Kegiatan berbicara terjadi dalam
fase awal ketika pembicara memiliki gagasan. Gagasan tersebut merupakan pesan psikologis yang baru
diketahui melalui gejala-gejala perilakunya dalam bentuk ujaran. Sebelum diungkapkan, gagasan atau pesan ini ditata
menurut pengetahuan linguistik atau bahasa yang telah diperolehnya melalui
pengalamannya dalam peristiwa pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Penataan tersebut dilakukan
atas pertimbangan-pertimbangan dalam segi komunikasinya. Dalam kaitan ini,
Djago Tarigan (1995:186) mengemukakan pentingnya penataan pembicaraan dengan mempertimbangkan aspek-aspek komunikasi yaitu “tujuan komunikasi, materi
komunikasi, cara komunikasi dan efek komunikasi”.
Pada aspek pertama, tersirat maksud pembicara sehubungan dengan gagasan atau pesan yang dimilikinya. Dalam hal ini terjadi,
pertimbangan untuk apa komunikasi itu dilakukan, misalnya
untuk memberitahukan, meminta jawaban, menyuruh atau melarang, mengajar atau meyakinkan dan sebagainya. Pada
aspek kedua, pembicara menetapkan pesan apa
saja yang selayaknya
dikemukakan dalam pembicaraannya. Pada aspek
ketiga, sesuai dengan kemampuan linguistiknya, pembicara mempertimbangkan
cara-cara yang mungkin dilakukan agar tujuan komunikasinya tercapai. Pada aspek
keempat pembicara mempertimbangkan efek atau kemungkinan yang terjadi dalam komunikasi yang akan dilakukannya. Kesalahan dalam
mempertimbangkan aspek-aspek tesebut membuka peluang gagal atau rendahnya efektivitas berbicara.
Sehubungan efektivitas berbicara ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Dalam kaitan ini,
Djago Tarigan (1995:187) mengemukakan empat faktor yang bersinegi dan besar pengaruhnya terhadap
efektivitas berbicara, yaitu “situasi ,
pembicara, penyimak dan ragam ujaran”. Situasi berbicara mengacu pada keadaan
lingkungan tempat kegiatan
berbicara diselenggarakan, situasi berbicara dapat diklasifikasikan atas situasi geografis dan situasi sosial. Keduanya memiliki
pengaruh yang besar
terhadap efektivitas berbicara, baik yang sifatnya verbal maupun non verbal.
Dalam peristiwa berbicara, pembicara merupakan faktor utama alam menciptakan kegiatan
yang komunikatif. Kegiatan berbicara dilakukan dalam usaha menciptakan suasana yang komunikatif. Untuk
itu diperlukan
adanya penyimak dalam komunikasi, pesan pembicara diharapkan dapat
diterima penyimak sebagai pesan yang sesuai dengan harapan pembicara.
Efektivitas berbicara ditentukan pula oleh derajat kekomunikatifan
antara pembicara
dan penyimak. Untuk berbicara secara efektif, pembicara dituntut menguasai
bahasa yang sama-sama dikuasai pula
oleh penyimak. Dalam hal ini pembicara harus mampu menyajikan gagasan atau pesannya ke dalam bentuk bahasa yang berupa ujaran. Kemampuan pembicara
dalam menggunakan bahasa dapat
ditinjau dari kemampuan linguistiknya.
Masing-masing tercakup dalam aspek-aspek
ponologis, gramatiknya, dan aspek kosa kata
atau leksikal yang berlaku dalam bahasa tersebut.
Untuk menjadi pembicara yang baik, dibutuhkan penguasaan
atas beberapa kemampuan. Menurut Djago Tarigan
(1995:195), kemampuan yang dimaksud mencakup kemampuan memilih topik yang
jelas, menguasai materi, memahami
latar belakang pendengar, dan mengetahui situasi. Selain itu, Ehninger sepertoi dikutip Djago Tarigan
mengajukan delapan langkah yang harus dilakukan dalam mempersiapkan suatu pembicaraan.
Kedelapan langkah tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Menyeleksi dan memusatkan
pokok pembicaraan, (2) Menentukan
tujuan khusus pembicaraan, (3) menganalisis pendengar dan situasi, (4) mengumpulkan materi pembicaraan, (5) menyusun kerangka dasar
pembicaraan, (6) mengembangkan kerangka dasar,
(7) berlatih dengan suara keras,
jelas dan lancar, dan (8) mengajukan pembicaraan.
No comments:
Post a Comment