Bencana alam terjadi silih
berganti di 2021 yang baru berumur 20 hari. Pandemi Covid-19 menambah 169
bencana alam yang telah terjadi. Mengutip laman resmi Badan
Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB, tercatat terjadi 169 bencana alam plus
satu bencana non-alam, yakni pandemi Covid-19 pada tahun ini. Jadi, total
sebanyak 170 kejadian bencana. Dari 169 bencana alam tersebut, sebanyak 160
orang meninggal, 965 orang terluka, 1 orang hilang, dan 802.415 orang
mengungsi. Sementara kerusakan dari bencana alam ini adalah 133 bangunan rusak
berat, 1.685 rusak ringan, 60 bangunan rusak sedang, dan 126.672 rumah
terendam.
Bencana alam banjir terjadi paling banyak,
yakni 114 kejadian. Adapun peristiwa banjir yang paling parah terjadi di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD
Kalimantan Selatan menyatakan banjir di kawasan itu mengakibatkan 21 orang
meninggal, 110 tempat ibadah terendam, 76 sekolah rusak, 66. 768 rumah
kebanjiran, 21 jembatan rusak, dan 18.294 kilometer jalan rusak. Masyarakat
yang terdampak banjir sebanyak 120.284 kepala keluarga, 342.987 jiwa dan 63.608
orang mengungsi.
Terdapat 30 titik bencana tanah longsor.
Pertistiwa longsor yang parah terjadi di Sumedang, Jawa Barat pada 9 Januari
2021. Tanah longsor terjadi juga di kota Manado, Sulawesi Utara pada Sabtu, 16
Januari 2021 akibat hujan deras dan banjir.
Bencana alam putting beliung terjadi 18
kali di berbagai wilayah. Di Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
dilanda putting beliung dan hujan es pada Senin, 18 Januari 2021. Angin putting
beliung juga menghancurkan sejumlah rumah penduduk di Tasikmalaya, Jawa Barat,
pada awal Januari 2021.
Bencana alam gelombang pasang dan abrasi
terjadi lima kali. Pada Minggu, 17 Januari 2021 terjadi gelombang pasang air
laut setinggi hampir 4 meter di teluk Manado, Sulawesi Utara. Gelombang pasang
setinggi 3 meter juga terjadi di pesisir Batam pada awal Januari 2021.
Bencana alam gempa bumi yang paling parah
terjadi dua kali, yakni di Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene, Sulawesi
Barat. Gempa pertama di Mamuju dan Majene terjadi pada Kamis, 14 Januari 2021
pukul 14.45 WITA dengan kekuatan Magnitudo 5.9. kemudian terjadi sejumlah gempa
susulan.
Kerusakan SDA yang masif didukung dengan menguatnya dampak
perubahan iklim telah merusak tatanan berbagai ekosistem dan mengakselerasi
berbagai kejadian bencana. Terbukti selama tahun 2020 saja (BNPB 2020),
sebanyak 2946 total kejadian bencana telah terjadi di Indonesia. Kondisi ini
membutuhkan upaya-upaya besar untuk mengurangi resiko bencana, baik dalam
bentuk kebijakan, aksi maupun perubahan perilaku.
Indonesia sebagai negara dengan tingkat risiko bencana yang
tinggi menurut laporan World Risk Report 2016. Hal ini dipicu oleh tingginya
tingkat keterpaparan (minimnya infrastruktur) dan kerentanan terhadap bencana.
Selama kurun waktu lima tahun terakhir, bencana hidrometeorologi (banjir, tanah
longsor, dan puting beliung) mendominasi jumlah kejadian bencana.
umlah kejadian bencana sejak 2003 sampai 2019 menunjukan tren
peningkatan, dan menghambat pembangunan, sebab pola waktu dan tempat kejadian
bencana sulit diprediksi serta diperburuk oleh karakteristik yang berubah-ubah,
ungkap Rifai. Dampak yang diakibatkan oleh bencana pun tidak sedikit,
dilaporkan oleh BNPB, kejadian Karlahut 2015 telah menelan kerugian sebanyak
Rp221 T, erupsi Gunung Agung 2018 (Rp19 T), kejadian Gempa NTB 2018 (Rp18,1 T),
kejadian Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Sulteng 2018 (Rp36,8 T), serta
Tsunami Selat Sunda (Rp1,25 T). Untuk itu, pemerintah melalui BNPB pun telah
mengalokasikan dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi sebanyak Rp 9,24 T
(2015 – 2019), dengan total penerima hibah 543 daerah, meskipun jumlah tersebut
masih jauh dari total kebutuhan yaitu Rp 63,4 T, atau hanya sebanyak 14,6
persen saja.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah telah berupaya merumuskan
arah kebijakan pembangunan yang adaptif terhadap bencana, melalui beberapa
tahapan yaitu: 1) Perencanaan pembangunan daerah perlu dilandaskan pada
aspek-aspek PRB (Pengurangan Risiko Bencana), 2) Pelibatan akademisi dan pakar
secara masif, 3) Penunjukan Gubernur yang secara otomatis menjadi Komandan
Satgas Darurat, 4) Pembangunan EWS (Early Warning System) yang
terpadu, 5) Edukasi kebencanaan, dan 6) Simulasi latihan penanganan bencana
secara berkala dan berkesinambungan.
Pentingnya kolaborasi “Penta Helix”, dengan melibatkan pihak
Pemerintah, Lembaga Usaha, Akademisi (Tri Dharma Perguruan Tinggi), dan peran
serta media. Tidak ketinggalan, pandemi Covid-19 sebagai bencana non-alam juga
turut menjadi perhatian dengan menguraikan sejumlah Peraturan Perundang-undangan
terkait Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19, salah satunya adalah Perpres 82
tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19, dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Di antara strategi pemulihan pasca Covid-19 yang dilakukan adalah dengan
melakukan kegiatan ekonomi melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat,
meningkatkan budaya dan perilaku disiplin, penerapan kebijakan Tatanan Baru,
dan adaptasi bersama Covid-19 menuju Indonesia produktif dan aman.
Pentingnya memahami aspek SDA dan valuasi dampak bencana,
mengingat pentingnya peran SDA bagi perekenomian. Karakteristik non-excludable pada
SDA milik bersama dan barang public mendorong eksternalitas negative yang masif
yang sering kali berujung pada bencana. Dilema sosial seringkali muncul dalam
pemanfaatan SDA, karena tidak selarasnya tujuan individu (memaksimalkan profit)
dan tujuan masyarakat (mengurangi dampak sosial). Tindakan ekonomi individu
seringkali menimbulkan kerusakan SDA dan memberikan dampak bagi masyarakat.
Pada kondisi alam yang memiliki tingkat vulnerabilitas tinggi seperti
Indonesia, salah satunya karena berada pada ring of fire, tindakan ekonomi
(atau proses-proses antropogenik) ini sering menjadi pemicu bencana yang hebat.
Tidak hanya itu, Gill & Malamud (2017) juga menjelaskan seringnya
bencana-bencana primer yang dipicu oleh proses-proses antropogenik mendorong
timbulnya bencana sekunder dan tersier yang akhirnya menciptakan koneksi
bencana yang semakin kompleks. Laporan dari UNDRR menunjukan tingkat kejadian
bencana di dunia terus menunjukan tren peningkatan terutama yang berkaitan
dengan anthropogenic, terutama
sekali di wilayah Asia. Kondisi ini sangat erat kaitannya dengan tata kelola
SDA serta mitigasi bencana yang belum tepat.
Sementara itu, dampak dari bencana jika dilihat dari
tipologinya, dibagi menjadi kerugian langsung, tidak langsung, dan kerugian
non-fisik. Semua dampak kerusakan dari bencana alam tersebut, jika divaluasi
nilainya secara ekonomi, akan didapat akumulasi nilai yang begitu besar. Dan
itu adalah kerugian yang harus ditanggung oleh society. Untuk itu, penting
sekali bagi kita mengetahui nilai dari SDAL yang kita miliki sehingga bisa
menjadi input dalam perencanaan dan implementasi dalam memanfaatakan SDAL
tersebut. Dalam menilai SDAL, maka tidak bisa kita hanya hanya mengukur
nilai tangible saja,
melainkan harus mempertimbangkan nilai intangible yaitu jasa-jasa
lingkungan, seperti
manfaat hasil hutan sebagai penyedia jasa air, penyerap karbon, menjaga iklim
mikro, dan pencegah erosi, yang justru memiliki nilai yang jauh lebih besar.
Untuk menilai dampak bencana, beberapa teknik yang dapat digunakan, baik yang
menggunakan pendekatan harga pasar (revealed preferences) maupun
pendekatan non-pasar (stated preference) dengan mengukur
willingness to pay untuk mempertahankan suata jasa lingkungan agar terhindar
dari bencana.
Aspek mitigasi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam uraiannya
ia menjelaskan penanggulangan bencana di dunia telah mengalami perubahan
paradigma, yaitu dari responsif menjadi preventif, dari sektoral menjadi
multisektoral, dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab bersama,
dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dan dari tanggap darurat menjadi
pengurangan risiko bencana.
Pengurangan risiko bencana menjadi penting karena beberapa
hal, yaitu: 1) Bencana adalah masalah kompleks (faktor lingkungan hingga
pembangunan), 2 ) Kesiapan secara konvensional perlu, namun saat ini belum
lengkap dan menyeluruh, dan 3) Pemaduan dan pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana dalam pengambilan keputusan dan kegiatan sehari-hari akan membantu
pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, upaya mitigasi yang dapat dilakukan
melalui beberapa cara, yaitu: 1) Edukasi kebencanaan, 2) Adaptasi, dan 3)
Penguatan infrastuktur. Sebagai contoh daerah Sigi yang rawan terhadap
likuifaksi, tidak perlu dilakukan pembangun perumahan, namun bisa dialihkan
pada jenis pembangunan lainya. Tidak hanya itu, pentingnya penerapan mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim melalui strategi Ecosystem Based Adaptation (EbA),
dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan ketahanan serta mengurangi
kerentanan ekosistem dan (sekaligus) manusia dalam menghadapi dampak perubahan
iklim.
Dalam rekomendasi portofolio adaptasi menuju tangguh
bencana, dengan cara menentukan kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi
bencana, serta memiliki adaptasi yang baik atau gagal atau berusaha
merekonstruksi nilai-nilai baru. Berbagai upaya tersebut dapat dicapai dengan
memperkuat nilai-nilai kearifan lokal, merumuskan nilai baru dan informasi
eksternal, serta melakukan rekayasa sosial dan teknologi sebagai bagian dari
upaya rekonstruksi agar kawasan mampu beradaptasi.
Dalam QS Al-Baqarah ayat 155-157, Allah
menyampaikan bahwa salah satu ujian kehidupan manusia di muka bumi adalah
berupa bencana atau musibah. Bencana alam salah satu musibah juga yang bisa
kita alami.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(155)
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (seusngguhnya kami milik Allah
dan sesunnguhnya kami sedang menuju kemabali kepada-Nya) (156) Mereka itulah
yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (157)”
Bencana juga bisa terjadi karena ulah
tangan manusia. Misalnya saja saat kita menebang pohon sembarangan, membuang
sampah atau limbah sembarangan, tidak menjaga keseimbangan alam, hingga
menggunakan bahan-bahan kimia yang merusak alam semesta. Untuk itu, bencana
alam sangat wajar terjadi jika manusia melakukan hal-hal yang merusak. Misalnya
saja banjir, kebakaran hutan, pemanasan global, kekeringan, dsb.
Ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa
bencana bisa terjadi karena ulah tangan manusia adalah dalam dua ayat berikut
ini.
QS: Ar-Rum: 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)”.
QS: As-Syuara: 151-152
“Dan janganlah kamu menaati perintah
orang-orang yang melampaui batas, yaitu mereka yang berbuat kerusakan di muka
bumi dan tidak mengadakan perbaikan.”
Untuk itu, ayat ini memberikan peringatan
kepada kita agar senantiasa menjaga alam. Untuk menjaga alam kita harus
memahami ilmu pengetahuan tentangnya, memahami sunnatullah mengenai hukum-hukum
alam yang telah Allah SWT tetapkan, dan secara konsisten menjalankannya.
Menjaga alam dengan penuh kesadaran bukan hawa nafsu apalagi emosi untuk
berkuasa semata.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 155-157
Al-Qur’an
Surat Al-Rum ayat 41
Al-Qur’an
Surat As-Syuara ayat 151-152
https://grafis.tempo.co/read/2490/169-bencana-alam-selama-20-hari-di-2021
Online diakses tanggal 30 Maret 2021
https://www.mongabay.co.id/2021/01/20/lima-strategi-penanganan-bencana-di-masa-pandemi-covid-19-apa-saja/
Online diakses tanggal 30 Maret 2021
https://www.beritasatu.com/nasional/621143/pentingnya-antisipasi-bencana-alam-di-tengah-pandemi
Online diakses tanggal 30 Maret 2021
https://ugm.ac.id/id/berita/20648-tantangan-penanganan-bencana-di-masa-pandemi-covid-19
Online diakses tanggal 30 Maret 2021
https://dpis.ipb.ac.id/menyoroti-bencana-di-indonesia-dampak-penanggulangan-dan-pencegahan/
Online diakses tanggal 30 Maret 2021
No comments:
Post a Comment