Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Monday, August 5, 2019

Asas-Asas Hukum Fiqih Muamalah dalam UU No. 21 Tahun 2008


Asas-Asas Hukum Fiqih Muamalah dalam UU No. 21 Tahun 2008
Azas adalah landasan atau dasar tempat berpijaknya sesuatu dengan tegak[1] sementara prinspi adalah elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan sesuatu.[2] Reduksi dari kedua pengertian ini ialah bahwa prinsip bersifat umum sedangkan asas bersifat khusus dan oleh karenanya asas adalah bagian dari prinsip. Prinsip terkait dengan, dan lebih tepat untuk, hukum Islam secara lebih luas dan umum, sementara asas terkait dengan, dan lebih pas untuk, fiqih muamalah yang merupakan bagian dari hukum Islam.
Asas yang terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2008 dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu:
1.   Asas Pertukaran Manfaat, Asas Kerjasama dan Asas Hak Milik dalam UU No. 21 Tahun 2008
Asas pertukaran manfaat direduksi dari QS. Ali-Imran [3]: 191. Ayat ini menerangkan bahwa segala yang diciptakan oleh Allah SWT memiliki nilai kebaikan dan manfaat bagi manusia. Firman Allah adalah aturan dan norma hukum yang bertujuan terciptanya kebaikan (al-mashalih) manusia, dunia dan akhirat. Norma hukum tersebut oleh para ulama diinterpretasi sehingga melahirkan salah satunya norma fiqih muamalah. Norma fiqih muamalah sebagai bagian norma hukum islam memiliki tujuan yang sama, yaitu al-mashalih.
Pertukaran manfaat mengandung pengertian keterlibatan orang banyak, baik secara individual maupun kelembagaan. Oleh karenanya dalam pertukaran manfaat terkandung norma kerjasama. Disamping itu, pertukaran manfaat terkait dengan hak milik seseorang, karena perputaran manfaat hanya dapat terjadi dalam benda yang dimiliki, walaupun sebetulnya hak milik mutlak hanya ada pada Allah SWT, sementara manusia hanya memiliki hak pemanfaatan. Proses pertukaran manfaat melalui norma al-musyarakat dan norma haq al-milk berakhir di norma al-ta’awun (tolong menolong).
Terkait dengan UU No. 21 tahun 2008, asas pertukaran manfaat, asas musyarakah, asas kepemilikan dan tolong menolong terlihat dalam pasal-pasal UU ini. Fungsi perbankan syariah seperti tertuang dalam Pasal 4 melewati fungsi perbankan konvensional. Ia tidak hanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat seperti halnya bank konvensional, tetapi juga melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk bait al-mal dengan menerima dana zakat, infak, shadaqah, hibbah, dana sosial lainnya, dan dana dari wakaf uang.


2.   Asas Pemerataan, ‘An Taradhin, dan Adam al-Gharar dalam UU No. 21 Tahun 2008
Asas pemerataan adalah kelanjutan sekaligus salah satu bentuk penerapan prinsip keadilan dalam teori hukum Islam. Pada tataran ekonomi, prinsip ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki, mengelola dan menikmati sumber daya ekonomi sesuai dengan kemampuannya.[3] Perbedaan agama, suku, jenis kelamin, dan tempat tinggal tidak menghilangkan hak dan kewajiban mereka bermuamalah antara sesamanya, terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi perbankan.
Implementasi prinsip pemerataan dan kesempatan diperlihatkan oleh UU ketika ia menerangkan mekanisme dan aturan kepemilikan Bank Syariah atau UUS; fungsi dan kegiatan Bank Syariah dan UUS, karyawan Bank Syariah dan UUS dan aspek sosial Bank Syariah atau UUS. Bank ini dengan persyaratan tertentu, terbuka untuk dimiliki dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bahkan oleh orang atau badan hukum asing.

3.   Asas al-Birr wa al-Taqwa
Asas al-birr wa al-taqwa merupakan asas yang mewadahi seluruh asas muamalah lainnya. Artinya, segala asas dalam lingkup fiqih muamalah dilandasi dan diarahkan untuk al-birr wa al-taqwa. Al-Birr artinya kebajikan dan berimbang atau proporsional, maksudnya adalah keadilan.[4] Adapun al-taqwa memiliki beberapa pengertian, diantaranya ialah: (1) takut, (2) hati-hati, (3) jalan lurus; (4) meninggalkan yang tidak berguna; dan (5) melindungi dan menjaga diri dari murka Allah.
Isi pasal 26 UU No. 21 Tahun 2008 mengindikasikan adanya ruh al-birr wa al-taqwa. Ia mengatur tentang kewajiban ketundukan kegiatan usaha dan atau produk serta jasa syariah kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh MUI dan dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Fatwa ini dipresentasikan melalui fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang sampai tahun 2009 telah mengeluarkan tidak kurang dari 40 fatwa.[5] Sesuai karakter dan fungsi fatwa yaitu aturan yang tidak mengikat tetapi berupa arahan dan nasihat, baik ia difatwakan langsung oleh ulama maupun atas dasar permintaan pihak lain, fatwa bertujuan untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup manusia. Tujuan ini berkorelasi dengan prinsip al-birr wa al-taqwa dalam hukum Islam, yaitu kebahagiaan yang terhindar dari murka Allah SWT.   


[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992) hlm. 5
[2] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam. Hlm. 57.
[3] QS. Hud [11]:61
[4] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy, Tafsir al-Qasimy al-Musamma Mahasin al-Ta’wil (Beirut: Dar al-Fikr, 1978) Jilid IX Juz 16 hlm. 128
[5] Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majilis Ulama Indonesia dan bank Indonesia, 2003/1424 H), Cet II hlm. V-VI.

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts