Menurut PP No. 72 Tahun 1991 anak tuna grahita
adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata pada
umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan
sekitar. Apriyanto (2014: 14) menyatakan anak tuna grahita dalam kehidupannya
memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif ( bawah rata-rata anak pada
umumnya) dan hambatan dalam perilaku adaptif Akibat dari kondisi seperti itu,
anak tuna grahita mengalami kesulitan belajar secara akademik (bahasa dan aritmatika
atau matematika) dan kesulitan dalam hubungan interpersonal, kesulitan dalam mengurus
diri, kesulitan dalam menilai situasi ketergantungan kepada orang lain,
konflik, dan frustasi, dan belum mendapat perhatian yang memadai (Rahmandhani et
al., 2021).
Bratanata (Efendi 2008: 88) Seseorang
dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki
tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk
meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik,
termasuk dalam program pendidikannya. (Pratiwi, 2013) menyatakan bahwa banyak
sekali istilah yang dikaitkan dengan tunagrahita, antara lain sebagai berikut:
1. Lemah pikiran (feeble minded).
2. Keterbelakangan mental (mentally retarded).
3. Mampu didik (educable). Mampu latih
(trainable).
4. Ketergantungan penuh (totally dependent).
5. Mental subnormal. Defisit mental atau
defisit kognitif.
6. Cacat mental atau defisiensi mental.
7. Gangguan intelektual.
Tunagrahita (seseorang yang memiliki hambatan
kecerdasan) menurut Kustawan, D. (2016) merupakan anak yang memiliki
inteligensi yang signifkan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan
dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Ia juga mengatakan bahwa
anak dengan tunagrahita mempunyai
hambatan akademik yang sedemikian rupa sehingga
dalam layanan pembelajarannya memerlukan
modifikasi kurikulum yang sesuai
dengan kebutuhan khususnya. Masyarakat pada umumnya mengenal tunagrahita sebagai
retardasi mental atau terbelakang mental atau
idiot. Rachmayana, D. (2016) mengemukakakan
bahwa tunagrahita berarti suatu keadaan yang
ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang
berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya
kemampuan untuk menyesuaikan diri
(berperilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia
18 tahun. Ia juga mengatakan bahwa
orang-orang secara mental mengalami keterbelakangan,
memiliki perkembangan kecerdasan
(IQ) yang lebih rendah dan mengalami kesulitan
dalam proses belajar serta adaptasi sosial.
Ada beberapa karakteristik yang dapat dipelajari, Menurut
Astati (Apriyanto, 2014: 34-35) karakteristik anak yang mengalami tunagrahita
yang dapat dipelajari meliputi:
1. Kecerdasan
Kapasitas belajar anak terbelakang sangat terbatas. Terlebih lagi kapasitas
mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote
learning) daripada dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya
kesalahan-kesalahan yang sama. Perkembangan. mentalnya mencapai puncak pada
usia masih muda.
2. Sosial Dalam
pergaulan, mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin dirinya
sendiri. Waktu masih muda harus senantiasa dibantu, setelah dewasa kepentingan
ekonominya bergantung pada orang lain. Mereka mudah terperosok ke dalam tingkah
laku yang tidak baik.
3. Fungsi-fungsi
mental lain Mereka mengalami kesukaran memusatkan perhatian, minatnya sedikit
dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat asosiasi- asosiasi, sukar
membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dan berfikir.
4. Dorongan dan
emosi Anak yang memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan dirinya. Kehidupan
dan penghayatan terbatas.
5. Kepribadian Anak
tuna grahita jarang yang mempunyai kepribadian yang dinamis, menawan,
berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada umumnya mudah goyah.
6. Organisme Baik
struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tuna grahita pada umumnya
kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap. Mereka juga kurang
mampu melihat persamaan dan perbedaan
No comments:
Post a Comment