Asas-Asas Hukum Fiqih Muamalah dalam UU No.
21 Tahun 2008
Azas adalah
landasan atau dasar tempat berpijaknya sesuatu dengan tegak[1]
sementara prinspi adalah elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan
sesuatu.[2]
Reduksi dari kedua pengertian ini ialah bahwa prinsip bersifat umum sedangkan
asas bersifat khusus dan oleh karenanya asas adalah bagian dari prinsip.
Prinsip terkait dengan, dan lebih tepat untuk, hukum Islam secara lebih luas
dan umum, sementara asas terkait dengan, dan lebih pas untuk, fiqih muamalah
yang merupakan bagian dari hukum Islam.
Asas yang
terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2008 dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu:
1.
Asas Pertukaran Manfaat, Asas Kerjasama dan Asas
Hak Milik dalam UU No. 21 Tahun 2008
Asas pertukaran
manfaat direduksi dari QS. Ali-Imran [3]: 191. Ayat ini menerangkan bahwa
segala yang diciptakan oleh Allah SWT memiliki nilai kebaikan dan manfaat bagi
manusia. Firman Allah adalah aturan dan norma hukum yang bertujuan terciptanya
kebaikan (al-mashalih) manusia, dunia dan akhirat. Norma hukum tersebut oleh
para ulama diinterpretasi sehingga melahirkan salah satunya norma fiqih
muamalah. Norma fiqih muamalah sebagai bagian norma hukum islam memiliki tujuan
yang sama, yaitu al-mashalih.
Pertukaran
manfaat mengandung pengertian keterlibatan orang banyak, baik secara individual
maupun kelembagaan. Oleh karenanya dalam pertukaran manfaat terkandung norma
kerjasama. Disamping itu, pertukaran manfaat terkait dengan hak milik
seseorang, karena perputaran manfaat hanya dapat terjadi dalam benda yang
dimiliki, walaupun sebetulnya hak milik mutlak hanya ada pada Allah SWT,
sementara manusia hanya memiliki hak pemanfaatan. Proses pertukaran manfaat
melalui norma al-musyarakat dan norma
haq al-milk berakhir di norma al-ta’awun (tolong menolong).
Terkait dengan
UU No. 21 tahun 2008, asas pertukaran manfaat, asas musyarakah, asas
kepemilikan dan tolong menolong terlihat dalam pasal-pasal UU ini. Fungsi
perbankan syariah seperti tertuang dalam Pasal 4 melewati fungsi perbankan
konvensional. Ia tidak hanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat seperti
halnya bank konvensional, tetapi juga melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk bait al-mal dengan menerima dana zakat,
infak, shadaqah, hibbah, dana sosial lainnya, dan dana dari wakaf uang.
2.
Asas Pemerataan, ‘An Taradhin, dan Adam
al-Gharar dalam UU No. 21 Tahun 2008
Asas
pemerataan adalah kelanjutan sekaligus salah satu bentuk penerapan prinsip
keadilan dalam teori hukum Islam. Pada tataran ekonomi, prinsip ini menempatkan
manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki,
mengelola dan menikmati sumber daya ekonomi sesuai dengan kemampuannya.[3]
Perbedaan agama, suku, jenis kelamin, dan tempat tinggal tidak menghilangkan
hak dan kewajiban mereka bermuamalah antara sesamanya, terutama yang berkaitan
dengan masalah ekonomi perbankan.
Implementasi
prinsip pemerataan dan kesempatan diperlihatkan oleh UU ketika ia menerangkan
mekanisme dan aturan kepemilikan Bank Syariah atau UUS; fungsi dan kegiatan
Bank Syariah dan UUS, karyawan Bank Syariah dan UUS dan aspek sosial Bank
Syariah atau UUS. Bank ini dengan persyaratan tertentu, terbuka untuk dimiliki
dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bahkan oleh orang atau badan hukum
asing.
3.
Asas al-Birr
wa al-Taqwa
Asas al-birr wa al-taqwa merupakan asas yang
mewadahi seluruh asas muamalah lainnya. Artinya, segala asas dalam lingkup
fiqih muamalah dilandasi dan diarahkan untuk al-birr wa al-taqwa. Al-Birr artinya kebajikan dan berimbang atau
proporsional, maksudnya adalah keadilan.[4]
Adapun al-taqwa memiliki beberapa pengertian, diantaranya ialah: (1) takut, (2)
hati-hati, (3) jalan lurus; (4) meninggalkan yang tidak berguna; dan (5)
melindungi dan menjaga diri dari murka Allah.
Isi pasal 26
UU No. 21 Tahun 2008 mengindikasikan adanya ruh al-birr wa al-taqwa. Ia mengatur tentang kewajiban ketundukan
kegiatan usaha dan atau produk serta jasa syariah kepada prinsip syariah yang
difatwakan oleh MUI dan dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Fatwa
ini dipresentasikan melalui fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang sampai
tahun 2009 telah mengeluarkan tidak kurang dari 40 fatwa.[5]
Sesuai karakter dan fungsi fatwa yaitu aturan yang tidak mengikat tetapi berupa
arahan dan nasihat, baik ia difatwakan langsung oleh ulama maupun atas dasar
permintaan pihak lain, fatwa bertujuan untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan
hidup manusia. Tujuan ini berkorelasi dengan prinsip al-birr wa al-taqwa dalam hukum Islam, yaitu kebahagiaan yang
terhindar dari murka Allah SWT.
[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992) hlm. 5
[2] Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam. Hlm. 57.
[3] QS. Hud [11]:61
[4] Muhammad Jamal al-Din
al-Qasimy, Tafsir al-Qasimy al-Musamma
Mahasin al-Ta’wil (Beirut: Dar al-Fikr, 1978) Jilid IX Juz 16 hlm. 128
[5]
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majilis Ulama
Indonesia dan bank Indonesia, 2003/1424 H), Cet II hlm. V-VI.
No comments:
Post a Comment