BAB
I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini terdapat berbagai dampak pada masyarakat,
baik yang positif maupun yang negatif. Dampak positif globalisasi adalah
perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga mempermudah seseorang
untuk memperoleh berbagai informasi yang tidak terbatas. Informasi dapat berupa
hiburan, pengetahuan dan teknologi, yang diperoleh dan berbagai cara seperti :
TV, Video, Film-Film, Internet dan sebagainya. Kemudahan informasi memang
memuaskan keinginan tahu kita serta dapat mengubah nilai dan pola hidup
seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap anaknya dan pola asuh yang
diterapkan dalam mendidik anak.
Sedangkan dampak negatif yang ditakuti adalah gaya hidup “Barat”,
yang sangat menonjolkan sifat individualistik dan bebas. Hal ini dibuktikan
dengan semakin banyak timbulnya masalah psikososial pada remaja seperti
penyalah gunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas dan
menyimpang, kriminalitas anak, perkelahian masal (tawuran), sehingga banyak
mengakibatkan kegagalan pendidikan, atau kegagalan dibidang lain. Dampak
negatif era globalisasi ini lebih cepat diadopsi oleh anak- anak sehingga
mereka sangat rentan terhadap pengaruh negatif globalisasi tersebut.
Bagaimana semua informasi dan pengaruh asing itu agar tidak
berdampak buruk? Sebagai orang tua tentu berharap mereka dapat menyaring
informasi apa yang berguna yang patut dicontoh dan apa yang dapat merugikan
yang harus dijauhinya. Kepandaian anak dan remaja dalam menyiasati hal tersebut
tentu tidak lepas dan peran orang tua dalam memberikan pola asuh dan pendidikan
yang tepat bagi anak- anaknya.
Anak merupakan masa depan keluarga bahkan bangsa oleh sebab itu
perlu dipersiapkan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral
dan berguna
1.
bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Seharusnya perlu
dipersiapkan sejak dini agar mereka mendapatkan pola asuh yang benar saat
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh yang baik menjadikan
anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan
hidup. Maka dari itu kami akan menyusun makalah yang berjudul “Pola Pengasuhan
Anak Dalam Keluarga”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari pola asuh pendidikan anak dalam keluarga?
2. Apa sajakah gaya dari pola asuh pendidikan anak dalam keluarga?
3. Apa sajakah macam-macam dari pola asuh pendidikan anak dalam
keluarga secara umum?
4. Bagaimanakah fungsi keluarga dalam menerapkan pola asuh terhadap pendidikan
anak dalam keluarga?
5. Bagaimanakah cara mengasuh anak dalam keluarga?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari pola asuh anak dalam keluarga.
2. Untuk mengetahui gaya dari pola asuh anak dalam keluarga.
3. Untuk mengetahui macam-macam dari pola asuh anak dalam keluarga
secara umum.
4. Untuk mengetahui fungsi keluarga dalam menerapkan pola asuh
terhadap anak dalam keluarga.
5. Untuk mengetahui cara mengasuh anak dalam keluarga.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Memberikan pemahaman yang lebih dalam terkait dengan pola
pengasuhan anak dalam keluarga.
2. Memberikan masukan bagi mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah terkait.
3. Sebagai acuan dalam menyusun makalah selanjutnya.
2.
BAB
II
Pembahasan
Pola
Asuh Anak Dalam Keluarga
2.1
Pengertian Dari Pola Asuh Anak Dalam Keluarga
Pengertian pola asuh anak dalam keluarga bisa ditelusuri dari pedoman yang dikeluarkan oleh
Tim Penggerak PKK Pusat (1995), yakni : usaha orang tua dalam membina anak dan
membimbing anak baik jiwa maupun raganya sejak lahir sampai dewasa (18 tahun). Selain itu, yang dimaksud dengan pola asuh adalah kegiatan kompleks yang meliputi banyak
perilaku spesifik yang bekerja sendiri atau bersama yang memiliki dampak pada
anak. Tujuan utama pola asuh yang normal adalah menciptakan kontrol. Meskipun
tiap orang tua berbeda dalam cara mengasuh anaknya, namun tujuan utama orang
tua dalam mengasuh anak adalah sama yaitu untuk mempengaruhi, mengajari dan
mengontrol anak mereka.
2.2 Gaya Dari Pola Asuh Anak Dalam Keluarga.
Gaya pola asuh memiliki 2 elemen penting, yaitu : parental
responsiveness (respons orang tua) dan parental demandingness (tuntutan orang
tua).
Parental Responsiveness (respons orang tua)
Respons orang tua adalah orang tua yang secara sengaja dan
mengatur dirinya sendiri untuk sejalan, mendukung dan menghargai kepentingan
dan tuntutan anaknya.
Parental demandingness (tuntutan orang tua)
Tuntutan orang tua adalah orang tua menuntut anaknya untuk menjadi
bagian dari keluarga dengan pengawasan, penegakkan disiplin dan tidak segan
memberi hukuman jika anaknya tidak menuruti.
Selain respons dan tuntutan, gaya pola asuh juga ditentukan oleh
faktor yang ketiga, yaitu kontrol psikologis (menyalahkan, kurang menyayangi
atau mempermalukan).
3.
2.3
Macam-Macam Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Secara Umum
Secara individual, orang tua memiliki hubungan yang khas dengan
anak namun para peneliti telah mengidentifikasikan 3 macam pola asuh yang umum.
Ketiga pola asuh ini telah terbukti berhubungan dengan perilaku dan kepribadian
anak. Pembagian 3 macam pola asuh secara umum ini dinamakan : Authoritative,
Authoritarian, dan Permissive.
1.
Pola asuh
Authoritative/Demokrasi
Pola asuh ini ditandai dengan orang tua yang memberikan kebebasan
yang memadai pada anaknya tetapi memiliki standar perilaku yang jelas. Mereka
memberikan alasan yang jelas dan mau mendengarkan anaknya tetapi juga tidak
segan untuk menetapkan beberapa perilaku dan tegas dalam menentukan batasan.
Mereka cenderung memiliki hubungan yang hangat dengan anaknya dan sensitive
terhadap kebutuhan dan pandangan anaknya. Mereka cepat tanggap memuji
keberhasilan anaknya dan memiliki kejelasan tentang apa yang mereka harapkan
dan anaknya.
Pola asuh yang paling baik adalah jenis Authoritative. Anak yang
diasuh dengan pola ini tampak lebih bahagia, mandiri dan mampu untuk mengatasi
stress. Mereka juga cenderung lebih disukai pada kelompok sebayanya, karena
memiliki ketrampilan sosial dan kepercayaan diri yang baik.
2.
Pola asuh
Authoritarian/Otoriter
Pola asuh ini cukup ketat dengan apa yang mereka harapkan dan
anaknya dan hukuman dan perilaku anak yang kurang baik juga berat. Peraturan
diterapkan secara kaku dan seringkali tidak dijelaskan secara memadal dan
kurang memahami serta mendengarkan kemamuan anaknya. Penekanan pola asuh ini adalah
ketaatan tanpa bertanya dan menghargai tingkat kekuasaan. Disiplin pada rumah
tangga ini cenderung kasar dan banyak hukuman.
Anak dan orang orang tua yang Authoritarian cenderung untuk lebih
penurut, taat perintah dan tidak agresif, tetapi mereka tidak memiliki rasa
percaya diri dan
4.
kemampuan
mengontrol dirinya terhadap teman sebayanya. Hubungan dengan orang tua tidak
juga dekat. Pola asuh jenis ini terutama sulit untuk anak laki-laki, mereka
cenderung untuk lebih pemarah dan kehilangan minat pada sekolahnya lebih awal.
Anak dengan pola asuh ini jarang mendapat pujian dan orang tuanya sehingga pada
saat mereka tumbuh dewasa, mereka cenderung untuk melakukan sesuatu karena
adanya imbalan dan hukuman, bukan karena pertimbangan benar atau salah.
3.
Pola asuh Permissive/Permisif
Orang tua pada kelompok ini membiarkan anaknya untuk menampilkan
dirinya dan tidak membuat aturan yang jelas serta kejelasan tentang perilaku
yang mereka harapkan. Mereka seringkali menenima atau tidak peduli dengan
perilaku yang buruk. Hubungan mereka dengan anaknya adalah hangat dan menerima.
Pada saat menetukan batasan, mereka mencoba untuk memeberikan alasan kepada
anaknya dan tidak menggunakan kekuasaan untuk mencapai keinginan mereka.
Hasil pola asuh dan orang tua permisif tidak sebaik hasil pola
asuh anak dengan orang tua Authoritative. Meskipun anak-anak ini terlihat
bahagia tetapi mereka kurang dapat mengatasi stress dan akan marah jika mereka
tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Anak-anak ini cenderung imatur.
Mereka dapat menjadi agresif dan dominant pada teman sebayanya dan cenderung
tidak berorientasi pada hasil.
Meskipun hasil penelitian cukup jelas, tetapi perilaku manusia
tidaklah hitam putih. Hampir semua orang tua melakukan ketiga jenis pola asuh
ini.
2.4 Fungsi Keluarga Dalam Menerapkan Pola Asuh Terhadap Anak Dalam
Keluarga
Pola asuh di atas harus disesuaikan dengan determinasi yang jelas
antara hak dan kewajiban anak; tetapi terutama hak anak. Hak anak yang dimaksud
ialah bermain, belajar, kasih sayang, nama baik, perlindungan, dan
perhatian.
Berdasarkan
pendekatan sosio-kultural, dalam konteks bermasyarakat, keluarga memiliki
fungsi berikut :
5.
1. Fungsi Biologis.
Tempat
keluarga memenuhi kebutuhan seksual ( suami - istri ) dan mendapatkan keturunan
(anak); dan selanjutnya menjadi wahana di mana keluarga menjamin kesempatan
hidup bagi setiap anggotanya. Secara biologis, keluarga menjadi tempat untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan
syarat-syarat tertentu. Berkaitan dengan fungsi ini, pola asuh anak di
bidang kesehatan juga harus mendapat perhatian para orangtua. Pola hidup sehat
perlu diterapkan di dalam keluarga yang bisa dilakukan dengan cara :
· Memberitahukan pada anak untuk mengurangi konsumsi makanan instan
atau cepat saji. mengapa hal ini penting ? Kita tahu, bahwa di dalam makanan
instan terdapat zat pengawet yang jika dikonsumsi secara berlebihan akan
membahayakan bagi kesehatan,
· Memberitahukan pada anak untuk berolah raga secara rutin.
· Menyediakan sayuran dan buah bagi anak untuk dikonsumsi.
· Memberitahukan pada anak untuk memperbanyak minum air putih.
2.
Fungsi Pendidikan. Keluarga
diajak untuk mengkondisikan kehidupan keluarga sebagai “institusi” pendidikan,
sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga. Dalam
situasi ini orangtua menjadi pemegang peran utama dalam proses pembelajaran
anak-anaknya, terutama di kala mereka belum dewasa. Kegiatannya antara lain
melalui asuhan, bimbingan dan pendampingan, dan teladan nyata. Dalam bidang
pergaulan pun, anak tetap dikontrol. Sebagian peserta mengungkapkan bahwa
mereka biasa mengontrol melalui teman si anak, serta menghubungi ibu/bapak guru
melalui HP. Di samping itu, setalah anak pulang sekolah, para peserta juga
memeriksa tas sekolah anak, kalau-kalau si anak membawa sesuatu yang tidak
wajar. Adapun suka-duka para peserta dalam mendidik anak sangat bervariasi.
Sebagian peserta menyatakan sangat senang bila anak-anak mereka menurut
terhadap apa yang mereka sarankan. Namun di sisi lain, peserta merasa sedih
bila si anak terkadang membantah perkataan mereka.
6.
3. Fungsi Religius.
Para orangtua dituntut untuk mengenalkan, membimbing, memberi
teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenal
kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Di sini para orangtua diharuskan
menjadi tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim
keagamaan dalam kehidupan keluarganya. Berkatian dengan pola asuh anak di
bidang agama, banyak orangtua sepakat bahwa agama adalah solusi terakhir dan
tertinggi bagi setiap persoalan hidup anak-anak mereka. Masalahnya justru
terletak pada tantangan yang mereka hadapi dalam mensosialisasikan ajaran agama
dimaksud. Hari-hari ini ada fenomena bahwa agama seakan-akan tidak lagi menarik
perhatian anak-anak. Pesan moral dari kisah-kisah yang mempesona dari
kitab-kitab suci tidak lagi sampai kepada anak-anak di jaman ini. Memang sih
hal ini erat terkait dengan mandegnya progressivitas pihak agama dalam mencari
pola-pola pengajaran terkini. Maka tidak mengherankan bila sebagian besar
orangtua sangat sulit mengajak anak-anaknya untuk beribadah. Banyak anak justru
tidak merasa nyaman di gereja atau tempat ibadah agamanya. Di titik ini
para orangtua harus menyadari fungsi mereka sebagai teladan atau pemberi
contoh terlebih dahulu. Bagaimana anak akan menurut pada ajakan orangtua bila
si orangtua sendiri tidak menjalankannya.
4.
Fungsi Perlindungan.
Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan
memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin
timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Selama
ini dalam mendidik anak, banyak orangtua mendidik anak-anak mereka dengan sabar
dan telaten, agar anak menurut sesuai dengan yang diinginkan. Namun tidak
jarang pula mereka menggunakan cara-cara yang sedikit otoriter, agar anak tidak
bandel dan menurut apa yang kita perintah. Fungsi perlindungan juga
menyangkut pola asuh orangtua di bidang kesehatan. Pola ini bisa dicermati dari
kegiatan keseharian anak, antara lain :
·
Selama ini ketika anak pulang
dari sekolah langsung pulang ke rumah atau
7.
·
bermain dulu di tempat
temannya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan apakah anak tersebut sudah
makan siang atau belum. Artinya kontrol terhadap pola makan anak dijalankan
dengan baik. Apabila anak pulang sampai sore atau malam hari maka orangtua
perlu menanyakan kemana saja seharian anak tersebut.
·
Selama ini ketika anak pulang
dari sekolah, apakah langsung membantu orangtua atau bermain. Hal ini ditinjau
dari pandangan orangtua jelas tentunya lebih senang ketika anak langsung
membantu orangtua dalam hal pekerjaan di dalam rumah. Lalu bagaimana bila
ternyata anak membantu orangtua dalam arti ikut bekerja mencari uang ? Tentunya
hal ini sebaiknya belum boleh dilakukan oleh anak, mengingat anak masih tumbuh
dan berkembang dan mempunyai hak untuk menikmati dunia bermainnya. Bisa
dibayangkan betapa anak nantinya akan terbebani ketika harus memikirkan
pelajaran di sekolah, namun di sisi yang lain masih harus bekerja mencari uang.
Sudah menjadi kewajiban orangtualah untuk membiayai segala macam keperluan anak
sehari-hari termasuk pula dalam hal biaya sekolah.
·
Anak dipastikan mandi sehari
dua kali. Dalam hal ini orangtua senantiasa mengontrol apakah anak sudah mandi
atau belum.
·
Asupan gizi yang dikonsumsi
anak juga harus diperhatikan. Apabila anak setiap hari diberi lauk daging,
tentunya tidak bagus. Akan lebih baik bila diimbangi dengan sayur, buah dan
susu. Dalam arti makanan yang dikonsumsi sehari-hari memenuhi 4 sehat 5
sempurna. Sesekali anak diberi lauk ikan, telur, tempe, tahu dan lainnya. Hal
ini dimaksudkan agar terdapat variasi menu makanan anak agar anak tidak bosan.
5.
Fungsi Sosialisasi. Para
orangtua dituntut untuk mempersiapkan anak untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik, kalau tidak mau disebut warga negara kelas satu. Dalam
melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan
anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di
sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya anak berpikir
dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya.
8.
6. Fungsi Kasih Sayang.
Keluarga
harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam Ikatan batin
yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan peranan sosial
masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat
ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih
sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam
menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
7. Fungsi Ekonomis.
Fungsi
ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam
fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan
perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya
keluarga.
8. Fungsi Rekreatif.
Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga
lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari
ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari
kesibukan sehari-hari.
9. Fungsi Status Keluarga.
Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah menjalankan
fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan (status)
keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya. Dalam mengembangkan anak
untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan persiapan dan
perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai dengan kondisi anak. Sebagai
manusia, setiap anak mempunyai ciri individual yang berbeda satu dengan yang
lain. Di samping itu setiap anak yang lahir di dunia ini berhak hidup dan
berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Untuk
dapat memberi kesempatan berkembang bagi setiap anak diperlukan pola asuh yang
tepat dari orangtuanya, hal ini mengingat anak adalah menjadi tanggung jawab
orangtuanya baik secara fisik, psikis maupun sosial.
9.
2.5
Cara Mengasuh Anak Dalam Keluarga
Mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat
berkembang dengan baik dan ketika dewasa menjadi orang yang mandiri dan
bertanggung jawab. Mengasuh anak bukanlah dimulai saat anak dapat berkomunikasi
dengan baik, tetapi dilakukan sendiri mungkin (sejak lahir).
Cara
mengasuh anak sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak yaitu :
a. Sejak lahir sampai 1 tahun
Dalam kandungan, anak hidup serba teratur, hangat, dan penuh
penlindungan. Setelah dilahinkan, anak sepenuhnya bengantung terutama pada ibu
atau pengasuhnya. Pada masa ini anak perlu dibantu untuk mempertahankan
hidupnya. Pencapaian pada tahap ini untuk mengembangkan rasa percaya pada
lingkungannya. Bila nasa percaya tak didapat, maka timbul rasa tak aman, rasa
ketakutan dan kecemasan. Bayi belum bisa bercakap-cakap untuk menyampaikan
keingmnannya, ia menangis untuk menarik perhatian orang. Tangisannya
menunjukkan bahwa bayi membutuhkan bantuan. Ibu harus belajar mengerti maksud
tangisan bayi. Keadaan dimana saat bayi membutuhkan bantuan, dan mendapat
respon yang sesuai akan menimbulkan rasa percaya dan aman pada bayi. ASI adalah
makanan yang paling baik untuk bayi. Dengan pemberian ASI seorang bayi akan
didekap ke dada sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan terjalinlah
hubungan kasih sayang antara bayi dan ibunya. Segala hal yang dapat mengganggu
proses menyusui dalam hubungan ibu anak pada tahap ini akan menyebabkan
terganggunya pembentukan rasa percaya dan rasa aman.
b. Usia 1 – 3 tahun
Pada tahap ini umumnya anak sudah dapat berjalan. Ia mulai
menyadari bahwa gerakan badannya dapat diatur sendiri, dikuasai dan
digunakannya untuk suatu maksud. Tahap ini merupakan tahap pembentukan
kepercayaan diri.
Pada tahap ini, akan tertanam dalam diri anak perasaan otonomi
diri, makan sendiri, pakai baju sendiri dll. Orang tua hendaknya mendorong agar
anak dapat
10.
bergerak
bebas, menghargai dan meyakini kemampuannya. Usahakan anak mau bermain dengan
anak yang lain untuk mengetahui aturan permainan. Hal ini jadi dasar
terbentuknya rasa yakin pada diri dan harga diri di kemudian hari.
c. Usia 3 – 6 tahun (prasekolah)
Tahap ini anak dapat meningkatnya kemampuan berbahasa dan
kemampuan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan, anak mulai memperhatikan dan
berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya, dan meniru kegiatan
sekitarnya, libatkan diri dalam kegiatan bersama dan menunjukkan inisiatif
untuk mengerjakan sesuatu tapi tidak mementingkan hasilnya, mulai melihat
adanya perbedaan jenis kelamin kadang-kadang terpaku pada alat kelaminnya
sendiri.
Pada tahap ini ayah punya peran penting bagi anak. Anak laki-laki
merasa lebih sayang pada ibunya dan anak perempuan lebih sayang pada ayahnya.
Melalui peristiwa ini anak dapat mengalami perasaan sayang, benci, iri hati,
bersaing, memiliki, dll. Ia dapat pula mengalami perasaan takut dan cemas. Pada
masa ini, kerjasama ayah-ibu amat penting artinya.
d. Usia 6 – 12 tahun
Pada usia ini teman sangat penting dan ketrampilan sosial mereka
semakin berkembang. Hubungan mereka menjadi lebih baik dalam berteman, mereka
juga mudah untuk mendekati teman baru dan menjaga hubungan pertemanan yang
sudah ada.
Pada usia ini mereka juga menyukai kegiatan kelompok dan
petualangan, keadaan ini terjadi karena terbentuknya identifikasi peran dan
keberanian untuk mengambil risiko. Orang tua perlu membimbing mereka agar
mereka memahami kemampuan mereka yang sebenarnya dan tidak melakukan tindakan
yang berbahaya.
Anak pada usia ini mulai tertarik dengan masalah seks dan bayi,
sehingga orang tua perlu untuk memberikan informasi yang dianggap sensitive ini
secara
Dalam perkembangan keterampilan mentalnya, mereka dapat
mempertahankan
11.
ketertarikannya
dalam waktu yang lama dan kemampuan menulis mereka baik. Anak pada usia ini
seringkali senang membaca buku ilmu pengetahuan atau CD ROM. Mereka menikmati
mencari dan menemukan informasi yang menarik minat mereka.
Anak mulai melawan orang tuanya, mereka menjadi suka
berargumentasi dan tidak suka melakukan pekerjaan rumah. Orang tua perlu secara
bijaksana menjelaskann pada mereka tugas dan tanggung jawabnya. Keberhasiln
pada masa kanak akhir terlihat, jika mereka dapat berkarya dan produktif
dikemudian hari.
e. Usia 12 – 18 tahun
Masa remaja bervariasi pada setiap anak, tapi pada umumnya
berlangsung antara usia 11 sampai 18 tahun. Di dalam masa remaja pembentukan
identitas diri merupakan salah satu tugas utama, sehingga saat masa remaja
selesai sudah terbentuk identitas diri yang mantap.
Pertanyaan yang sering pada masa remaja saat pembentukan identitas
diri adalah : siapakah saya?, serta : kemanakah arah hidup saya? Jika masa remaja
telah berakhir dan pertanyaan itu tidak dapat dijawab dan diselesaikan dengan
baik, dapat terjadi apa yang dinamakan : krisis identitas, pada krisis
identitas terjadi dapat menimbulkan kebingungan/kekacauan identitas dirinya.
Unsur-unsur yang memegang peran penting dalam pembentukan identitas diri adalah
: pembentukan suatu rasa kemandirian, peran seksual, identifikasi gender, dan
peran sosial serta perilaku.
Berkembangnya masa remaja terlihat saat Ia mulai mengambil
berbagai macam nilai-nilai etik, baik dan orang tua, remaja lain dan ia
menggabungkannya menjadi suatu sistem nilai dan dirinya sendiri.
Pada masa remaja, numah merupakan landasan dasar (base), sedangkan
‘dunianya” adalah sekolah maka bagi remaja hubungan yang paling penting selain
dengan keluarganya adalah dengan teman sebaya. Pengertian dari rumah sebagai
landasan dasar adalah, anak dalam kehidupan seahari-hani tampaknya ia
seolah-olah sangat bergantung kepada teman sebayanya, tapi sebenarnya Ia sangat
membutuhkan dukungan dan orang tuanya yang sekaligus harus berfungsi sebagai
pelindung di saat ia
12.
mengalami
krisis, baik dalam dirinya atau karena faktor lain. Pada masa ini penting
sekali sikap keluarga yang dapat berempati, mengerti, mendukung, dan dapat
bersikap komunikatif dua anak dengan sang remaja dalam pembentukan identitas
diri remaja itu.
Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa,
terbentuklah dalam suatu identias diri. Keberhasilan yang diperoleh atau
kegagalan yang dialami dalam proses pencapaian kemandirian merupakan pengaruh
dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Kegagalan keluarga dalam memberikan
bantuan/dukungan itu secara memadai, akan berakibat dalam ketidak mampuan anak
untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan emosinya. Sedangkan keberhasilan
keluarga dalam pembentukan remaja telah mengambil nilai-nilai etik dari orang
tua dan agama, ia mengambil nilai-nilai apa yang terbaik bagi dia dan
masyarakat pada umumnya. Jadi penting bagi orang tua untuk memberi teladan yang
baik bagi remaja, dan bukan hanya menuntut remaja berperilaku baik, tapi orang
tua sendiri tidak berbuat demikian.
BAB
III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Dengan apa yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pola asuh anak dalam keluarga adalah usaha orang tua dalam membina anak dan membimbing anak
baik jiwa maupun raganya sejak lahir sampai dewasa (18 tahun). Selanjutnya, gaya pola asuh memiliki 2
elemen penting, yaitu : parental responsiveness (respons orang tua) dan
parental demandingness (tuntutan orang tua). Adapun macam-macam pola asuh anak
dalam keluarga yaitu: pola demokrasi, pola otoriter, dan pola permisif. Untuk
menerapkan macam-macam dari pola asuh tersebut ada beberapa fungsi keluarga
diantaranya: fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi religius, fungsi
perlindungan,
13.
fungsi
sosialisasi, fungsi kasih sayang, fungsi ekonomi, fungsi rekreatif dan fungsi
status keluarga. Selain itu, cara mengasuh anak dalam keluarga hendaknya
disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
3.2
Saran
Kami menyarankan kepada para orang tua agar lebih memperhatikan
terkait dengan masalah pola asuh anak dalam keluarga hal ini mungkin merupakan
PR yang besar bagi semua orang tua karena pada saat ini banyak terjadinya
konflik-konflik serta kurangnya rasa simpati dan empati dari anak dalam
pergaulan tersebut disebabkan oleh pola asuh anak dalam keluarganya.
No comments:
Post a Comment