BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan
degradasi moral sumber daya manusia Indonesia perlu segera mendapat penanganan
khusus. Hal ini berhubungan dengan masalah kesiapan bangsa kita dalam
menyongsong era globalisasi. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut adalah
melalui pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan
pendidikan nilai, dan pihak pertama yang paling cocok memberikan pendidikan
budi pekerti adalah keluarga.
Keluarga
merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam
hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi
keluarganya dan begitupun sebaliknya. Keluarga memberikan dasar-dasar
pembentukan tingkah laku, watak, moral, budi pekerti dan pendidikan kepada
anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah
laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Allah mengingatkan dalam
Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Berdasarkan
ayat tersebut menjadi tanggung jawab para orangtua untuk selalu menjaga dan
mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang patuh dan taat kepada
Allah SWT.
Di samping
keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga
merupakan tempat seorang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan.
Pada dasarnya kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru
lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak
yang diberikan keluarga. Sedangkan perkembangan sosial anak akan bergantung
pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Oleh karena itu
keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan memikul tanggug jawab yang
besar terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak sampai ia menjadi
orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.
Peranan sebagai
pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan kehidupan
keluarga, meliputi pembinaan hubungan dalam keluarga, pemeliharaan dan
kesehatan anak, pengelolaan sumber-sumber serta sosialisasi anak.
Menurut Winarno
Surakhmad (1986 : 7) interaksi yang terjadi dalam situasi edukatif itu adalah
”interkasi edukatif.” Yakni interkasi yang berlangsung dalam ikatan tujuan
pendidikan. Hal inilah yang membedakan dari bentuk interkasi yang lainnya.
Dari uraian tersebut
dapat dipahami, bahwa istilah interaksi edukatif yang sebenarnya adalah adanya
komunikasi timbal baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain yang
mengandung maksud tertentu, yakni untuk mencapai pengertian bersama yang
kemudian untuk mencapai tujuan. Itulah maka interaksi edukatif disebutnya
sebagai interaksi yang disengaja, terarah pada tujuan. Dan pada sisi lainnya
dapat dipahami pula, bahwa walaupun dalam sehari-harinya manusia tidak
melepaskan dari adanya interaksi, akan tetapi terkadang sulit ditentukan
sebagai interaksi edukatif. Sehingga dapat dikatakan juga, bahwa apabila yang
secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak ke arah
kedewasaan. Jadi yang terpenting bukan secara simbol dari interaksinya, akan tetapi
adanya maksud atau tujuan yang mengantarkan dalam berlangsungnya interaksi
tersbut. Maka kegiatan itu menjadi direncana dan disengaja.
Permasalahannya
adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi
pekerti bagi anggota keluarganya. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi
pekerti kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis
tanpa masalah. Oleh sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi riil keluarga
di Indonesia. Dimana ada keluarga yang sudah cukup harmonis, ada keluarga
bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun demikian, ada beberapa syarat mutlak
yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi pendidikan budi pekerti secara
efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk memperhatikan anak-anaknya,
keteladanan, dan komunikasi aktif. Sedangkan niali budi pekerti yang dapat
diberikan dalam keluarga adalah nilai kerukunan, ketaqwaan dan keimanan,
toleransi, dan kepribadian sehat.
Jika seseorang
telah memiliki dasar budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan
mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungan sekitar. Dengan
demikian peran keluarga dalam pendidikan budi pekerti sangatlah besar. Untuk
itu, dalam makalah ini akan dibahas Implementasi Pendidikan Budi Pekerti Dalam
Keluarga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah, maka penulis mencoba merumuskannya ke dalam beberapa
kalimat pertanyaan, sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Nilai Budi
Pekerti Dalam Keluarga?
2. Bagaimana implementasi Pendidikan
Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini
bertujuan untuk mengungkap implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam
keluarga.
BAB II
PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM
KELUARGA
A. Pengertian Pendidikan Nilai Budi
Pekerti dalam Keluarga
1. Pengertian Pendidikan
Karena sifatnya
yang kompleks, maka tidak ada sebuah definisi yang memadai untuk menjelaskan
arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh
para ahli beraneka ragam dan kandungan isinya berbeda-beda sesuai dengan
konsep, orientasi atau nilai philosofis yang mendasarinya. Namun demikian,
dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa pengertian tentang pendidikan yang
berbeda-beda untuk kemudian dibuat kesimpulannya.
Adapun UUSPN
No. 20 tahun. 2003 , Bab. I, pasal 1 ayat [1], menyatakan: “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
bangsa dan Negara”.
Pengertian Nilai
Secara garis
besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi
(values of giving). Nilai-nilai
nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi
perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam
nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri,
potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi
adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima
sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah
setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik
hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua
telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut
menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga
Agama.
Pendidikan
Nilai telah menjadi bagian integral proses pendidikan, sejak diakuinya proses
pendidikan informal menjadi bagian sistem pendidikan kita. Oleh karena itu
berbagai usaha telah dilakukan untuk menjelaskan peran yang seharusnya
dimainkan “Nilai”tersebut dalam sistem pendidikan masyarakat. Namun upaya-upaya
tersebut baru terlihat secara sungguh-sungguh pada abad ke-20, dimana
Pendidikan Nilai telah dipelajari sebagai suatu “disiplin”, tidak lebih dari
setengah abad setelah itu muncul berbagai literatur dan penelitian empiris yang
mengkaji serius bidang ini.
Pengertian Budi Pekerti
Secara
etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti.
Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan
kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau
perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh
seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian
dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah
laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan
akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa
Inggris disebtu ethics.
Senada dengan
itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional
adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau
dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah,
masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti
secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui
kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil
sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara
berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi
tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.
Pengertian Keluarga
Keluarga adalah
sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama
ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan
dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi
(Peter Murdock, 1949).
Keluarga adalah
unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan
kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)
Keluarga adalah
bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang
lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)
Dalam Bahasa
Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang
memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia
yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan
unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak.
Pengertian Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Pendidikan budi
pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan
sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata
krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama
sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti
adat sopan santun yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Adapun
pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi
(2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.
Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional
Usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti
luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. Upaya pembentukan,
pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agar mereka
mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, seimbang (lahir
batin, material spiritual, dan individual social).
Upaya
pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi
pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan
serta keteladanan.
Pengertian secara Operasional
Pendidikan budi
pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui
bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya
sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai
baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap tuhan dan
sesame makhluk.
Pendidikan budi
pekerti dalam keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga untuk
menjadikan angota-anggota keluarga sebagai manusia atau pribadi-pribadi yang
memiliki kepribadian yang utuh, bertingkah laku baik dan berakhlak mulia. Sehingga
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik.
B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai
Budi Pekerti
Dalam
perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan
istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal,
dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan
pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas
hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya
saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan
nilai.
Dalam
hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama dalam perkembangan seseorang.
Sejak masih
dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa
dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga.
Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan
diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti
tidak terputus seratus persen.
Dalam kehidupan
manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang
komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah
pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan
suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu
harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku
Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan
pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi
biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi”.7
Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto, mempunya 7
fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:
a.
Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan
tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya.
Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam
ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi
penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.
b.
Fungsi afeksi; yaitu keluarga
merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan
afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
c.
Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi
keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam
keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita
dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.s
d.
Fungsi pendidikan; yaitu keluarga
sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan
satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial
dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan
pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.
Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi
sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang
pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan
hingga ke perguruan tinggi.
e.
Fungsi rekreasi; yaitu keluarga
merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi,
ketenangan dan kegembiraan.
f.
Fungsi keagamaan; yaitu keuarga
merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya,
disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi
penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini
mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist
Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara
fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
g.
Fungsi perlindungan; yaitu keluarga
berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun
sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi
banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak
cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi.
Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari
gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah,
gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya
dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain.
C. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Dalam literature Islam disebutkan bahwa tujuan pendidikan
tersebut dalam keluarga adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah
warohmah, yang anggota keluarganya bahagia dunia dan akhirat serta terhindar
dari siksaan api neraka. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang
beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”
D. Metode dan Pendekatan
Metode dan
pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali
dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki
sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua
istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan
W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal
(perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa
Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols,
2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya
mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu,
upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan
untuk melakukan sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya
sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu
pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat
sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai
ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua
harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau
kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam
penanaman nilai moral untuk anak usia dini. Sementara metode memiliki sedikit
arti yang berbeda dengan pendekatan.
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan.
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan.
Di bawah ini
akan dikemukakan beberapa teori dalam penyampaian materi pendidikan budi
pekerti:
Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan
kognitif ini berkaitan erat dengan perkembangan moral seseorang. Piaget membagi
perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap, yaitu sensori motor,
praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.
Tahap Sensori
motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan
tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini
hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat
orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara
menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.
Tahap
Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol
dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak
terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat
mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang
sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih
egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan
bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.
Tahap
operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir
transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya
perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang
konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu,
dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan
dengan akibat yang baik dan tidak baik.
Tahap
operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir
formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia
tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang
akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa
yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan.
Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk
menemukan nilai yang baik dan tidak baik.
Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Lawrence
Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan
pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak
selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa
perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan
tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral
seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat
konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut
Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:
Orientasi pada hukuman dan ketaatan
Tahap ini
penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya,
tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak
menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.
Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)
Perbuatan yang
benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga
kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan
unsure timbal balik dan kewajaran.
Orientasi anak manis
Pada tahap ini
anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai
pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam
tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik.
Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang
lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Berdasarkan
teori pakar di atas, maka pendidikan budi pekerti harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan pribadi anak. Dalam hal ini bisa dikategorikan dalam
beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Masa usia balita (bayi di bawah lima tahun)
Metode yang
paling cocok dalam masa ini adalah metode keteladanan dan sedikit penjelasan.
Maksudnya kegiatan yang dilakukan oleh orangtua yang dapat dijadikan model bagi
anak. Dalam hal ini orangtua berperan langsung sebagai contoh atau teladan bagi
anak. Segala sikap dan tingkah laku orangtua, baik di rumah atau di masyarakat
hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya cara
makan, cara minum, cara berpakaian, bertutur kata dengan baik dan sebagainya.
Usia 5-7 tahun (usia anak TK)
Adapun metode
dalam penanaman nilai moral kepada anak usia ini sangatlah bervariasi, di
antaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.
Bercerita
Bercerita dapat
dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
(Hidayat, 2005:12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam
nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita
mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu
mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah mudah
untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita orangtua harus
menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai
kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan
fokus moral, di antaranya: a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk
yang jelas, b. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas
jangkauan kehidupan anak, c. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak,
menakut-nakuti secara fisik
Dalam bercerita
orangtua juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak
yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan
antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu
orangtua juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk
membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian anak. Adapun
teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya : a. membaca langsung
dari buku cerita atau dongeng, b. Menggunakan ilustrasi dari buku, c.
Menggunakan papan flannel, d. Menggunakan media boneka, e. Menggunakan media
audio visual, f. Anak bermain beran atau sosiodrama.
Bernyanyi
Pendekatan
penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata
yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan
kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan,
mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan
suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan.
Lagu yang baik
untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: a.
Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang, b. Mudah dihafal oleh anak, c. Ada misi
pendidikan, d. Sesuai dengan karakter dan dunia anak, e. Nada yang diajarkan
mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 28).
Bersajak
Sajak diartikan
sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya
terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan
pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang
akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara
psikologis anak pada usia ini sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu,
ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah
dialami atau dilakukannya.
Karya wisata
Karya wisata
merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati secara langsung
dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan
benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari
pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan
sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi
perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan
memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup
program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat
dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang
dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk
merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah
diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan
dapat menambah wawasan anak.
BAB III
PEMBAHASAN PENDIDIKAN NILAI BUDI
PEKERTI DALAM KELUARGA
A. Pendidikan Anak Dalam Keluarga
Sebagaimana
kita ketahui bahwa pendidikan nilai budi pekerti secara esensial sama dengan
pendidikan akhlak. Untuk itu, dalam bab ini penulis ingin mengemukakan
pendidikan anak dalam keluarga menurut pendekatan agama, khususnya agama Islam.
Pendidikan nilai budi pekerti/akhlak dalam keluarga terjadi pada masa pemilihan
pasangan hidup, pembinaan keluarga, pada masa kehamilan, pada masa kelahiran,
pada masa anak-anak, dan pada masa remaja. Berikut penjelasannya:
1. Pemilihan
Pasangan Hidup (Suami/Istri)
Perhatian
kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang
shalehah Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang
hendak berkeluarga dengan bersabda: "Dapatkan wanita yang beragama, (jika
tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula
bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang
melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak.
Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila
datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah.
Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar"
Apakah
kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau
suami?
a. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam
telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
1.
Hendaknya calon istri memiliki dasar
pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan
mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.
2.
Hendaklah calon istri itu penyayang
dan banyak anak.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda: Dari Anas bin Malik, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “kawinilah perempuan penyayang dan
banyak anak” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Penyayang
berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia
mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk
menikahinya. Sedang yang banyak anak adalah perempuan yang banyak melahirkan
anak.
3.
Mengutamakan orang jauh (dari
kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini
dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang
menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam
keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit
nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan
dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
b. Kriteria Memilih Calon Suami
1.
Islam.
Ini adalah
kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami
sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan
akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :“ … dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS.
Al Baqarah : 221).
2.
Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan
kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi
anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh
seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu
sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan
tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).
2. Memperhatikan Anak Ketika Sebelum Kelahiran dan
Ketika Mengandung
Termasuk
memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan
rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika seseorang
diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama Allah. Ya
Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau
karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai
anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Sebagaimana
Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan
tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi
janin dalam kandungan ibunya.
Sang ibu
hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak
yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin.
Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.
3. Memperhatikan Anak Setelah Melahirkan
Setelah
kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya
melakukan hal-hal berikut:
1. Menyampaikan kabar gembira dan
ucapan selamat atas kelahiran.
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit
mulut).
4. Memberi nama.
5. Aqiqah.
Yaitu kambing
yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah
bersabda: "Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan
jauhkanlah gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
6. Mencukur rambut bayi dan
bersedekah perak seberat timbangannya.
7. Khitan.
4. Pendidikan Anak Usia Enam Tahun
Periode pertama
dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat
kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam
dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede
ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya
ketika menjadi dewasa. Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak
perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan
oleh kedua orangtua sebagai berikut:
1. Memberikan
kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
2. Membiasakan
anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
3. Hendaklah
kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
5. Pendidikan Anak Setelah Usia Enam Tahun Pertama
o
Pengenalan Allah dengan cara yang
sederhana.
o
Pengajaran baca Al Qur'an.
o
Pengajaran hak-hak kedua orangtua,
o
Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang
agung dalam Islam.
o
Pengajaran etiket umum.
o
Pengembangan rasa percaya diri dan
tanggung jawab dalam diri anak.
6. Pendidikan Anak Pada Masa Remaja
Pada masa ini
pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas,
emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun
mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa baligh.Karena itu, para
pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah-masalah berikut dalam
menghadapi remaja:
1. Hendaknya
anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah dewasa karena ia sendiri
menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil
lagi.
2. Diajarkan
kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan kepadanya kisah-kisah yang
dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang
haram.
3. Diberikan
dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti
melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar.
4. Berupaya
mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta
mancarikan teman yang baik.
B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak
Berikut ini
sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para pendidik. Semoga Allah
memberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan
menunjukkan kita kepada kebenaran.
1. Ucapan pendidik tidak sesuai
dengan perbuatan.
Ini merupakan
kesalahan terpenting karena anak belajar dari orangtua beberapa hal. tetapi
ternyata bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini
berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah Azza Wa Jalla
mencela perbuatan ini dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (SurahAshShaff:2-3).
Bagaimana anak akan belajar kejujuran kalau ia mengetahui orang tuanya
berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah sementara ia melihat
bapaknya menipu ? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila orang sekitamya
suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?
2. Kedua orangtua tidak sepakat atas
cara tertentu dalam pendidikan anak.
Kadangkala
seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orangtua. Tetapi
akibatnya sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan dan
mengancam. Anak akhimya menjadi bingung mana yang benar dan mana yang salah di
antara keduanya. Dengan pengertiannya yang masih terbatas, ia belum mampu
membedakan mana yang benar dan yang salah sehingga hal itu akan mengakibatkan
anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya. Sementara, kalau
kedua orangtua mempunyai cara yang sama dan tidak memujukkan perbedaan ini,
niscaya tidak terjadi kerancuan tersebut.
3. Membiarkan anak jadi korban
televisi.
Media massa
mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak dan
media paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak
mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun
orang dawasa, terhadap orang-orang berpengetahuan maupun yang terbatas
pengetahuannya 4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu
atau pengasuh.
4. Pendidik menampakkan kelemahannya
dalam mendidik anak.
5. Berlebihan dalam memberi hukuman
dan balasan.
Hukuman adalah
sesuatu yang disyariatkan dan termasuk salah satu sarana pendidikan yang
berhasil yang sesekali mungkin diperlukan pendidik. Namun ada yang sangat
berlebihan dalam menggunakan sarana ini, sehingga membuat sarana itu berbahaya
dan berakibat yang sebaliknya. Seperti kita mendengar ada orangtua yang menahan
anaknya beberapa jam dikamar yang gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang
mengikat anaknya jika berbuat sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman
bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan yang mempunyai arti hingga hukuman berupa
pukulan. Pendidik mungkin perlu menggunakan hukuman yang lebih dari pada
sekedar pandangan yang memojokkan atau kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa
menggunakan hukuman berupa pukulan; namun ini merupakan penyelesaian akhir,
tidak diperlukan kecuali jika tidak ada cara lain.
6. Berusaha mengekang anak secara
berlebihan.
Yaitu tidak
diberi kesempatan bermain bercanda dan bergerak ini bertentangan dengan tabiat
anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi
pertumbuhan anak dengan baik.
7. Mendidik anak tidak percaya diri
dan merendahkan pribadinya.
Kita
mempersiapkan anakanak kita untuk dapat mekksanakan tugas-tugas dien dan dunia.
Dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan mendidik mereka memiliki rasa percaya
dan harga diri namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa mengupayakan
agar anak dikenalkan kepada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari
hal-hal yang bernilai rendah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Keluarga adalah
pilar utama pendidikan bagi anak, karena keluarga merupakan tempat pendidikan
dan sosialisasi pertama bagi anak. Pendidikan nilai budi pekerti sangat penting
untuk diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga. Dimulai dari
pemilihan pasangan hidup, memperhatikan sebelum kelahiran anak dan ketika
mengandung, memperhatikan ketika anak dilahirkan, mendidik ketika anak berusia
enam tahun pertama, mendidik saat remaja dan membimbing saat dewasa. Semua ini
seyogyanya bisa diterapkan oleh setiap keluarga Indonesia khususnya, sehingga
generasi bangsa menjadi generasi yang kuat, sehat, cerdas, dan sholeh.
Namun demikian,
ada beberapa hambatan dalam implementasi pendidikan tersebut dalam keluarga.
Seperti kurangnya pengetahuan orang tua tentang etika dan akhlak yang mulia,
cara-cara mendidik anak, dan membina rumah tangga. Sehingga, fungsi keluarga sebagai
tempat pendidikan bagi anak tidak oftimal. Walhasil, anak pun tidak memiliki
budi pekerti yang luhur.
B. Saran
Berdasarkan
pemaparan di atas, penulis ingin berbagi pikiran dengan pembaca khususnya yang
sudah berumah tangga, untuk memperhatikan hal berikut:
Mendidik anak
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga para orang tua diharapkan
mempelajari ilmu-ilmu tentang cara-cara mendidik anak, kemudian dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua
merupakan teladan bagi anak, untuk itu berikanlah contoh tauladan yang baik
agar anak bisa melihat dan meniru perbuatan baik tersebut
Untuk
pemerintah, hendaknya memperhatikan kesejahteraan setiap keluarga warga
negaranya dengan cara memberi penyuluhan, penyediaan fasilitas pendidikan, dan
peluang kerja yang mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darmo (1986) Nilai, Norma dan Moral dalam Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, Aries Lima, Jakarta.
Djahiri Kosasih (1989), Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila
untuk Peningkatan proses dan hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila, Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada FPIPS IKIP Bandung.
Hakam, Kama Abdul (2008), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press.
Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina
Ilmu.
Mulyana, Deddy. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga,
Yogyakarta: Al Husna Press, 1994
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Amani, 1995
______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut
Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992
Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta
No comments:
Post a Comment