BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Di semua masyarakat yang pernah
dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak
keluarga yang disebut hubungan peran (role relations). Seseorang
disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang
sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses dimana ia belajar
mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain daripadanya, yang
akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki.(Goode, 1983)
Anak-anak memiliki dunianya
sendiri. Hal iu ditandai dengan banyaknya gerak, penuh semangat, suka bermain
pada setiap tempat dan waktu,tidak mudah letih, dan cepat bosan. Anak-anak
memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu ingin mencoba segala hal yang
dianggapnya baru. Anak-anak hidup dan berpikir untuk saat ini, sehingga ia
tidak memikirkan masa lalu yang jauh dan tidak pula masa depan yang tidak
diketahuinya. Oleh sebab itu, seharusnya orang tua dapat menjadikan realitas
masa sekarang sebagai titik tolak dan metode pembelajaran bagi anak.(Zurayk,
1997)
Perkembangan karakter seorang anak
dipengaruhi oleh perlakuan keluarga terhadapnya. Karakter seseorang terbentuk
sejak dini, dalam hal ini peran keluarga tentu sangat berpengaruh. “Keluarga
merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Bagi setiap orang keluarga
(suami, istri, dan anak-anak) mempunyai proses sosialisasinya untuk dapat
memahami, menghayati budaya yang berlaku dalam masyarakatnya.” (Mudjijono, et
al., 1995)
Pendidikan dalam keluarga
sangatlah penting dan merupakan pilar pokok pembangunan karakter seorang anak.
Pendidikan dasar wajib dimiliki tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga
masyarakat pedesaan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi
cenderung lebih dihormati karena dianggap berada strata sosial yang tinggi.
Kualitas seseorang dilihat dari bagaimana dia dapat menempatkan dirinya dalam
berbagai situasi.
“Manusia Indonesia yang
berkualitas hanya akan lahir dari renaja yang berkualitas, remaja yang
berkualitas hanya akan tumbuh dari anak yang berkualitas.” (TOR dalam
Mudjijono,et al., 1995). Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil
memiliki peran penting dalam hal pembentukan karakter individu. Keluarga
menjadi begitu penting karena melalui keluarga inilah kehidupan seseorang
terbentuk.
Sebagai lembaga sosial terkecil,
keluarga merupakan miniatur masyarakat yang kompleks, karena dimulai dari
keluarga seorang anak mengalami proses sosialisasi. Dalam keluarga,
seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan segala
aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan
sebagai kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan.
Seiring dengan perkembangan
zaman, pendidikan moral dalam keluarga mulai luntur. Arus globalisasi menyerang
di segala aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya masyarakat kota tetapi
juga masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran
kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang
dilahirkan.
I.2 Perumusan Masalah
1. Apa fungsi keluarga?
2. Bagaimana pengaruh
keluarga terhadap perilaku moral anak?
3. Bagaimana peran keluarga
terhadap pembentukan karakter anak?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan mengenai fungsi
keluarga.
2. Menjelaskan mengenai pengaruh
keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan peran keluarga
dalam pembentukan karakter anak.
I.4 Kegunaan Penulisan
1. Sebagai media informasi bagi
pembaca agar dapat membuka cakrawala mengenai pentingnya komunikasi yang baik
dalam keluarga.
2. Sebagai sarana
pembelajaran mengenai hubungan antara pendidikan dalam keluarga terhadap
perkembangan karakter anak.
BAB II
Fungsi
Keluarga
Sebagai sistem sosial terkecil,
keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu
individu. “Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus, dan harus
mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan
pangan. Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain,
supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.”[1]
Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang Jawa. “Bagi orang Jawa,
keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.”[2]
Hildred Geertz memberikan suatu gambaran ideal suatu keluarga sebagai berikut :
(…) bagi setiap orang Jawa,
keluarga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, dan biasanya suami atau istri
merupakan orang-orang tepenting di dunia ini. Mereka itulah yang memberikan
kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orientasi
sosial. Mereka memberi bimbingan moral, membantunya dari masa kanak-kanak
menempuh usia tua dengan mempelajari nilai-nilai budaya Jawa. Proses
sosialisasi adalah suatu proses kesinambungan di sepanjang hidup diri pribadi
(…)(1983:7)
Pengertian keluarga juga dapat
dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan
kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan
dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka.
Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga RT,
keluarga komplek, atau keluarga Indonesia. (Munandar, 1985).
Keluarga menjalankan peranannya
sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang
anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan
anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat
ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan
untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku
yang menyimpang.
Keluarga merupakan payung
kehidupan bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang
anak. Beberapa fungsi keluarga selain sebagai tempat berlindung, (Mudjijono, et
al., 1995) diantaranya :
a)
Mempersiapkan anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan
norma-norma aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada
(sosialisasi).
b)
Mengusahakan tersekenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi),
sehingga keluarga sering disebut unit produksi.
c)
Melindungi anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
d)
Meneruskan keturunan (reproduksi).
Menurut Kingslet Davis dalam
Murdianto (2003) menyebutkan bahwa fungsi keluarga ialah :
a) Reproduction, yaitu
menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem sosial
yang bersangkutan.
b) Maintenance, yaitu
perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
c)
Placement, memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu
posisi sebagai kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun
posisi-posisi lainnya.
d) Sosialization,
pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat
diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
e) Economics,
mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan
konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
f)
Care of the ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut
usianya.
g) Political center,
memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
h)
Physical protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa
sandang, pangan, dan perumahan bagi anggotanya.
Bila seorang anak dibesarkan
pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak
dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi,
bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka
ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur.
Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh
keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya.
Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan
orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti
fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus
konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan
pada aturan pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka
sebagian tanggung jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti
profesi tertentu[3].
Uraian tersebut cukup
menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bukan hanya wadah
untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga
merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter manusia.
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung pada
berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral kehidupan.
Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut
hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan segala
inspirasi. Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah. Keluarga
merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.
BAB III
Pengaruh
Keluarga Terhadap Perkembangan Moral Anak
Papalia dan Old (1987) dalam Hawadi
(2001) membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap :
- Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi
sampai masa lahir.
- Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan
pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan pertama
kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai tiga tahun
merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan
bahasa dan motorik serta kemandirian.
- Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia
3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah.
- Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun,
dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima
pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.
- Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun.
Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya
dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua.
Anak-anak sering bertanya
tentang banyak hal, baik yang berhubungan dengan hal-hal yang faktual maupun
yang fiktif. Pertanyaan-pertanyaan ini, bagi anak-anak, merupakan ekspresi dari
rasa ingin tahu dan menyibak keraguannya, sehingga anak tersebut terdorong
untuk mengajukan pertanyaan. Hal ini merupakan kebutuhan psikis alamiah yang
dinamakan dengan istilah “cinta meneliti.”(Zurayk, 1997)
Cinta meneliti ini merupakan
salah satu pertanda anak yang cerdas. Anak cerdas selalu ingin tahu dan
terangsang untuk memcahkan masalah yang baru ditemukannya. Dengan begitu, ia
dapat mencoba hal-hal baru dan menciptakan produk-produk pemikiran bagi dirinya
sendiri. Gardner (2005) dalam Amstrong (2005), mendefinisikan kecerdasan
sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang
mempunyai nilai budaya.
Anak-anak mulai berpikir kritis
dimulai ketika mereka menuju pada panguasaan bahasa dan motorik serta
kemandirian, yaitu pada masa tatih (diatas 18 bulan). Pada masa ini anak-anak
mulai mengenal bahasa dan tertarik untuk mempelajarinya. Berbagai pertanyaan
kritis mulai terlontar.[4]
Seiring dengan pertanyaan yang
keluar dari bibir mungil seorang anak, disinilah peran orang tua bermain. Orang
tua dapat menjawab segala pertanyaan anak dengan jawaban yang sebenarnya atau
jawaban fiksi yang merupakan karangan orang tua. Orang tua dituntut untuk dapat
memberi jawaban yang dapat memuaskan hati seorang anak, sekalipun jawaban itu
dirasanya sangat sulit dipahami oleh anak karena pertanyaannya yang bersifat
sensitif. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak, pendidikan mengenani
moral dan budi pekerti dapat ditanamkan.
Penanaman moral pada diri
seorang anak berawal dari lingkungan keluarga. Pengaruh keluarga dalam
penempaan karakter anak sangalah besar. Dalam sebuah keluarga, seorang anak
diasuh, diajarkan bebagai macam hal, diberi pendidikan mengenai budi pekerti
serta budaya. Setiap orang tua yang memiliki anak tentunya ingin anaknya tumbuh
dan berkembang menjadi manusia cerdas yang memiliki budi pekerti baik agar
dapat menjaga nama baik keluarga.
Anak bukan lah orang dewasa, ia
memiliki sifat-sifat yang khas. Seorang anak melihat, mendengar, berperasaan,
dan berpikir dengan bentuk yang khas, namun tidak keluar dari logika dan
perasaan yang sehat. Misalnya, anak-anak itu melihat, mendengar, dan
berperasaan sebagaimana orang tua melihat, mendengar, berperasaan, dan
berpikir. Karena itu, orang tua seharusnya mempergauli anak-anak berdasarkan
pada anggapan bahwa dia adalah anak-anak. Sebagaimana dikatakan, “Pemuda tidak
akan menjadi pemuda yang sebenarnya selama masa kanak-kanaknya tidak menjadi
anak-anak yang sebenarnya.”[5]
Keluarga memberikan pengaruh
pada pembentukan budi luhur bagi seorang anak. Salah satu ciri anak yang
berbudi luhur adalah selalu menunjukkan sikap sopan dan hormatnya pada orang
tua. Budi luhur yang melekat pada setiap orang bukan datang dengan sendirinya,
melainkan harus diciptakan. Terutama dalam keluarga dan bukan merupakan
keturunan. Dengan kata lain, budi luhur tidak merupakan keturunan melainkan
merupakan produk pendidikan dalam keluarga, merupakan perpaduan antara akal.
Kehendak, dan rasa.
Seiring dengan perkembangan
zaman, terjadi pergeseran nilai-nilai kebudayaan pada masyarakat. Siaran-siaran
televisi kembali menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya nilai-nilai
tersebut. Hadirnya televisi telah merebut perhatian anak terhadap orang tua.
Anak seringkali mengabaikan nasihat yang diberikan oleh orang tua dengan alasan
nasihat tersebut terkesan kuno. Dalam kondisi demikian, seorang anak tidak
mengetahui yang sebenarnya mengenai nilai-nilai yang seharusnya diberikan orang
tua kepada anaknya.
Pada masa sekarang, intensitas
bertemu antara anak dengan orang tua sangatlah sempit. Oleh karena itu, orang
tua harus mampu membagi waktu dengan baik dan mencari saat-saat yang tepat
untuk menyelipkan pelajaran mengenai budi pekerti luhur. Pada saat makan malam
misalnya, atau pada saat menonton televisi bersama, sambil membimbing.
Kejujuran merupakan hal
terpenting bagi individu dalam menjalani hidup, dan tahap awal penanaman sikap
jujur dimulai dari keluarga. Penanaman sikap jujur dalam keluarga dapat dimulai
dari perilaku orang tua yang selalu bersikap dan berkata jujur. Dengan
begitu, maka akan lebih mudah bagi seorang anak menanamkan sikap jujur pada
dirinya karena tidak pernah merasa dibohongi. Dalam suatu keluarga, tidak dapat
dipungkiri bahwa sesekali seorang anggotanya melakukan suatu kebohongan.
Seseorang melakukan suatu kebohongan biasanya disebabkan oleh rasa takut karena
dianggap melakukan kesalahan atau sedang menyembunyikan sesuatu. Dalam banyak
hal, sebaiknya orang tua mendengarkan pendapat anaknya, karena bagaimana pun
komunikasi dalam keluarga harus tetap berlangsung dengan baik.
BAB IV
Peran
Keluarga
“(…)Masa kanak-kanak merupakan
masa yang begitu penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian yang akan
memberi warna ketika seorang anak kelak menjadi dewasa. Karena itu, kualitas
pada pola-pola perkembangan masa anak adalah sangat penting.” (Gunarsa, 2001)
“Keluarga memiliki peranan utama
didalam mengasuh anak, di segala norma dan etika yan berlaku didalam lingkungan
masyarakat, dan budayanya dapat diteruskan dari orang tua kepada anaknya dari
generasi-generasi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.” (Effendi, et
al., 1995)
Keluarga memiliki peranan
penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan moral dalam
keluarga perlu ditanamkan pada sejak dini pada setiap individu. Walau bagaimana
pun, selain tingkat pendidikan, moral individu juga menjadi tolak ukur berhasil
tidaknya suatu pembangunan.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi memegang peranan penting serta sangat mempengaruhi perkembangan
sikap dan intelektualitas generasi muda sebagai penerus bangsa. Keluarga,
kembali mengmbil peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Berbagai aspek pembangunan suatu
bangsa, tidak dapat lepas dari berbgai aspek yang saling mendukung, salah
satunya sumber daya manusia. Terlihat pada garis-garis besar haluan negara
bahwa penduduk merupakan sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi
pembangunan nasional. Hal ini pun tidak dapat terlepas dari peran serta
keluarga sebagai pembentuk karakter dan moral individu sehingga menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas.
Keberhasilan pembangunan suatu
bangsa sangat memerlukan adanya sumber daya manusia yang berkualitas baik.
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas baik tentunya memerlukan
berbagai macam cara. Salah satu diantanya adalah melalui pendidikan. Pendidikan
baik formal maupun informal. Pendidikan moral dalam keluarga salah satunya.
Walaupun memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi, tetapi rendah dalam hal moralitas, individu tidak akan
berarti dimata siapa pun. Pendidikan moral dimulai dari sebuah keluarga yamng
menanamkan budi pekerti luhur dala setiap interaksinya. Sumber daya manusia
berkualitas dapat dilihat dari keluarganya. Bukan hanya keluarga mampu dari
segi materi, yang dapat meningkatkan kualitas individunya melalui
tambahan-tambahan materi pembelajaran di luar bangku sekolah. Akan tetapi,
keluarga sederhana di desa pun dapat menjamin kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas sumber daya dan keluhuran budi pekerti merupakan hasil tempaan orang
tua.
BAB V
Kesimpulan
dan Saran
5.1 Kesimpulan
Keluarga merupakan suatu sistem
sosial terkecil yang di dalamnya dapat terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak yang
masing-masing memiliki peran. Anak merupakan buah dari keluarga bahagia.
Anak-anak memiliki pemikiran kritis akan banyak hal dimulai ketika ia mulai
mengenal bahasa.
Pertanyaan-pertanyaan yang
terlontar dari mulut seorang anak sebaiknya dijawab dengan jawaban yang jujur
dan dapat memuaskan hati anak. Pendidikan moral dan kejujuran bagi seorang anak
berawal dari kelurga, melalui orang tua. Hal ini yang dapat membentuk karakter
anak di masa depan.
5.2 Saran
Orang tua merupakan panutan bagi
anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat menjadi contoh yang baik bagi
anak-anaknya. Orang tua juga harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan
teknologi saat ini. Anak-anak memiliki pemikiran yang kritis terhadap sesuatu
yang baru. Bila orang tua tidak membuka diri terhadap perkmbangan yang ada,
kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari anak. Pada akhirnya
berbuah kebohongan dan secara tidak langsung menanamkannya pada anak.
Daftar Pustaka
Armstrong, Thomas. 2005. Setiap Anak Cerdas. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka UtamaEffendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.
Gunarsa, Singgih D. Menyikapi Periode Kritis Pada Anak dan Dampaknya Pada Profil Kepribadian tahun 2001 dalam Psikologi Perkembangan Pribadi dari bayi sampai lanjut usia. Editor: S. C. Utami Munandar. Jakarta: UI Press. 2001.
Hawadi, Reni Akbar. 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Mudjijono, Hermawan, Hisbaron, Noor Sulistyo, dan Sudarmo Ali. 1996 . Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
.Munandar, Utami. 1983. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Psikologis. Depok: UI Press.
Murdianto, Utomo, Bambang S. 2003. Modul Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.
Zurayk, Ma’ruf. 1997. Aku dan Anakku. Bandung: Al-Bayan (Kelompok Penerbit Mizan).
No comments:
Post a Comment