari
adaptasi terhadap situasi tertentu. Merton mengidentifikasi lima cara adaptasi,
yaitu sebagai berikut:
1)
Komformitasi, yaitu perilaku mengikuti
tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut atu
cara konvensional dan melembaga.
2)
Inovasi, yaitu perilaku mengikuti
tujuan yang ditentukan oleh masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang oleh
masyarakat.
3)
Ritualisme, yaitu perilaku yang telah
meninggalkan tujuan budaya, tetapi masih tetap berpegang pada cara-cara yang
telah digariskan oleh masyarakat. Ritual (upacara) masih diselenggarakan,
tetapi maknanya telah hilang.
4)
Retretism, yaitu perilaku yang
meninggalkan, baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya. Contohnya,
pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan dan orang gagal lainnya.
5)
Rebellian, yaitu penarikan diri
dari tujuan dan cara – cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk
melembagakan tujuan dan cara baru. Contohnya para reformator agama.
d. Teori Fungsi
Teori ini dikemukakan
oleh Emile Durkheim bahwa kesadaran moral dari semua masyarakat adalah karena
faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Jadi,
kejahatan akan selalu ada karena orang selalu ada yang berwatak jahat.
3.
Bentuk-Bentuk Perilaku
Menyimpang
a.
Penyimpangan Primer
Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang bersifat temporer atau
sementara dan hanya menguasai sebagian kecil kehidupan seseorang.
Ciri-ciri penyimpangan
primer antara lain :
1)
Bersifat sementara
2)
Gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang,
dan
3)
Masyarakat masih mentolerir/menerima.
Contoh penyimpangan primer, misalnya pegawai yang membolos kerja, banyak
minum alkohol pada waktu pesta, siswa yang membolos atau menyontek saat ujian,
memalsukan pembukuan, mengurangi besarnya pajak pendapatan dan pelanggaran
peraturan lalu lintas.
b.
Penyimpangan Sekunder
Penyimpangan sekunder
adalah perbuatan yang dilakukan secara khas dengan memperlihatkan perilaku
menyimpang.
Ciri-ciri penyimpangan sekunder
antara lain:
1)
Gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang, dan
2)
Masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang
tersebut.
Contoh penyimpangan sekunder,
misalnya pembunuhan, perjudian, perampokan, dan pemerkosaan.
c.
Penyimpangan Individu
Penyimpangan individu adalah
penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Contohnya
pencurian yang dilakukan sendiri.
d.
Penyimpangan Kelompok
Penyimpangan kelompok adalah
penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku.
Pada umumnya penyimpangan
kelompok terjadi dalam subkebudayaan yang menyimpang yang ada dalam masyarakat.
Contohnya, geng kejahatan atau mafia.
e.
Penyimpangan Situasional
Penyimpangan jenis ini
disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial di luar
individu dan memaksa individu tersebut untuk berbuat menyimpang. Contohnya
seorang suami yang terpaksa mencuri karena melihat anak dan istrinya kelaparan.
f.
Penyimpangan Sistematik
Penyimpangan sistematik adalah
suatu sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status
formal, peranan-peranan, nilai-nilai, norma-norma dan moral tertentu yang
semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang
menyimpang itu kemudian dibenarkan oleh semua anggota kelompok.
4.
Sifat-Sifat Perilaku
Menyimpang
a.
Penyimpangan Positif
Penyimpangan positif adalah
penyimpangan yang mempunyai dampak positif karena mengandung unsur inovatif,
kreatif, dan memperkaya alternatif. Jadi, penyimpangan positif merupakan
penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan. Contohnya
seorang ibu rumah tangga dengan terpaksa harus menjadi sopir taksi karena
desakan ekonomi.
b.
Penyimpangan Negatif
Penyimpangan negatif adalah
penyimpangan yang cenderung bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang
rendah dan berakibat buruk. Contohnya pembunuhan dan pemerkosaan.
5. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku
Menyimpang
Beberapa faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang antara lain sebagai
berikut :
a. Sikap Mental yang tidak sehat
Perilaku menyimpang dapat
pula disebabkan karena sikap mental yang tidak sehat. Sikap itu ditunjukkan
dengan tidak merasa bersalah atau menyesal atas perbuatannya, bakan merasa
senang. Contohnya profesi pelacur.
b. Ketidakharmonisan dalam Keluarga
Tidak adanya keharmonisan
dalam keluarga dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku menyimpang. Contohnya
kalangan remaja yang menggunakan obat-obatan terlarang karena faktor broken home.
c. Pelampiasan Rasa Kecewa
Seseorang yang mengalami
kekecewaan apabila tidak dapat mengalihkannya ke hal yang positif, maka ia akan
berusaha mencari pelarian untuk memuaskan rasa kecewanya. Contohnya bunuh diri.
d. Dorongan Kebutuhan Ekonomi
Perilaku menyimpang juga
terjadi karena dorongan kebutuhan ekonomi. Contohnya perbuatan mencuri atau
merampok.
e. Pengaruh lingkungan dan Media Massa
Seseorang yang melakukan
tindakan menyimpang dapat disebabkan karena terpengaruh oleh lingkungan
kerjanya atau teman sepermainannya. Begitu juga peran media massa, sangat
berpengaruh terhadap penyimpangan perilaku.
f.
Keinginan untuk dipuji
Seseorang dapat bertindak
menyimpang karena keinginan untuk mendapat pujian, seperti banyak uang, selalu
berpakaian mahal dan perhiasan yang mewah, atau gaya hidup yang mewah.
g. Proses Belajar yang Menyimpang
Hal ini terjadi melalui
interaksi sosial dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang. Misalnya, seorang
anak remaja yang sering bergaul dengan kelompok remaja pengguna obat-obatan
terlarang atau terlibat perkelahian.
h. Ketidaksanggupan Menyerap Norma
Ketidaksanggupan menyerap
norma ke dalam kepribadian seseorang diakibatkan karena ia menjalani proses
sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga ia tidak sanggup menjalankan
peranannya sesuai dengan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
i.
Adanya Ikatan Sosial yang
Berlainan
Seorang individu
cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang paling ia hargai dan
akan lebih senang bergaul dengan kelompok itu daripada dengan kelompok lainnya.
j.
Proses Sosialisasi
Nilai-Nilai Subkebudayaan Menyimpang
Perilaku menyimpang yang
terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan karena seseorang memilih nilai
subkebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya
bertentangan dengan norma budaya yang dominan. Contohnya kehidupan di lingkungan
pelacuran dan perjudian.
k. Kegagalan dalam Proses Sosialisasi
Proses sosialisasi bisa
dianggap tidak berhasil jika individu tersebut tidak berhasil mendalami
norma-norma masyarakat. Keluarga adalah lembaga yang paling bertanggung jawab
atas penanaman norma-norma masyarakat dalam diri anggota keluarga.
6. Media Pembentukan Perilaku Menyimpang
Kepribadian menyimpang dalam diri seseorang dapat terbentuk karena adanya
media pencetus yang dapat mendorong terbentuknya kepribadian menyimpang itu.
Media pembentukan kepribadian menyimpang itu, antara lain keluarga, lingkungan
tempat tinggal, kelompok bermain, dan media massa.
a.
Keluarga
Pembentukan kepribadian
seseorang untuk pertama kalinya akan berawal dari keluarga karena proses
sosialisasi yang dialami seorang individu untuk membentuk kepribadiannya itu
berawal dari media sosialisasi ini.
b.
Lingkungan Tempat Tinggal
Lingkungan tempat tinggal
juga dapat mempengaruhi kepribadian seorang individu dalam proses
pembentukannya. Bila seorang individu hidup dan tinggal dalam lingkungan buruk,
warga masyarakatnya suka melakukan tindakan kriminalitas, seperti perampokan,
pencurian, suka menggunakan obat bius, dan mengedarkan narkoba, cenderung akan
membentuk kepribadian yang buruk atau menyimpang.
c.
Kelompok Bermain
Lingkungan tempat tinggal
dan kelompok bermain merupakan dua media sosialisasi yang sangat berkaitan
karena seorang individu akan memiliki kelompok bermain atau pergaulan dalam
lingkungan tempat tinggalnya tersebut. Kelompok bermain atau pergaulan ini juga
dapat memengaruhi pembentukan kepribadian seorang individu. Jika ia memiliki kelompok
bermain yang positif, suka belajar, dan melakukan hal-hal atau perbuatan baik,
maka perilakunya cenderung positif. Sebaliknya apabila seorang individu
memiliki kelompok bermain yang negatif, maka pola perilaku dan kepribadiannya
akan cenderung negatif.
d.
Media Massa
Media massa dapat disebut
sebgai media sosialisasi yang dapat memengaruhi kepribadian seseorang.
Pemberitaan yang ada di media massa, seperti surat kabar, televisi, atau
internet dapat memicu maraknya perilaku menyimpang. Misalnya tayangan yang
berbau pornografi, pornoaksi dan kekerasan.
7.
Contoh Perilaku
Menyimpang
a.
Tindakan Kriminal dan
Kejahatan
Kriminalitas bukan bawaan sejak lahir, bukan pula warisan biologis.
Tindakan kriminal dapat dilakukan secara sadar melalui perencanaan dan
ditujukan untuk maksud tertentu. Akan tetapi, ada pula yang dilakukan secara
tidak sadar.
b.
Kenakalan Anak (Juvenile
Delinquency)
Masalah kenakalan anak sering menimbulkan kecemasan sosial dan dapat menimbulkan
kemungkinan “gap generation”, sebab anak yang diharapkan sebagai kader penerus
bangsa tergelincir ke arah perilaku yang negatif.
Kenakalan (delinquency) menurut Prof. DR. Fuad Hasan adalah perbuatan
antisosial yang dilakukan oleh anak/remaja, yang bila dilakukan oleh orang
dewasa dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Pendapat lain, menyatakan bahwa
perbuatan delinquency adalah semua perbuatan penyelewengan norma-norma kelompok
tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat yang dilakukan oleh anak
muda.
Secara fenomenologi, gejala kenakalan remaja tampak dalam masa pubertas.
Pada masa tersebut jiwanya masih dalam keadaan labil sehingga mudah terpengaruh
oleh lingkungan pergaulan yang negatif. Adapun penyebab kenakalan tersebut,
antara lain sebagai berikut.
1)
Lingkungan keluarga yang tidak harmonis (broken home)
2)
Situasi yang menjemukan dan membosankan
3)
Lingkungan masyarakat yang tidak menentu bagi prospek
kehidupan masa mendatang, seperti lingkungan kumuh dan penuh kejahatan.
c.
Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dan
melanggar norma-norma dalam kehidupan masyarakat.
Bentuk-bentuk
penyimpangan seksual, antara lain sebagai berikut.
1)
Homoseksual, yaitu perilaku seksual
yang cenderung tertarik pada seseorang yang berjenis kelamin sama atau sejenis.
2) Transeksual, yaitu perilaku seseorang yang cenderung mengubah
karakteristik seksualnya. Contohnya seorang laki-laki yang ingin menjadi
perempuan, demikian sebaliknya. Biasanya perilaku seksual ini lebh disebabkan
oleh pengaruh lingkungan sosial, seperti orang sekitar atau pola pergaulannya.
3)
Sadomasokisme, Sadisme adalah kepuasan
seksual yang diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih
dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya, sedangkan masokisme merupakan
kebalikan dari sadisme.
4)
Ekshibisme, yaitu perilaku seksual
yang memperoleh kepuasan seksual dengan cara memperlihatkan alat kelaminnya
kepada orang lain sesuai kehendaknya.
5)
Voyeurisme, yaitu perilaku seksual yang
memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang
sedang telanjang, mandi, bahkan berhubungan seksual. Setelah mengintip ia tidak
melakukan tindakan lebih lanjut dari yang diintipnya.
6)
Fetishisme, yaitu perilaku seksual
yng disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam,
kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan
seksualnya.
d.
Alkoholisme
Alkohol dapat disebut
sebagai racun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf
sehingga orang yang mengosumsi minuman beralkohol secara berlebihan akan
kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, baik secara fisik, psikologis,
maupun sosial.
e.
Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan narkotika
dapat disebut sebagai penyimpangan perilaku karena melanggar norma hukum yang
berlaku di masyarakat. Penggunaan obat-obatan jenis narkotika telah diatur
dalam seperangkat peraturan yang sifatnya formal.
Jenis-jenis narkotika
antara lain opium, ganja, morfin, dan heroin. Obat-obatan ini tergolong aditif
atatu bersifat candu, sehingga bisa menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya.
f.
Hubungan Seksual Sebelum
Nikah
Dalam lingkungan masyarakat
yang bernorma, hubungan seksual sebelum atau di luar nikah tidak dapat
dibenarkan khususnya norma agama, sosial maupun moral.
g.
Sadisme terhadap Anak
Penganiayaan terhadap
anak merupakan bentuk perilaku menyimpang yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi
dalam masyarakat. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan mencari
kasih sayang justru menjadi neraka yang menakutkan juga gangguan psikis
(trauma) berkepanjangan.
Kekerasan anak mempunyai
beberapa bentuk. Aan Prayoga mengatakan bahwa di negara berkembang lebih banyak
penganiayaan fisik dan penelantaran anak, sedangkan di negara-negara maju lebih
banyak penganiayaan seksual dan penganiayaan emosional.
Bentuk-bentuk
penganiayaan emosional yaitu sebagai berikut.
1)
Rejecting, yaitu orang tua
menunjukkan perilaku menolak anak, anak tidak diharapkan, meninggalkan anak,
memanggil nama anak dengan sebutan tidak berharga, tidak berbicara pada anak,
dan bahkan mengambinghitamkan anak sebagai penyebab masalah keluarga.
2)
Ignoring, yaitu orang tua tidak
menunjukkan kedekatan dengan anaknya dan tidak menyukai anak-anak atau orang
tua hanya secara fisik saja bersama-sama anaknya.
3)
Terorizing, yaitu orang tua yang
mengkritik secara tidak proporsional, menghukum, mengolok-olok, dan
mengharapkan anak memiliki kemampuan seperti yang diinginkan orang tua.
4)
Isolating, yaitu orang tua yang
tidak menginginkan anaknya beraktivitas secara proporsional bersama-sama
rekan-rekan sebayanya.
5)
Corrupting, yaitu orang tua
mengajarkan yang salah (melanggar norma) pada anaknya.
B.
PENGENDALIAN SOSIAL
1. Pengertian Pengendalian Sosial
Menurut Berger, pengendalian sosial adalah cara
yang digunakan untuk menertibkan anggota masyarakat yang membangkang. Menurut
Roucek, pengendalian sosial adalah proses terencana maupun tidak, tempat individu
diajarkan, dibujuk, ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan
nilai hidup kelompok.
Tujuan pengendalian
sosial adalah sebagai berikut.
a.
Agar masyarakat mau mematuhi norma-norma sosial yang
berlaku, baik dengan kesadaran sendiri maupun karena paksaan.
b.
Agar dapat mewujudkan keserasian dan ketenteraman dalam
masyarakat.
c.
Bagi orang yang melakukan penyimpangan diusahakan agar
kembali mematuhi norma-norma yang berlaku,
2.
Jenis-jenis Pengendalian
Sosial
Dalam pelaksanaan pengendalian sosial kita
mengenal pengendalian sosial formal maupun pengendalian sosisal nonformal.
a. Pengendalian Sosial Formal
Pengendalian sosial formal
dijalankan melalui lembaga-lembaga formal yang ada di masyarakat. Jenis-jenis
lembaga tersebut adalah sebagai berikut.
1. Lembaga Kepolisian
Lembaga kepolisian
merupakan salah satu lembaga formal yang sejak awal dibentuk dalam rangka
mengawasi semua bentuk penyimpangan terhadap hukum yang berlaku. Polisi
merupakan personil keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas menjadi
pelindung terhadap ketertiban masyarakat, menangkap pelaku-pelaku pelanggar
hukum, serta melakukan tindaklanjut terhadap penyelesaian suatu pelanggaran
hukum untuk disampaikan ke pihak kejaksaan.
2. Lembaga Kejaksaan
Lembaga kejaksaan
merupakan lembaga formal yang bertugas sebagai penuntut umum, yaitu pihak yang
mengajukan tuntutan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum
berdasarkan tertib hukum yang berlaku.
3. Lembaga Pengadilan
Lembaga pengadilan pada
hakikatnya juga merupakan lembaga pengendalian sosial formal yang bertugas
untuk memeriksa kembali hasil penyelidikan dari kepolisian serta
menindaklanjuti tuntutan dari kejaksaan terhadap suatu kasus pelanggaran.
4. Lembaga Adat
Pada masyarakat
tradisional, bentuk-bentuk pelanggaran terhadap norma-norma adat masih banyak
dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu, penanganannya menjadi
kewenangan dari lembaga-lembaga adat masyarakat itu sendiri. Misalnya,
pelanggaran terhadap adat perkawinan, adat kekerabatan, adat pembagian warisan,
adat-adat ritual, serta tradisi-tradisi khusus yang dipertahankan oleh
masing-masing anggota masyarakat.
b. Pengendalian Sosial Nonformal
Pengendalian sosial dapat juga dilakukan oleh para pemuka masyarakat yang
mempunyai pengaruh ataupun kharisma untuk mengatur berbagai kegiatan
masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan panutan sekaligus pengendali
yang dipatuhi oleh warga masyarakat yang lain.
Menurut Bruce J. Cohen (1983) hal itu bisa terjadi disebabkan oleh beberapa
faktor berikut.
1)
Adanya perubahan norma dari satu periode waktu ke
periode waktu yang lain, misalnya sopan
santun berpakaian akan mengikuti zaman, serta anggota-anggota kelompok
minoritas telah diizinkan mengikuti berbagai kegiatan yang dulu dilarang
sehingga sistem pengendalian sosial tidak dapat diterapkan seterusnya.
2)
Tidak ada norma atau aturan yang bersifat mutlak yang
bisa digunakan untuk menentukan benar tidaknya kelakuan seseorang. Orang-orang
dalam masyarakat yang berbeda akan mematuhi norma-norma yang berbeda pula.
3)
Individu yang tidak mematuhi norma sosial disebabkan
karena mereka mengamati orang lain yang tidak mematuhi atau karena mereka tidak
pernah dididik untuk mematuhinya.
4)
Adanya individu-individu yang belum mendalami norma-norma
sosial dan belum menyadari kenapa norma-norma itu harus dipatuhi.
5)
Adanya individu-individu yang kurang yakin akan kebenaran
atau kebaikan suatu norma sosial atau dihadapkan dengan situasi di mana
terdapat norma yang tidak sesuai.
6)
Terjadi konflik peran dalam diri seorang individu, karena
ia menjalankan beberapa peran yang menghendaki corak perilaku yang berbeda.
3. Sifat-Sifat Pengendalian Sosial
Pengendalian
sosial dapat bersifat preventif, represif,gabungan, persuasif serta koersif.
a. Pengendalian Sosial Preventif
Pada pengendalian sosial
yang bersifat preventif, usaha dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran.
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang. Contohnya,
pemberian nasihat kepada anak untuk tidak ngebut di jalan raya supaya tidak
terjadi kecelakaan.
b. Pengendalian Sosial Represif
Pengendalian sosial yang
represif dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran dan supaya keadaan pulih
sepeti sedia kala. Contohnya seseorang lalai untuk membayar hutang, kemudian
diadukan ke pengadilan.
c. Pengendalian Sosial Gabungan
Pengendalian sosial gabungan
merupakan gabungan antara pengendalian preventif dan represif. Perpaduan antara
kedua sifat pengendalian sosial ini ditujukan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan (preventif) sekaligus memulihkan kembali keadaan semula jika sudah
terjadi penyimpangan (represif).
d. Pengendalian Sosial Persuasif
Pengendalian sosial
persuasif dilakukan melalui pendekatan dan sosialisasi agar masyarakat mematuhi
norma-norma yang ada. Pengendalian sosial ini dilakukan tanpa kekerasan.
e. Pengendalian Sosial Koersif
Pengendalian sosial
koersif bersifat memaksa agar anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
4. Cara-Cara Pengendalian Sosial
Suatu proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan berbagai cara
yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara kekerasan (persuasif) ataupun dengan
paksaan (represif).
a. Cemoohan
Jika salah seorang
anggota masyarakat atau kelompok berbuat sesuatu yang dianggap menyimpang dari
nilai dan norma yang berlaku, maka seseorang/kelompok orang tersebut akan
dicemooh atau diejek oleh anggota masyarakat lainnya dengan tujuan agar tidak
melakukan perbuatan yang melanggar norma itu lagi.
b. Teguran
Teguran merupakan satu
bentuk pengendalian sosial. Teguran bisa berupa peringatan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
c. Pendidikan
Jika pengendalian sosial
melalui pendidikan dilakukan secara efektif, maka bentuk-bentuk pengendalian
sosial yang lain hanya sebagai pendukungnya.
d. Agama
Setiap pemeluk agama yang
taat akan mengakui kebenaran ajaran agamanya dan menjadikan ajaran agamanya
sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
e. Gosip atau Desas-desus
Gosip atau desas-desus adalah
berita yang menyebar secara cepat dan tidak berdasarkan pada kenyataan.
Biasanya terjadi ketika kritik sosial secara terbuka, tetapi tidak dapat
dilontarkan.
f.
Ostrasisme
Ostrasisme dapat
diartikan sebagai ‘pengucilan’. Mulanya ada seorang anggota masyarakat yang
walaupun diperbolehkan bekerja sama dalam kelompok masyarakat, tetapi dia tidak
diajak berkomunikasi. Tujuan ostrasisme atau pengucilan ini agar anggota
masyarakat yang bersangkutan atau masyarakat lainnya tidak melakukan
pelanggaaran terhadap nilai dan norma yang berlaku.
g. Fraundulens
Fraundulens adalah
pengendalian sosial dengan jalan meminta bantuan kepada pihak lain yang
dianggap dapat mengatasi masalah.
h. Intimidasi
Salah satu bentuk
pengendalian sosial lainnya adalah intimidasi. Intimidasi dilakukan dengan cara
menekan, memaksa, mengancam,atau menakuti-nakuti.
i.
Hukum
Setiap masyarakat telah
mengembangkan sistem penghargaan dan hukuman (sanksi) agar merangsang para anggotanya
untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku.
5.
Akibat Tidak Berfungsinya
Lembaga Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial dapat dilakukan secara internal
dan secara eksternal. Pengendalian internal merupakan pengendalian yang
dilakukan oleh komponen masyarakat itu sendiri di bawah koordinasi para pemuka
adat dan tokoh masyarakat dan dapat dimulai dari pengendalian diri tiap-tiap individu
sebagai warga masyarakat serta pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
pembudayaan norma dan nilai sosial dari generasi tua kepada generasi muda.
Suatu ketertiban yang terwujud di dalam masyarakat
sesungguhnya ditentukan oleh 3 komponen penting,yaitu sebagai berikut.
a.
Adanya norma-norma yang memadai,
b.
Adanya aparat penegak hukum
c.
Adanya kesadaran dari seluruh warga masyarakat untuk
berlaku tertib dan menjunjung tinggi hukum.
Apabila lembaga-lembaga pengendalian sosial tidak
berfungsi, baik internal maupun eksternal, baik lembaga-lembaga formal maupun
lembaga nonformal, maka yang terjadi di dalam masyarakat adalah suatu
kesemrawutan atau ketidakpastian. Hal tersebut akan mengarah pada suatu
perkembangan untuk berlakunya hukum rimba, artinya siapa yang kuat secara fisik
dan ekonomi serta secara politis akan menjadi penguasa di dalam masyarakat.
Selanjutnya keadaan ini akan mengakibatkan sistem komersialisasi hukum.
Bentuk-bentuk dari tidak berfungsinya
lembaga-lembaga pengendalian sosial, antara lain sebagai berikut.
a.
Tidak adanya kepastian hukum
b.
Kepentingan masyarakat sulit untuk dipenuhi
c.
Sering terjadi konflik
d.
Munculnya kmersiaisasi hukum, jabtan dan kekuaasaan
e.
Munculnya sindikat-sindikat kejahatan yang mempunyia
kepentingan khusus.
No comments:
Post a Comment