Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Thursday, October 24, 2024

Hubungan Akal dengan Iman

 

Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Kedudukan Akal dalam Islam

Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah, dalam permasalahan apapun. Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12) . Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya: “Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. As-Safarini t berkata: “Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah I telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah I dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih  tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)

Konsep Iman, Ilmu, dan Akal

Konsep Iman, ilmu dan amal adalah tiga sendi dalam pemaknaan kehidupan manusia yang harus dipahami oleh segenap manusia. Memahami konsep Iman, Ilmu dan Amal adalah hal terpenting dalam kehidupan kita, banyak kita lihat dalam realita kehidupan kita bahwasanya “ada orang yang beriman dan beramal tapi ilmunya kosong” atau ada orang yang ilmunya banyak tetapi imannya kosong” atau “ ada orang yang ilmunya banyak tapi amalnya kosong”. Ini adalah realita kehidupan kita yang tidak bisa kita munafikan.

Iman

Menurut Seorang ulama, Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan amal perbuatan. Meski diri kita memiliki ilmu yang sedikit akan tetapi Iman kita kuat dan tulus maka itu akan jauh lebih mulia dari pada orang yang hanya sekedar berilmu tapi tidak beriman.

Iman adalah hal pertama yang harus dimiliki oleh setiap umat islam. Tidak heran banyak orang berilmu tetapi malah menjadi penentang-penentang tuhan, sebut saja nitzel seorang atheis yang coba mencari keberadaan tuhan dengan sains atau ilmu yang ia agung-agungkan ternyata malah menjerumuskan dia ke kesesatan yang nyata. Terkenal sebuah semboyan nitzel bahwa “tuhan sudah mati”. Ternyata, Ilmu yang kita agung-agungkan  juga dapat menyesatkan kita kedalam kegelapan.

Sebenarnya kita sebelum mengngagumi ilmu pengetahuan terlebih dahulu, kita harus mengngagumi pencipta ilmu pengetahuan yakni Allah SWT. Yakni menyakini dengan seyakin-yakinnya Allah lah yang maha Pemberi Ilmu. Dengan demikian kita akan menjadi pribadi yang bukan hanya berilmu tapi juga beriman. Ilmu Allah jika dibandingkan dengan Ilmu manusia “ibarat kita mencelupkan jarum di samudra, tetesan air yang jatuh dari jarum itulah ilmu manusia sedangkan ilmu Allah ialah Samudra itu. Marilah kita beriman kepada yang Maha Pemberi Ilmu yakni Allah ‘Azza wa Jalla.

Ilmu

Setelah kita beriman kepada Allah, tentunya itu saja tidak cukup, kita harus melengkapinya dengan ilmu. Keterikatan antara ilmu dan iman sangatlah erat sehingga dalam sebuah nasehat Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda,”iman itu ibarat orang yang telanjang yang pakaiannya adalah ketakwaan, perhiasannya adalah sifat malu dan buahnya adalah ILMU.”

Ilmu adalah sumber kemuliaan. Meski ada orang yang miskin akan tetapi jika dia memiliki ilmu dia akan selalu dimuliakan oleh orang lain dan derajatnya tinggi di hadapan ALLAH

Amal

Setalah memiliki ilmu dan Iman, akan lebih sempurna dan indah jika dilengkapi dengan Amal. Amal adalah suatu tindakan yang dilakukan sebagai bentuk pengaplikasian dari ilmu yang sudah kita miliki. Orang akan lebih besar dosanya dari orang yang bodoh apabila dia telah memiliki ilmu akan tetapi dia tetap melakukan perbuatan terlarang itu.

Tentu kita sebagai manusia sering mendapati orang-orang yang memiliki ilmu yang melimpah akan tetapi apa yang dimiliki tidak pernah diamalkan. Seorang ulama besar pernah mengatakan bahwa ilmuku bukanlah dari kitab-kitab atau buku-buku yang aku tulis akan tetapi ialah segala sesuatau hal yang telah aku perbuat atau amalkan.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts