Citra Guru dalam Masyarakat Tradisional (Pramodem)
Di dalam bahasa Sansekerta, guru berarti
yang dihormati. Rasa hormat ini sampai kini masih hidup di tengah masyarakat
tradisional/pedesaan. Mereka masih menaruh rasa hormat dan status sosial yang
tinggi terhadap profesi guru. Di kepulauan Sangihe, misalnya, masyarakat
menyebut guru pria dengan panggilan tuan, lengkapnya tuan guru, suatu panggilan
yang penuh rasa kagum dan hormat terhadap profesi guru.
Masyarakat pedesaan umumnya menganggap
profesi guru sebagai profesi orang suci (saint) yang mampu memberi pencerahan
dan dapat mengembangkan potensi yang tersimpan di dalam diri siswa. Selain itu
sebagian besar masyarakat tradisional memiliki mitos yang kuat bahwa guru
adalah profesi yang tidak pernah mengeluh dengan gaji yang minim, profesi yang
dapat dilakukan oleh siapa saja dan profesi yang bangga dengan gelar pahlawan
tanpa tanda jasa.
Dalam pandangan masyarakat tradisional,
guru dianggap profesional jika anak sudah dapat membaca, menulis dan berhitung,
atau anak mendapat nilai tinggi, naik kelas dan lulus ujian.
Citra Guru dalam Masyarakat
Modern
Dalam pandangan masyarakat modern, guru
belum merupakan profesi yang profesional jika hanya mampu membuat murid
membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai tinggi, naik kelas, dan
lulus ujian. Masyarakat modern menganggap kompetensi guru belum lengkap jika
hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang dimiliki melainkan juga dari
orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi.
Bagi masyarakat modern, eksistensi guru
yang mandiri, kreatif, dan inovatif merupakan salah satu aspek penting untuk
membangun kehidupan bangsa. Banyak ahli berpendapat bahwa keberhasilan negara
Asia Timur (Cina, Korsel dan Jepang) muncul sebagai negara industri baru karena
didukung oleh penduduk/SDM terdidik dalam jumlah yang memadai sebagai hasil
sentuhan manusiawi guru.
Salah satu bangsa modern yang menghargai
profesi guru adalah bangsa Jepang. Bangsa Jepang menyadari bahwa guru yang
bermutu merupakan kunci keberhasilan pem bangunan. She no on wa yama yori mo
ta/(ai umiyorimo fu/(ai yang berarti jasa guru lebih tinggi dari gunung yang
paling tinggi, lebih dalam dari laut paling dalam. Hal ini merupakan ungkapan
penghargaan bangsa Jepang terhadap profesi guru.
Guru pada sejumlah negara maju sangat
dihargai karena guru secara spesifik,
· Memiliki kecakapan dan kemampuan untuk
memimpin dan mengelola pendidikan;
· Memiliki ketajaman pemahaman dan
kecakapan intektual, cerdas emosional dan sosial untuk membangun pendidikan
yang bermutu; dan
· Memiliki perencanaan yang matang,
bijaksana, kontekstual dan efektil untuk membangun humanware (SDIVI) yang
unggul, bermaltabat dan memiliki daya saing.
Keunggulan mereka adalah terus maju
untuk mencapai yang terbaik dan memperbaiki yang terpuruk. Mereka secara
berkelanjutan (sustainable) terus menigkatkan mutu diri dari guru biasa ke guru
yang baik dan terus berupaya meningkat ke guru yang Iebih baik dan akhirnya
menjadi guru yang terbaik, yang mampu memberi inspirasi, ahli dalam materi,
memiliki moral yang tinggi dan menjadi teladan yang baik bagi siswa.
Di negara kita, guru yang memiliki
keahlian spesialisasi harus diakui masih Iangka. Walaupun sudah sejak puluhan
tahun disiapkan, namun hasilnya masih belum nampak secara nyata. Ini disebabkan
karena masih cukup banyak guru yang belum memiliki konsep diri yang baik,
tidaktepat menyandang predikat sebagai guru, dan mengajar mata pelajaran yang
tidak sesuai dengan keahliannya (m/Vsmatch). Semuanya terjadi karena kemandirian
guru belum nampak secara nyata, yaitu sebagian guru belum mampu melihat konsep
dirinya (se/fconsepz), ide dirinya (se/fidea), dan realita dirinya
(se/frea/ity). Tipe guru sepeni ini mustahil dapat menciptakan suasana kegiatan
pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Guru adalah bagian dari kesadaran sejarah pendidikan
di dunia. Citra guru berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan dan
perubahan konsep dan persepsi manusia terhadap pendidikan dan kehidupan itu
sendiri. Dalam hal ini profesi guru pada mulanya dikonsep sebagai kemampuan
memberi dan mengembangkan pengetahuan pesena didik. Namun, beberapa dasawarsa
terakhir konsep, persepsi, dan penilaian terhadap profesi guru mulai
bergeser.
Hal itu selain karena perubahan
pandangan manusia-masyarakat terhadap integritas seseorang yang berkaitan
dengan produktivitas ekonomisnya, juga karena perkembangan yang cukup radikal di
bidang pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi dan komunikasi,
yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigma teknologi
pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru
mulai mengalami dilema eksistensial. Artinya, penguasaan ilmu pengetahuan tidak
lagi menjadi hegemoni guru, tetapi menyebar seluas perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi seperti dunia penerbitan, buku, majalah, koran, Serta
media elektronik lainnya. Untukitu, posisi krusial guru perlu dijernihkan
tatkala kita hendak merumuskan kembali pendidikan yang Iebih memajukan masa
depan generasi berikutnya.
Dengan demikian, para guru dituntut
tampil lebih profesional, lebih tinggi ilmu pengetahuannya dan lebih cekatan
dalam penguasaan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya, guru mau tidak
mau dan dituntut harus terus meningkatkan kecakapan dan pengetahuannya
selangkah ke depan lebih dari pengetahuan masyarakat dan anak didiknya. Dalam
kehidupan bermasyarakat pun guru diharapkan lebih bermoral dan berakhlak
daripada masyarakat kebanyakan, tetapi di situlah muncul problem tatkala para
guru tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki segala akses dan jaringan
informasi sepeti TV, buku-buku, majalah, dan koran. Guru-guru memiliki gaji dan
tunjangan yang jauh dari cukup untuk meningkatkan profesinya sekaligus
memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan berbagai dinamika
kehidupan modern. Sehingga, rasanya sangat sulit di era modern ini guru dapat
tampil lebih profesional, memiliki tanggung jawab moral profesi sebagai
konsekuensi etisnya.
No comments:
Post a Comment