Film Laskar Pelangi dikisahkan pada akhir tahun 70-an, di sebuah Pulau di dekat Pulau Sumatera. Pulau ini kaya akan timah namun menjadi eksploitasi Negara ketika itu. Disana terdapat sekolah Islam pertama dan satu-satunya yang ada di Pulau Belitung, yakni SD Muhammadiyah yang sedang kesulitan untuk membuka kelas baru. Mereka mendapat ultimatum dari Depdikbud Sumatera Selatan agar dapat mengumpulkan minimal 10 siswa pada tahun pelajaran baru agar bisa bertahan. SD Muhammadiyah tertua di daerah Belitung tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN (Perusahaan Negara) Timah tempat sekolah anak-anak orang kaya di daerah Belitung di era itu. Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Cerita
dari sebuah daerah di Belitung, yakni di SD Muhammadiyah. Saat itu menjadi saat
yang menegangkan bagi anak-anak yang ingin bersekolah di SD Muhammadiyah.
Kesembilan murid yakni Ikal, Lintang, Sahara, A Kiong, Syahdan, Mahar, Kucai,
Borek, Trapani tengah gelisah lantaran SD Muhammadiyah akan ditutup jika murid
yang bersekolah tidak genap menjadi 10 siswa. Mereka semua sangat cemas, karena
SD Muhammadiyah merupakan SD Islam tertua di Belitung, sehingga jika ditutup
juga akan kasihan pada keluarga tidak mampu yang ingin menyekolahkan anak-anak
mereka. Di sinilah anak-anak yang kurang beruntung dari segi materi ini berada.
Saat
semua tengah gelisah datanglah Harun, seorang anak yang keterbelakangan mental.
Ia menyelamatkan ke Sembilan temannya yang ingin bersekolah serta menyelamatkan
berdirinya SD Muhammadiyah tersebut. Dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai
dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan
mereka yang luar biasa sampai pada pengalaman cinta pertama Ikal, sampai
pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya
ke sekolah.
Di depan
gedung sekolah, sambil menaruh sepedanya Bu Muslimah heran ketika ia hanya
melihat Bakri yang sedang memeriksa jam tangannya. Suasana sekolah sepi tanpa
ada seorang anak pun. “Ayo masuk kelas!” kata Bu Muslimah kala menemukan murid-muridnya
yang sedang asyik bermain-main di padang rumput dekat sekolah. Padahal, mereka
seharusnya sudah masuk dalam kelas untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Kemudian, dari jarak kejauhan Pak Harfan datang, murid-murid yang sedang
bermain di tanah lapang mendadak berhamburan lari menuju kelas.
Keesokan
harinya, anak-anak Laskar pelangi bersama Bu Muslimah membersihkan ruangan
kelas yang dipenuhi oleh bekas air hujan. Atapnya bocor sehingga air hujan
masuk ke ruang kelas. Mereka juga mengusir tiga ekor kambing dari ruang kelas.
Pak Harfan datang mendekati Bu Muslimah kemudian menyarankan supaya anak-anak
diajak belajar di luar kelas saja sambil Pak Harfan membujuk Bu Mus agar
mengikuti permintaannya. Akhirnya Bu Mus membawa murid-murid belajar di luar
kelas. Sementara Pak Harfan membersihkan ruang kelas dan menutup lobang
dindingnya dengan gambar poster Rhoma Irama. Ia juga mengeringkan kapur tulis
basah di bawah terik matahari. Selain itu, beberapa warga ikut memperbaiki
gedung sekolah yang hamper roboh.
Anak-anak
bermain di padang rumput kemudian ke bebatuan di pantai. Mereka memandangi
keindahan pelangi. Di pelataran sekolah, sambil memperbaiki bangku, Pak Harfan
bercakap-cakap dengan penyumbang dana sekolah. Drs. Zulkarnaen. Keesokan
harinya Bu Mus membuka pembelajaran dengan salam, sementara di SD PN Timah, Pak
Mahmud mengawali pelajaran dengan menjelaskan kepada murid-muridnya materi
berhitung dengan menggunakan kalkulator.
Setelah
kegiatan belajar mengajar selesai, Bakri pamit kepada Pak Harfan dan Bu
Muslimah. Menjelang ujian Bu Muslimah memberitahukan kepada murid-murid
mengenai keputusan tempat dilaksanakannya ujian. Murid-murid langsung merespon
“ndak begitu bu, biasanya kita kan ulangan disini” protes Ikal. Setibanya di
hari pelaksanaan ujian, murid-murid SD PN mengomentari penampilan murid-murid
SD Muhammadiyah yang tanpa seragam dan hanya beralas sandal. Pengawas ujian
juga meremehkan Harun karena bukanya menjawab soal, akan tetapi malah
menggambar kucing pada kertas lembar jawaban. Sekembalinya di SD Muhammadiyah,
Bu Muslimah mengungkapkan ketidaksukaannya atas sikap pengawas kepada Pak
Harfan.
Di musim
libur, anak-anak Laskar Pelangi ikut bekerja. Lintang di pantai dan yang lain
di pasar membantu masing-masing orang tuanya. Terkadang ikut menjadi buruh atau
melaut. Percakapan terjadi antara Flo dan anak-anak Laskar Pelangi, meski
terhijab pagar kawat berduri. Mereka bercakap-cakap mengenai suku Asmat. Flo
juga memberikan majalah yang berisi catatan tentang itu kepada anak Laskar
Pelangi. Melihat kejadian tersebut, satpam komplek perumahan karyawan PN Timah
kemudian mengusir mereka dari kawasan itu.
Masa
libur telah usai, di bawah pohon depan sekolah Pak Harfan menceritakan kisah
Perang Badar kepada murid-murid. “cukup untuk hari ini ya?” kata Pak Harfan
menutup pelajaran. Kapur sudah habis, Bu Mus menyuruh Ikal dan Lintang untuk
membeli kapur tulis di Toko Sinar Harapan.Bakri menghadap kepada Pak Harfan
untuk membicarakan sesuatu karena ada tawaran dari SD Bangka dan akan
meninggalkan SD Muhammadiyah. Air mata Muslimah menetes, ia kemudian lari
meninggalkan ruangan menuju jalan menuju rumah. Sementara itu, di Toko Sinar
Harapan Ikal berseri-seri lantaran menyaksikan tangan A Ling yang sedang
mengulurkan sekotak kapur tulis.
Di
pasar, Bu Muslimah mampir di sebuah toko kain dan bertanya kepada seorang
pembeli karena belanja kain banyak sekali untuk keperluan karnaval 17-an.
Keesokan harinya Bu Muslimah bersama Pak Harfan di depan murid-murid
mengumumkan bahwa tahun ini kita akan mengikuti karnaval. Dan Bu Mus menunjuk
Mahar sebagai ketua karena selalu mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran
kesenian dan Mahar pun menyatakan siap yang lainnya turut setuju.
Sementara
Ikal dengan semangat menyatakan siap untuk menerima tugas membeli kapur ke Manggar
supaya dapat bertemu dengan A Ling yang selalu dipujanya. Ia juga meminta A
Kiong untuk dapat mempertemukannya dengan A Ling, dan akhirnya mereka berdua
pun bertemu di depan kelenteng. Sedangkan Mahar, waktunya dihabiskan
mempersiapkan karnaval dengan selalu mencari inspirasi dari radio dan
bermain-main di alam, baik pohon atau padang rumput. Sementara SD PN
mempersiapkan karnaval dengan latihan memainkan drum band.
Karnaval
dimulai dan SD PN menampilkan drum band. Sementara peserta baru, SD Muhammadiyah
menampilkan tarian tradisional etnik dengan hanya perlengkapan daun dan sebuah
alat musik seperti kendang. Murid-murid Laskar Pelangi memenangkan lomba
karnaval. Mereka merayakan itu dengan girang. Di pasar, Bu Muslimah mendapatkan
pujian dari salah seorang warga dan akan memasukkan anaknya di SD Muhammadiyah
jika SD tersebut kembali menang dalam lomba cerdas cermat.
Flo
pindah sekolah di SD Muhammadiyah, ia suka dengan tarian anggota Laskar Pelangi
saat karnaval. Bu Mus mengungkapkan kekhawatirannya kepada Pak Harfan
“kehadiran Flo merubah sikap anak-anak” kata Bu Mus. “jangan takut dulu lah Mus
yang penting kau temani mereka” ucap Pak Harfan.
Di
kelas, Bu Muslimah menegur murid-murid karena hasil ulangan mereka menurun .
“Mahar, Flo nilai ulangan kalian paling buruk. Apa kalian tidak mau lulus
ujian” Tanya Bu Mus. Kemudian Bu Mus bertamu ke rumah pamannya, Pak Harfan. Ia
bersama Bu Harfan membincang soal kesehatan suaminya. Sementara Lintang melihat
ayahnya yang mengemasi barang-barang untuk pergi melaut. Lintang bermaksud
membantu ayahnya dengan ikut melaut.
Di
pelataran sekolah, murid-murid sedang membincang tentang misi menemukan Tuk
Bayan Tula. Selepas akhir salam dalam sebuah shalat, Mahar membujuk Ikal yang
kebetulan shalat di sebelahnya. Pada malam harinya, mereka kemudian menuju gua
untuk mencari Tuk Bayan Tula. “Tuk Bayan Tula ijinkan kami masuk”, kalimat itu
berulang-ulang diucapkan Mahar, Arai dan teman-teman lainnya yang sedang
mencari Tuk Bayan Tula di gua. Kemudian, terdengar suara auman harimau. Esok
pagi di sekolah. Mahar datang menuju kerumunan teman-teman lainnya. Ia berkata,
“Aku berhasil boy”. Murid-murid menggerombol membaca mantra dari Tuk Bayan Tula
yang dipegang Mahar. Secara bersama-sama mereka membaca mantra itu, “Kalau nak
pintar belajar kalau nak berhasil usaha”. Kata Mahar bersama teman-temannya
yang sedang membaca mantra. Anggota Laskar Pelangi yang termakan ide Mahar
kecewa sambil memaki Mahar sampai terjadi adu mulut. Ikal yang tak jauh dari
kerumunan tersebut mendekat kemudian menengahi perseteruan itu. Ia mengingatkan
“sudahlah! Benar pesan itu, kita lah yang bodoh sampai ke dukun segala”.
Di bawah
pohon dekat gedung sekolah, Ikal menunjukkan sebuah kotak yang diberi oleh A
Ling kepada Lintang. Mereka hanya duduk berdua. Mahar menghampiri mereka berdua
kemudian berucap ”maafkan aku boy”. Mahar beranjak dari duduknya dan
menyanyikan lirik. Kemudian berhenti menepuk pundak Ikal.
Keesokan
harinya, di kelas Ikal, Lintang dan Mahar melihat lemari yang hanya berisi
sebuah piala. Tiba waktunya pulang ke rumah, Bu Muslimah mencari Pak Harfan
sedang dimana. Ia menangis sambil berlari dari gedung sekolah menuju tempat
sepedanya disandarkan. Pak Harfan wafat, rumahnya dipenuhi pelayat. Murid-murid
dan Pak Mahmud juga disana. Sekolah seperti telah lumpuh paska ditinggal wafat
Pak Harfan. Bu Muslimah tidak ke sekolah, hanya ada murid-murid di sekolah
tanpa adanya aktivitas yang jelas. Tidak ada pengumuman apakah sekolah ditutup
atau tidak.
Bu
Muslimah terlihat belum ikhlas dengan kepergian Pak Harfan. Aktivitas mengajar
yang biasanya dijalaninya, ia kini hanya mengisi hari-harinya di rumah
mengenang Pak Harfan. Ia menangis ketika melihat foto bergambar Pak Harfan yang
berdiri bersama ayahnya. Lintang mengisi waktunya dengan bercakap-cakap tanpa
arah dengan temannya. Terkadang ia belajar berhitung bersama A Kiong di rumah.
Ikal diajaknya untuk sesekali menghibur dirinya dengan menonton bioskop.
Lintang tetap menjalani aktivitas seperti biasa menuju sekolah dengan sepeda
tuanya. Meskipun di sekolah tanpa ada kegiatan belajar mengajar. Tidak ada
murid-murid dan juga Bu Mus, hanya ada Ikal dan Lintang mereka kesepian dan
resah.
Lintang
merangkul tangan Ikal sambil mengajaknya menuju suatu tempat. Ikal dan Lintang
pergi ke rumah teman-temannya. Keduanya menjemput dan membujuk agar mau belajar
lagi ke sekolah. Zulkarnaen melihat semangat anak-anak tersebut, ia langsung
menuju rumah Bu Muslimah. Di kelas Lintang menggantikan tugas yang seharusnya
dikerjakan oleh Bu Mus, yakni mengajar. Bu Muslimah tiba-tiba muncul di pintu
kelas. “Bu Mus!? Bu Muss…,” kata Sahara sambil lari menuju Bu Muslimah berdiri.
Sebuah kertas warna berisi tentang pengumuman pendaftaran lomba cerdas cermat
se-Kecamatan Gantong ditempel di papan pengumuman sekolah-sekolah. Di kelas, Bu
Muslimah dan murid-murid mempersiapkan lomba cerdas cermat dengan melatih
Lintang, Ikal dan Mahar.
Keesokan
harinya. Di rumah, ayah Lintang sedang mempersiapkan peralatan untuk melaut.
Lintang melepas kepergian ayahnya menuju pantai. Langit masih gelap karena
matahari belum menampakkan sinarnya. Lintang sendirian mengayuh sepedanya untuk
mengikuti lomba cerdas cermat. Sementara di rumah, ayah Ikal tidak sabar
melihat istrinya yang sedang menggosok pakaian. Di jalan, Lintang menghentikan
kayuhan sepedanya oleh sebab buaya yang menghadang di tengah jalan. Sementara
murid-murid lain sudah menunggu di SD Muhammadiyah. Setelah mereka sampai di
lokasi lomba di SD PN, mereka pun masih khawatir karena Lintang belum nampak.
Sementara peserta dari SD lain sudah siap di kursi perlombaan.
Lima
belas menit lagi lomba akan segera dimulai, namun Lintang belum juga tampak di
ruangan lomba. Lintang masih menunggu buaya pergi. Di SD Muhammadiyah, Pak
Zulkarnaen juga masih menunggu. “Uuuuh…!!!” kata Lintang gerah dengan ulah
buaya yang menghadang di tengah jalan. Sementara di SD PN, acara hampir
dimulai. Suasana semakin mencemaskan. Seorang bernama Bodengga kemudian datang
dan mengusir buaya yang melintang di jalan Lintang menuju sekolah. “Itu
Lintang!!” teriak Sahara ketika melihat Lintang bersama Pak Zul masuk ke ruang
lomba.
Soal
demi soal dibacakan dan berbagai jawaban terlontar. Pembaca soal secara
bergantian memberikan nilai 100 untuk kelompok A dan C. sementara, di papan
skor menunjukkan regu A dan C memiliki skor sama 1700, sedangkan kelompok B
hanya 500. Sejenak suasana hening oleh karena peserta sedang menghitung. Tidak
lama kemudian Lintang memencet bel dan menjawab, “pukul 10 lewat 25 menit”.
“Salah. Regu C dikurangi 100. Pertanyaan dilempar”, kata pembaca soal. Tidak
ada kelompok yang memencet bel ataupun menjawab. “waktu habis. Yang benar pukul
10 lewat 5 menit” kata pembaca soal.
Dari
kerumuhan penonton. Guru SD PN Timah, Pak Mahmud mengacungkan tangan. Ia
menginterupsi juri dan pembaca soal. Lintang memandang Bu Muslimah, kemudian
menuliskan penjelasan atas jawabannya di papan tulis yang disediakan oleh
panitia. ”Maaf kami melakukan kesalahan, jawaban anak ini benar, jadi
pemenangnya adalah dari SD Muhammadiyah Gantong”. Kata juri melihat uraian
Lintang dan mengakhiri perlombaan.
Siang berganti malam. Dua piala menghiasi lemari SD Muhammadiyah. Lintang tidak kunjung muncul di sekolah paska kemenangan itu. Berhari-hari murid-murid di sekolah belajar tanpa Lintang. Suasana sekolah berbeda seolah terasa ada yang hilang. Di rumah Lintang memasak dan merawat adik-adiknya. Di kelas, Bu Mus terdiam duduk di kursi guru menyaksikan muridnya kurang satu. Arai bersama Mahar dan teman lainnya. Di bibir pantai, Lintang memandangi laut, seolah menanti kemungkinan ayahnya kembali. Di hari ke lima, Bu Mus dan murid-murid berencana untuk pergi menemuinya di Tanjong Kelimpang. Datang seorang laki-laki dengan sepucuk surat. Surat di terima Bu Muslimah, di depan teman-temannya surat dibacakan oleh Ikal. Pada esok harinya, Lintang terdiam menyaksikan teman dan gurunya berkumpul di depan sekolah.
Belitong, 1999. Bekas bangunan PN Timah terlihat kosong dan lusuh tanpa penghuni. Seperti dari perantauan, Ikal yang sudah dewasa sedang berada di dalam bus melihat pemandangan alam di sekelilingnya. Ia seolah membayangkan masa kecil yang pernah disimpan di memorinya. “Ikal” kata Lintang keluar dari rumahnya menemui seseorang yang sedang berdiri di depan rumahnya. Keduanya saling berhadapan seolah tidak kenal dan heran. Lama, keduanya tidak bertemu. Percakapan berlanjut di padang rumput di sebelah sebuah gedung sekolah. “Ada sesuatu yang ingin aku perlihatkan kepada kau Kal” kata Lintang. “Itu anakku Kal”, kata Lintang dari luar kaca jendela sambil menunjukkan seorang anak yang sedang menjelaskan sesuatu di dalam kelas.
“Lintang, semangatnya tidak pernah luntur. Semangat yang telah ia tularkan kepadaku. Kini juga pada anaknya”. “tujuan aku pulang, sebenarnya ingin berterima kasih kepada kalian semua. Terutama kepada kau”, kata Ikal. “Aku akan berangkat ke Sorbon, Perancis Kang. Aku dapat beasiswa”. Lanjut Ikal memberi kejutan. “Sorbon, Paris, Prancis” kata Lintang seolah bangga dan heran. Ikal berangkat ke Prancis dengan pesawat terbang. Anak Lintang menerima kiriman kertas bergambar menara Eifel. Kemudian menyerahkan kepada ayahnya, Lintang yang berada di dalam rumah. “Kejar pelangimu sampai ke ujung dunia nak, macam Pak Cik Ikal. Jangan pernah menyerah!” kata Lintang kepada anaknya sambil menunjukkan isi surat itu
No comments:
Post a Comment