Pada masa pra komunikasi
media massa, umumnya orang bergantung kepada
orang-orang lain untuk mencatat, menafsirkan, menyampaikan pesan-pesan
kepadanya dengan cara yang amat pribadi. Zaman komunikasi massa tiba
ketika orang-orang telah mampu menciptakan mesin reproduksi yang dapat menggantikan komunikator pribadi dan melipatgandakan pesan- pesannya. Maka setelah
perkembangan media massa sebagai sarana informasi di Indonesia, tidak
terlepas dari jalannya pembangunan nasional di
segala sektor kehidupan
masyarakat. Kecenderungan misi media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional
untuk itu harus di topang institusi, pengontrol
serta perangkat aturan lain, yang jelas konsep dan pelaksanaanya
(kode etik media massa). Terjadinya
penyimpangan kode etik pada media massa
disebabkan oleh lemahnya kontrol terhadap media massa serta tidak
dilaksanakannya secara tegas UU untuk
kode etik yang dibuat agar tidak terjadi efek media massa yang negatif dan dapat menyebabkan ketimpangan dalam agama.
Media merupakan sarana komunikasi bagi masyarakat, yang
terletak di antara dua pihak sebagai perantara atau penghubung. Sedangkan McLuhan bersama
Quentin Fiore, menyatakan bahwa
“media setiap zamannya menjadi esensi
masyarakat” hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat dan media selalu berkaitan
dan media menjadi bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat, sadar atau tidak sadar bahwa media
memiliki pengaruh yang berdampak positif maupun negatif
dalam pola dan tingkah laku masyarakat.
Media massa meliputi media cetak, media elektronik dan
media online. Media cetak terbagi
menjadi beberapa macam diantaranya seperti
koran, majalah, buku, dan
sebagainya, begitupula dengan media elektronik terbagi menjadi dua macam, diantaranya radio dan televisi, sedangkan
media online meliputi media internet seperti website,
dan lainnya. Jika dilihat dari kemampuannya menarik perhatian
manusia (masyarakat), ketiga jenis media massa tersebut sama-sama memiliki strategi dalam menarik perhatian khalayak. Mengenai menarik perhatian
masyarakat, media sosial yang merupakan bagian dari media online bisa saja lebih aktif dalam
mengalihkan perhatian masyarakat dari media massa dan hanya tertuju
pada media sosial.
Jika khalayak tersebar tanpa diketahui
dimana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa adalah
alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber ke penerima dengan
menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan
televisi. Adapun karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-
135) adalah:
1.
Bersifat
melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni
mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
2.
Bersifat
satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya
dialog antara pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik,
biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3.
Meluas
dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia
memiliki kecepatan bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan
diterima oleh banyak orang pada saat
yang sama.
4.
Memakai
peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, film dan semacamnya. Bersifat
terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa
mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Jadi, media massa adalah industri dan
teknologi komunikasi yang mencakup surat kabar, majalah, radio, televisi dan
film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan teknologi komunikasi untuk
mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu dan menjangkau banyak orang.
Media massa sering digunakan untuk
menimbulkan perubahan yang melibatkan difusi atau suatu inovasi
atau tipe lain program intervensi sosial. Di
pihak lain, beberapa peneliti menggarisbawahi fungsi konservatif media massa. Mereka mengungkapkan bahwa fungsi
media massa yang lebih umum ialah untuk memperkuat kepercayaan yang telah ada, attitude, dan cara mengerjakan sesuatu, daripada
mendorong perubahan.
Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya bahwa realitas yang ada dalam masyarakat kemudian
dikonstruksi kembali ke dalam media dengan cara yang berbeda sesuai dengan
kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi
media. Semua elemen tersebut berpadu
dan membentuk gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik. Tidaklah mengherankan jika satu event/kejadian yang
sama seperti bencana alam,
kecelakaan dan kegiatan seremoni
bisa dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena media mengambilnya dari sudut (angle)
yang berbeda dan dipersepsikan secara berbeda pula. Bagaimanapun warna sebuah
berita setidaknya ditentukan oleh wartawan di lapangan, redaktur,
kebijakan redaksional, visi dan ideologi media. Elemen tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
produksi pesan baik pada media cetak maupun elektronik.
Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi di
garis depan dari sebuah perubahan
sosial. Dalam konteks ini perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat
dipengaruhi oleh proses komunikasi lintas wilayah
dan budaya. Komunikasi mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan tatanan sosial
masyarakat. Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia
modern melingkupi pergerakan manusia, barang atau gagasan
di antara negara dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan acuan menggali hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan dan konsumerisme.
Perkembangan
media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks sebagai
institusi sosial dan politik belaka, melainkan juga harus dilihat dalam konteks
institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan saja
sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga sebagai perusahaan yang
menekankan keuntungan ekonomi. Institusi media harus dinilai sebagai dari
sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Inilah yang
dimaksudkan bahwa media mempunyai dua karakter yang tidak terpisahkan: karakter
sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Faktor ekonomi rupanya menjadi
faktor penentu dalam memengaruhi seluruh perilaku media massa modern.
Perkembangan
teknologi telah menempatkan komunikasi di garis depan dari sebuah perubahan
sosial. Dalam konteks ini perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat
dipengaruhi oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi
mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan tatanan sosial
masyarakat. Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia modern melingkupi
pergerakan manusia, barang atau gagasan di antara negara dan akselerasi
wilayah. Ada empat dimensi pokok globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan
acuan menggali hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi
komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan dan konsumerisme.
Dalam
situasi dimana pergulatan ideologi berlangsung dengan ketat, bangsa Indonesia
mengalami tekanan yang mengakibatkan keterpurukan dan krisis dalam berbagai
aspek kehidupan – khususnya watak bangsa (nation character) sehingga sulit
melihat dengan jernih bagaimana kolonialisme bermetamorfosis dengan banyak
istilah seperti ‘globalisasi ekonomi’ yang secara perlahan masuk melalui banyak
pintu. Kolonialisme dan kapitalisme selalu bermuara pada pengerukan
sebanyak-banyaknya sumber-sumber produksi untuk mencapai keuntungan
sebanyak-banyaknya. Paham ini mulai berkembang di kota-kota utama dunia besar
sebagai pusat masuknya informasi yang kemudian merembes ke kota besar dan
kota-kota kecil lainnya lewat istilah kosmopolitan. Karena istilah ini lahir
dalam budaya Barat – tentu saja tidak terlepas dari akar ideologi tersebut.
Pada intinya istilah kosmopolitan mengandung dimensi keanekaragaman lalu lintas
budaya dari berbagai kutub peradaban. Namun yang kemudian terjadi adalah
istilah ini kemudian menyempit dan menjadi ‘made in USA’.
Salah
satu pengertian sempit globalisasi adalah Amerikanisasi – pengertian ini
rasanya tidak berlebihan bila melihat desarnya arus modal Amerika yang menembus
berbagai belahan dunia. Pada tahun 2002 Divisi Kependudukan PBB mencatat bahwa
Mc. Donald’s sebagai salah satu ‘made in Amerika’ terkemuka memiliki 30.000
warung di 118 negara di dunia dan diperkirakan dalam dekade 1999 - 2000 an
setiap hari ada 3 warung Mc.Donald’s di buka, bisa dibayangkan bagaimana derasnya
penetrasi label Amerika di hampir seluruh penjuru dunia.
Penetrasi
ini secara perlahan menggiring berbagai lapisan masyarakat terutama generasi
muda yang dengan tidak sadar membangun konsep diri (self concept) yang rentan
menimbulkan rasa minder (inferior) bila mengidentifikasikan diri di saat juga
harus menghadapi masalah dan tekanan dari luar dan dalam budaya sendiri. Mereka
merasa malu dan minder bila tidak nongkrong di KFC, berbalut merek Blue Jeans
dan Lee Cooper serta rasa minder kalau tidak mengidentifikasikan dirinya dengan
label-label Barat. Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah pintu
masuknya Amerikanisasi berawal, khasanah nilai-nilai dan kearifan lokal yang
mengagungkan kesederhanaan, beralih dengan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan
standar materi dan hedonisme.
Tayangan
yang hadir di layar kaca mewakili secara simbolis realitas yang ada didalam
masyarakat. Jika saat ini - misalnya dalam program stasiun televisi di negeri
ini saat ini banyak yang bermunculan tayangan bertema hantu - itulah realitas
masyarakat kita. Lalu ketika muncul protes dan kritikan karena dianggap kurang
mendidik apakah mesti dibuatkan Undang - Undang Anti hantu seperti halnya
Rencana Undang-Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini sedang
digagas dan menimbulkan pro dan kontra?
Meskipun
banyak pendapat yang mengatakan bahwa realitas dalam masyarakat dikonstruksi
kembali kedalam media melalui film dan sinetron namun semuanya belumlah
merupakan realitas sesungguhnya. Kita bisa melihat bagimana sinetron di
televisi sebagai hiburan yang mengangkat “realitas perempuan” yang mayoritas
penontonnya perempuan muda, ibu-ibu dan pembantu rumah-tangga. Kebanyakan
tayangan tersebut menampilkan perempuan yang memarahi anak gadis, suami,
pembantu hingga tetangganya sampai kelihatan urat lehernya. Mungkin salah satu
sebab mengapa para tenaga kerja wanita yang berprofesi sebagai PRT yang dikirim
keluar negeri mengalami pelecehan karena dari dalam negeri sendiri terlalu
sering dikatakan pembantu bodoh dan dungu. Secara tidak sadar perempuan
Indonesia direpresentasikan oleh seringnya tokoh perempuan menangis dalam
begitu banyak episode Sinetron dan film serta pakaian minim artis dan liuk
tubuh penyanyi dangdut perempuan. Pertanyaannya adalah apakah realitas yang
dikonstruksi media tersebut identitas perempuan bangsa Indonesia? Jawabannya
mungkin bukan mencerminkan identitas perempuan Indonesia tetapi itulah realitas
perempuan Indonesia saat ini.
Diakui
atau tidak, media massa telah menarik begitu banyak energi sosial mulai dari
pakaian, cita rasa, hingga pemakaian bahasa. Melalui media massa elemen-elemen
budaya pop Amerika seakan menjadi menu yang melebur dan membentuk watak budaya
pop di Indonesia, merembes dari kota-kota besar lalu menuju kota-kota kecil. Lihatlah
bagaimana Britney Spears, Christina Aguillera atau Ashley Simpson kemudian
menular ke Agnes Monika dan artis remaja lainnya dan menjadi ikon remaja yang
diikuti gaya dandanannya. Kalau kebetulan ke Jakarta dan berjalan-jalan ke
pusat perbelanjaan maka kita akan menjumpai begitu banyak istilah yang campur
aduk mulai dari hingar-bingar pemakaian kata-kata bahasa Inggris tertentu
seperti “thank you”, “okay”, atau “cool” sampai “so what gitu loh” di hampir
semua media elektronik, Summit Building, Plaza Senayan, Atrium Plaza Senen,
Depok Trade Center dan masih banyak lagi – bahkan sudah merambah ke daerah
tercinta lewat “Sultan Square” - hanya untuk memberi label tempat merupakan
ciri dari bahasa budaya pop Indonesia. Akibatnya sering tidak terhindar dari kelatahan
salah kaprah pemahaman makna padahal begitu banyak padanannya dalam bahasa
Indonesia.
Bila
kita menonton tayangan dari negeri lainnya di Asia seperti Jepang, Thailand dan
Cina hampir tidak ditemukan eskpresi kemarahan berlebihan seperti di Indonesia.
Keberadaan perempuan yang konstruksi dalam berbagai jenis sinetron atau apapun
namanya boleh jadi merupakan gambaran kondisi psikologis yang disebut patologi
sosial “masyarakat yang sakit” suatu masyarakat yang sakit secara sosial karena
banyaknya himpitan persoalan yang tidak bisa dipecahkan sementara di lain pihak
mereka tidak mempunyai kemampuan subsistensi sosial yang cukup kuat, suatu
keadaan dimana masyarakat toleran dan sabar menghadapi berbagai macam persoalan
hidup. Antonio Gramsci, seorang penyokong teori media kritis menyatakan bahwa
proses hegemoni dapat muncul dalam banyak cara dan pola, intinya hal itu
terjadi ketika sesuatu diinterpretasi pada cara yang menungkinkan kepentingan
satu kelompok diatas yang lainnya. Mc.Quail dalam teori media kritis lainnya
mengatakan bahwa media merupakan pemain utama dalam pertarungan ideologi,
dimana ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh media. Dalam pandangan
marxisme klasik media merupakan instrumen kelas atau kelompok yang dominan
dimana kaum kapitalis mengembangkan ideologinya. Media menyebarkan ideologi
penguasaan dan menindas kelas lain dalam masyarakat.
Pada
gilirannya apa yang tertangkap stasiun televisi di pusat kekuasaan kemudian
merembes menuju kota lain dan kota-kota kecil sampai pelosok desa yang
terjangkau siaran tersebut. Pada tahap ini tidak ada yang dapat membendung
penetrasi berbagai nilai dan budaya dari luar selain kemampuan masyarakat itu
sendiri untuk dapat menjadi jaring bagi sebuah ketahanan budaya dan kearifan
lokal.
Pandemi virus corona covid-19 masih terjadi di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Bahkan hingga kini belum ada obat yang bisa
menyembuhkan penyakit ini. Meskipun saat ini sudah vaksin yang bertujuan untuk
mencegah dan mengatasi penularan virus corona covid-19. Sayangnya di
tengah usaha semua negara untuk melawan pandemi covid-19, hoaks juga menjamur. Peran media sangat strategis
untuk sosialisasi dan komunikasi saat menangani covid-19 ini. Negara kita saat
ini sedang dalam ancaman covid-19 dan setiap komponen bangsa harus
berpartisipasi untuk bela negara, termasuk para jurnalis.
Media
massa memiliki peranan yang sangat penting dalam sirkulasi informasi terkait
wabah Covid-19 baik antar satu daerah ke daerah lain maupun antara satu orang
ke orang yang lain. Itu artinya, peran media massa merupakan suatu hal yang
vital dalam mengatasi wabah Covid-19 ini. Media massa memiliki fungsi seperti
dua sisi mata pisau, satu sisi positif jika digunakan dengan baik dan disisi
yang lain bisa menjadi negatif jika berita yang disebarkan merupakan berita
yang hoax. Media massa memiliki hal yang positif jika informasi yang disebarkan
digunakan seperti sebagaimana mestinya. Misalnya, informasi bahayanya terkena
Covid-19, cara mengidentifikasi gejala Covid-19, cara menghindari terkena
Covid-19 dengan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat), dan bisa mengetahui berapa
banyak orang yang sudah terkena Covid-19 didaerah masing-masing.
Informasi
yang diberikan tersebut dapat membantu masyarakat untuk mengetahui lebih dini
mengenai wabah Covid-19 ini. Selain itu, informasi yang disebarkan juga bisa
membantu pemerintah untuk membuat data statistik penyebaran orang-orang yang
sudah posifif terkena Covid-19, sehingga dapat lebih berhati-hati bagi
masyarakat setempat yang tinggal di sana. Adapun dengan adanya media massa juga
bisa membantu pemerintah dalam penyebaran informasi tentang wabah Covid-19 ini
agar lebih cepat, akurat, dan terpercaya.
Media
massa memiliki hal yang negatif jika informasi yang disebarkan tidak digunakan
sebagaimana mestinya. Sebagai contoh berita yang disebarkan oleh suatu media
massa adalah informasi yang hoax (tidak benar), informasi yang disebarkan
digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat, informasi yang disebarkan
menimbulkan kekhawatiran dan keresahan antar sesama masyarakat, dan informasi
yang disebarkan berupaya untuk membuat masyarakat melakukan judgement kepada
orang yang terkena Covid-19.
Namun,
sayangnya masyarakat malah percaya dengan berita hoax yang menyatakan bahwa
tempat jenazah dimakamkan bisa menularkan virusnya ke orang lain juga. Selain
itu, ada juga berita mengenai pengobatan-pengobatan tradisional yang mampu
untuk terhindar dari Covid-19 ini. Padahal, berita ini tidaklah 100% benar akan
bisa terhindar dari Covid-19 ini, melainkan obat-obatan tradisional ini
hanyalah agar imun tubuh kita kuat, sehingga terhindar dari berbagai penyakit
namun tidak juga bisa menjamin terhindar dari Covid-19 karena para ilmuwan
masih belum meneliti tentang hal itu. Sedangkan saat ini para peneliti di
berbagai belahan dunia manapun sedang meneliti tentang vaksin yang dapat
digunakan dalam mengatasi wabah Covid-19 ini.
Peran
media massa juga sangat penting untuk membantu pemerintah dalam menyebarkan
informasi mengenai wabah covid-19 ini. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat
awam seharusnya dapat memilah mana berita yang benar dan mana berita yang salah
sehingga kita tidak berspekulasi yang tidak baik mengenai orang-orang yang
menjadi korban terkena covid-19 ini. Bukankah kita juga sebagai umat Islam
sudah diajarkan bagaimana untuk tetap ber-tabayyun terhadap berita yang kita
dapatkan.
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (QS. 33:70)”
Hal ini
dilakukan agar kita tidak mudah menyerap informasi yang tidak benar baik untuk
diri kita sendiri maupun membagikan informasinya untuk orang lain. Adapun di
antara langkah pemerintah untuk mengatasi penyebaran informasi yang hoax
melalui media massa adalah dengan melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat
dan menyebarkan website-website terpercaya yang memang bisa menjadi rujukan
masyarakat untuk mengetahui informasi terkini tentang perkembangan wabah
Covid-19 ini. Di samping itu juga, control dan pengawasan terhadap situs
ataupun website di dunia maya. Harapannya dengan ini semua informasi hoax
terkait Covid-19 dapat dikikis habis.
Kesimpulan
Efek media massa selain positif juga memiliki dampak negatif.
Pengelola komunikasi massa dapat dipastikan tidak berniat untuk menyebarkan
dampak negatif kepada khalayaknya. Media massa harus memiliki efek menambah
pengetahuan, mengubah sikap, menggerakkan perilaku. Efek yang terjadi pada tiga
aspek yaitu efek pengetahuan (afektif), perasaan (kognitif), dan pada sikap
perilaku (konatif).
Ada beberapa alasan yang mendorong kita untuk meningkatkan peranan
media massa antara lain agar media dapat memperkenalkan dan mengintegrasikan
inovasi yang diperlukan dalam perikehidupan masyarakat, agar media massa
memperluas wawasan yang dapat mengurangi ketegangan yang menyertai perubahan di
era global ini, agar media massa meredam konflik dengan menyediakan forum
diskusi dan dialog antara individu maupun antarkelompok dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Surat Al-Ahzab ayat 70
Amir, Ma’ruf. 1999. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan
Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Cangara, Hafied.1998. Pengantar
Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Effendy, Onong Uchjana.1991. Radio Siaran: Teori dan Praktek, Cet. III, Bandung: CV Mandar Maju.
Hamid, Farid dan Budianto, Heri. 2011. Ilmu Komunikasi Sekarang Dan Tantangan
Masa Depan. Jakarta.
Kencana Prenada Media Group
Jahi, Amri. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara- Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Muis, A. 2001. Komunikasi Islam, Cet
I. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rivers L. W,
dkk.2008. Media Massa & Masyarakat Modern. Terjemahan,
Massa Media and Modern Society, Oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Prenada
Media Group.
No comments:
Post a Comment