Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Monday, July 9, 2018

MAKALAH PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan degradasi moral sumber daya manusia Indonesia perlu segera mendapat penanganan khusus. Hal ini berhubungan dengan masalah kesiapan bangsa kita dalam menyongsong era globalisasi. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut adalah melalui pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai, dan pihak pertama yang paling cocok memberikan pendidikan budi pekerti adalah keluarga.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan begitupun sebaliknya. Keluarga memberikan dasar-dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, budi pekerti dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Berdasarkan ayat tersebut menjadi tanggung jawab para orangtua untuk selalu menjaga dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang patuh dan taat kepada Allah SWT.
Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat seorang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan keluarga. Sedangkan perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Oleh karena itu keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan memikul tanggug jawab yang besar terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak sampai ia menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.
Peranan sebagai pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan kehidupan keluarga, meliputi pembinaan hubungan dalam keluarga, pemeliharaan dan kesehatan anak, pengelolaan sumber-sumber serta sosialisasi anak.
Menurut Winarno Surakhmad (1986 : 7) interaksi yang terjadi dalam situasi edukatif itu adalah ”interkasi edukatif.” Yakni interkasi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. Hal inilah yang membedakan dari bentuk interkasi yang lainnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa istilah interaksi edukatif yang sebenarnya adalah adanya komunikasi timbal baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain yang mengandung maksud tertentu, yakni untuk mencapai pengertian bersama yang kemudian untuk mencapai tujuan. Itulah maka interaksi edukatif disebutnya sebagai interaksi yang disengaja, terarah pada tujuan. Dan pada sisi lainnya dapat dipahami pula, bahwa walaupun dalam sehari-harinya manusia tidak melepaskan dari adanya interaksi, akan tetapi terkadang sulit ditentukan sebagai interaksi edukatif. Sehingga dapat dikatakan juga, bahwa apabila yang secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak ke arah kedewasaan. Jadi yang terpenting bukan secara simbol dari interaksinya, akan tetapi adanya maksud atau tujuan yang mengantarkan dalam berlangsungnya interaksi tersbut. Maka kegiatan itu menjadi direncana dan disengaja.
Permasalahannya adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi pekerti bagi anggota keluarganya. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis tanpa masalah. Oleh sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi riil keluarga di Indonesia. Dimana ada keluarga yang sudah cukup harmonis, ada keluarga bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi pendidikan budi pekerti secara efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk memperhatikan anak-anaknya, keteladanan, dan komunikasi aktif. Sedangkan niali budi pekerti yang dapat diberikan dalam keluarga adalah nilai kerukunan, ketaqwaan dan keimanan, toleransi, dan kepribadian sehat.
Jika seseorang telah memiliki dasar budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungan sekitar. Dengan demikian peran keluarga dalam pendidikan budi pekerti sangatlah besar. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas Implementasi Pendidikan Budi Pekerti Dalam Keluarga.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis mencoba merumuskannya ke dalam beberapa kalimat pertanyaan, sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
2. Bagaimana implementasi Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengungkap implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.




BAB II
PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA


A.    Pengertian Pendidikan Nilai Budi Pekerti dalam Keluarga
1.      Pengertian Pendidikan
Karena sifatnya yang kompleks, maka tidak ada sebuah definisi yang memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungan isinya berbeda-beda sesuai dengan konsep, orientasi atau nilai philosofis yang mendasarinya. Namun demikian, dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa pengertian tentang pendidikan yang berbeda-beda untuk kemudian dibuat kesimpulannya.
Adapun UUSPN No. 20 tahun. 2003 , Bab. I, pasal 1 ayat [1], menyatakan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”.

Pengertian Nilai
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama.
Pendidikan Nilai telah menjadi bagian integral proses pendidikan, sejak diakuinya proses pendidikan informal menjadi bagian sistem pendidikan kita. Oleh karena itu berbagai usaha telah dilakukan untuk menjelaskan peran yang seharusnya dimainkan “Nilai”tersebut dalam sistem pendidikan masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut baru terlihat secara sungguh-sungguh pada abad ke-20, dimana Pendidikan Nilai telah dipelajari sebagai suatu “disiplin”, tidak lebih dari setengah abad setelah itu muncul berbagai literatur dan penelitian empiris yang mengkaji serius bidang ini.

Pengertian Budi Pekerti
Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.

Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Peter Murdock, 1949).
Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)
Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)
Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak.

Pengertian Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Adapun pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.

Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional
Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual social).
Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan serta keteladanan.

Pengertian secara Operasional
Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap tuhan dan sesame makhluk.
Pendidikan budi pekerti dalam keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga untuk menjadikan angota-anggota keluarga sebagai manusia atau pribadi-pribadi yang memiliki kepribadian yang utuh, bertingkah laku baik dan berakhlak mulia. Sehingga menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik.

B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai Budi Pekerti
Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai.
Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang.
Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi”.7 Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto, mempunya 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:
a.       Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.
b.      Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
c.       Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.s
d.      Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan hingga ke perguruan tinggi.
e.       Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.
f.       Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
g.      Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi. Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain.

C. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Dalam literature Islam disebutkan bahwa tujuan pendidikan tersebut dalam keluarga adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, yang anggota keluarganya bahagia dunia dan akhirat serta terhindar dari siksaan api neraka. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”

D. Metode dan Pendekatan
Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia dini. Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan pendekatan.
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa teori dalam penyampaian materi pendidikan budi pekerti:
Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif ini berkaitan erat dengan perkembangan moral seseorang. Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap, yaitu sensori motor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.
Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.
Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.
Tahap operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.
Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik.
Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:
Orientasi pada hukuman dan ketaatan
Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.
Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan kewajaran.
Orientasi anak manis
Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Berdasarkan teori pakar di atas, maka pendidikan budi pekerti harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan pribadi anak. Dalam hal ini bisa dikategorikan dalam beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Masa usia balita (bayi di bawah lima tahun)
Metode yang paling cocok dalam masa ini adalah metode keteladanan dan sedikit penjelasan. Maksudnya kegiatan yang dilakukan oleh orangtua yang dapat dijadikan model bagi anak. Dalam hal ini orangtua berperan langsung sebagai contoh atau teladan bagi anak. Segala sikap dan tingkah laku orangtua, baik di rumah atau di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya cara makan, cara minum, cara berpakaian, bertutur kata dengan baik dan sebagainya.

Usia 5-7 tahun (usia anak TK)
Adapun metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia ini sangatlah bervariasi, di antaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.
Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Hidayat, 2005:12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita orangtua harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, di antaranya: a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelas, b. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anak, c. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik
Dalam bercerita orangtua juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu orangtua juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian anak. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya : a. membaca langsung dari buku cerita atau dongeng, b. Menggunakan ilustrasi dari buku, c. Menggunakan papan flannel, d. Menggunakan media boneka, e. Menggunakan media audio visual, f. Anak bermain beran atau sosiodrama.

Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan.
Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang, b. Mudah dihafal oleh anak, c. Ada misi pendidikan, d. Sesuai dengan karakter dan dunia anak, e. Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 28).
Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak pada usia ini sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya.

Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak.
BAB III
PEMBAHASAN PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA

A. Pendidikan Anak Dalam Keluarga
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan nilai budi pekerti secara esensial sama dengan pendidikan akhlak. Untuk itu, dalam bab ini penulis ingin mengemukakan pendidikan anak dalam keluarga menurut pendekatan agama, khususnya agama Islam. Pendidikan nilai budi pekerti/akhlak dalam keluarga terjadi pada masa pemilihan pasangan hidup, pembinaan keluarga, pada masa kehamilan, pada masa kelahiran, pada masa anak-anak, dan pada masa remaja. Berikut penjelasannya:
1.  Pemilihan Pasangan Hidup (Suami/Istri)
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalehah Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda: "Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar"
Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?
a. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
1.      Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.
2.      Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda: Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Penyayang berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang yang banyak anak adalah perempuan yang banyak melahirkan anak.
3.      Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

b. Kriteria Memilih Calon Suami
1.      Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221).
2.      Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).
2. Memperhatikan Anak Ketika Sebelum Kelahiran dan Ketika Mengandung
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya.
Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.

3. Memperhatikan Anak Setelah Melahirkan
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:
1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
4. Memberi nama.
5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
7. Khitan.

4. Pendidikan Anak Usia Enam Tahun
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua sebagai berikut:
1.   Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
2.   Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
3.   Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.

5. Pendidikan Anak Setelah Usia Enam Tahun Pertama
o   Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana.
o   Pengajaran baca Al Qur'an.
o   Pengajaran hak-hak kedua orangtua,
o   Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.
o   Pengajaran etiket umum.
o   Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak.

6. Pendidikan Anak Pada Masa Remaja
Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa baligh.Karena itu, para pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah-masalah berikut dalam menghadapi remaja:
1.   Hendaknya anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah dewasa karena ia sendiri menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi.
2.   Diajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram.
3.   Diberikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar.
4.   Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.

B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak
Berikut ini sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para pendidik. Semoga Allah memberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan menunjukkan kita kepada kebenaran.
1. Ucapan pendidik tidak sesuai dengan perbuatan.
Ini merupakan kesalahan terpenting karena anak belajar dari orangtua beberapa hal. tetapi ternyata bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah Azza Wa Jalla mencela perbuatan ini dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (SurahAshShaff:2-3). Bagaimana anak akan belajar kejujuran kalau ia mengetahui orang tuanya berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah sementara ia melihat bapaknya menipu ? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila orang sekitamya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?
2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.
Kadangkala seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orangtua. Tetapi akibatnya sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan dan mengancam. Anak akhimya menjadi bingung mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya. Dengan pengertiannya yang masih terbatas, ia belum mampu membedakan mana yang benar dan yang salah sehingga hal itu akan mengakibatkan anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya. Sementara, kalau kedua orangtua mempunyai cara yang sama dan tidak memujukkan perbedaan ini, niscaya tidak terjadi kerancuan tersebut.
3. Membiarkan anak jadi korban televisi.
Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak dan media paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang dawasa, terhadap orang-orang berpengetahuan maupun yang terbatas pengetahuannya 4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh.
4. Pendidik menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak.
5. Berlebihan dalam memberi hukuman dan balasan.
Hukuman adalah sesuatu yang disyariatkan dan termasuk salah satu sarana pendidikan yang berhasil yang sesekali mungkin diperlukan pendidik. Namun ada yang sangat berlebihan dalam menggunakan sarana ini, sehingga membuat sarana itu berbahaya dan berakibat yang sebaliknya. Seperti kita mendengar ada orangtua yang menahan anaknya beberapa jam dikamar yang gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang mengikat anaknya jika berbuat sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan yang mempunyai arti hingga hukuman berupa pukulan. Pendidik mungkin perlu menggunakan hukuman yang lebih dari pada sekedar pandangan yang memojokkan atau kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa menggunakan hukuman berupa pukulan; namun ini merupakan penyelesaian akhir, tidak diperlukan kecuali jika tidak ada cara lain.
6. Berusaha mengekang anak secara berlebihan.
Yaitu tidak diberi kesempatan bermain bercanda dan bergerak ini bertentangan dengan tabiat anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi pertumbuhan anak dengan baik.
7. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya.
Kita mempersiapkan anakanak kita untuk dapat mekksanakan tugas-tugas dien dan dunia. Dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan mendidik mereka memiliki rasa percaya dan harga diri namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa mengupayakan agar anak dikenalkan kepada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari hal-hal yang bernilai rendah.




BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Keluarga adalah pilar utama pendidikan bagi anak, karena keluarga merupakan tempat pendidikan dan sosialisasi pertama bagi anak. Pendidikan nilai budi pekerti sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga. Dimulai dari pemilihan pasangan hidup, memperhatikan sebelum kelahiran anak dan ketika mengandung, memperhatikan ketika anak dilahirkan, mendidik ketika anak berusia enam tahun pertama, mendidik saat remaja dan membimbing saat dewasa. Semua ini seyogyanya bisa diterapkan oleh setiap keluarga Indonesia khususnya, sehingga generasi bangsa menjadi generasi yang kuat, sehat, cerdas, dan sholeh.
Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi pendidikan tersebut dalam keluarga. Seperti kurangnya pengetahuan orang tua tentang etika dan akhlak yang mulia, cara-cara mendidik anak, dan membina rumah tangga. Sehingga, fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak tidak oftimal. Walhasil, anak pun tidak memiliki budi pekerti yang luhur.

B. Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin berbagi pikiran dengan pembaca khususnya yang sudah berumah tangga, untuk memperhatikan hal berikut:
Mendidik anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga para orang tua diharapkan mempelajari ilmu-ilmu tentang cara-cara mendidik anak, kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua merupakan teladan bagi anak, untuk itu berikanlah contoh tauladan yang baik agar anak bisa melihat dan meniru perbuatan baik tersebut
Untuk pemerintah, hendaknya memperhatikan kesejahteraan setiap keluarga warga negaranya dengan cara memberi penyuluhan, penyediaan fasilitas pendidikan, dan peluang kerja yang mudah.



DAFTAR PUSTAKA


Darmodiharjo, Darmo (1986) Nilai, Norma dan Moral dalam Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Aries Lima, Jakarta.

Djahiri Kosasih (1989), Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila untuk Peningkatan proses dan hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FPIPS IKIP Bandung.

Hakam, Kama Abdul (2008), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press.

Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.

Mulyana, Deddy. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Yogyakarta: Al Husna Press, 1994

Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995

______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992

Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta




No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts