A. Kepala Sekolah
Sebagai Manajer di Sekolah
Antara
kepemimpinannya dan manajerial tidak dapat dipisahkan. Kepemimpinan akan
menjiwai manajer dalam melaksanakan tugasnya. Tugas kepala sekolah sering
dirumuskan sebagai EMASLIM, artinya educator (pendidikan), manager, administrator,
supervisor, leader (pemimpin), inovator (pencipta), dan motivator (pendorong).
Dalam melaksanakan ketujuh tugas itulah kepemimpinan akan ditetapkan. Dengan
kata lain, kepeminpinan harus terpadu dalam pelaksanaan ketujuh tugas tersebut.
Sejalan
dengan implementasi konsep MBS, maka semakin penting peran kepala sekolah
sebagai manajer (pengelola) Pendidikan disatuan sekolah dalam upaya
meningkatkan mutu sekolah. Sebagai seorang manajer aktifitasnya harus melakukan
manajemen (mengelola) sekolah yang berorientasi pada pencapaian tujuan
pendidikan.
5
Dalam pengelolaan sekolah hendaknya
melalui berbagai kegiatan (aktivitas), sebagaimana dikemukakan oleh A.Tabrani
Rusyan “Pada umumnya kegiatan manajer atau aktivitas manajemen itu adalah : Planing, Organizing, Staffing, Directing dan
Controlling”. (1997 : 20). Sedangkan Dadi Permadi Berpendapat "Prinsip
Prinsip manajemen yang lama dirumuskan dengan POAC (Planning, Organizing,
Actuating dan Controlling). Dalam manajemen yang modern sudah berubah dimana
sebelum membuat perencanaan sebaiknya didahului dengan mengkaji informasi
informasi yang relevan. Dan kedua pendapat di atas pada prinsipnya mempunyai
kesamaan pendapat bahwa dalam rangka pengelolaan sekolah tidak lepas dari
perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan, yang pada manajemen modern
sebelum memulai langkah tersebut perlu mengkaji sumber informasi terutama
relevansinya dengan perubahan perubahan (inovasi).
Oleh
karena itu, peran kepala sekolah sebagai manajer mempunyai tugas dan kewjiban
sebagai berikut
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, sekolah dan pemerintah tentang mutu sekolah;
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat
antar sekolah untuk pencapaian mutu yang diharapkan.
B. Tuntutan Terhadap
Manajer Sekolah
Kepala
sekolah adalah penghubung terpenting dalam jaringan itu untuk memastikan
efektivitas sekolah. Kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki
kualifikasi menduduki jabatan itu. Dalam kenyataannya, banyak diantaranya yang
tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi
kepala sekolah. Karenanya, orang-orang seperti ini telah mencapai puncak
inkompetensinya dan akan tetap disitu sampai pensiun.
Para
kepala sekolah perlu memperoleh persiapan dan pelatihan, untuk mengelola sekolahnya
secara efektif dan ini merupakan kebutuhan yang mendesak di negara sedang
berkembang seperti di Indonesia ini. Hal ini dimaksudkan untuk membantu kepala
sekolah merefleksikan realitas situasi di Indonesia, yang peranannya kepala
sekolah semakin rumit, cara ini dirancang untuk lebih menyadarkan kepala
sekolah tentang perlunya upaya terus menerus untuk mengembangkan diri agar
dapat menjadi kepala sekolah yang efektif. Hal ini perlu ditularkan pada staf
sekolah, agar pengembangan diri ini mengelembaga di sekolah yang bersangkutan.
C. Fungsi Kepala
Sekolah
1. Sebagai administrator, mengelola
adiministrasi sekolah, dalam hal menyusun program tahunan (RAPBS), serta hal
hal yang berkaitan dengan sekolah.
2. Sebagai komunikator. Kepala sekolah
memberikan pengarahan pembinaan para guru.
3. Sebagai motivator. Kepala sekolah
hendaknya dapat membangkitkan dan memelihara kegairahan kerja pada guru, dengan
memberikan gagasan gagasan yang baik bagi penyampaian KBM.
4. Sebagai inovator. Kepala sekolah
hendaknya memiliki prakarsa atau gagasan perbaikan dalam pembaharuan pendidikan
dan mendorong guru untuk melakukan hal yang berkaitan dengan pelajaran.
5. Sebagai fasilitator. Kepala sekolah
harus mampu mengusahakan pengadaan alat/sarana sekolah, seperti meubelair dan
sebagainya.
6. Sebagai dinamisator. Kepala sekolah
harus mampu sebagai pengerak dalam pencapaian tujuan sekolah.
7. Sebagai transformator. Kepala sekolah
sebagai alat penyampai nilai nilai pada gurunya.
8. Sebagai stimulator. Kepala sekolah
harus mampu sebagai perangsang pemicu semangat kerja kepada guru.
9. Kepala sekolah sebagai pelaksana dan
pengemban kurikulum.
10. Kepala sekolah sebagai pembimbing.
Kepala sekolah harus mampu mengembangkan profesi guru.
D. Kepala Sekolah dan
Sistem Kerja
Tanggung
jawab seorang kepala sekolah adalah tercapai hasil sebaik mungkin dengan
mengkoordinasikan sitem kerja pada unit kejanya secara efektif. Suatu sistem,
kerja secara sederhana dapat digambarkan dalam hubungan kondisi proses hasil
sebagai berikut :
Penjelasan
Sistem Kerja Kepala Sekolah
Kondisi:
Semua masukan yang diperlukan sebagai kondisi dalam proses seperti faktor
lingkungan kerja (baik fisik maupun non fisik), diantaranya SDM, ruangan
belajar dan bekerja, peralatan belajar mengajar, struktur organisasi, prosedur,
intruksi, kebijakan pemerintah (kurikulum), hubungan antar pribadi dana suasana
kerja.
Proses
: Semua kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai hasil (keluaran) misalnya
bila sekolah ditinjau sebagai suatu sistem, maka proses disini adalah interaksi
sernua komponen sekolah dalam pembelajaran.
Hasil
: hasil adalah keluaran, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan dari proses
kerja. Misalnya : barang dan jasa tertentu atau laporan mengenal pelaksanaan
pekerjaan. Hasil sekolah sebagai sistem adalah lulusan sekolah.
Balikan
formatif : balikan (feedback) formatif adalah informasi yang digunakan untuk
mempengaruhi kualitas hasil balikan ini mengharuskan adanya perubahan dalam
cara menghasilkan perubahan tertentu, sebagai contoh kepala sekolah meminta
agar guru menggunakan tehnik mengajar tertentu dalam mengajar.
Balikan
motivatif : informasi yang digunakaan untuk mempengaruhi kualititas hasil /
keluaran. Informasi ini untuk meningkatkan kecapatan bekerja misalnya, kepala
sekola memuji seorang guru yang bekerja dengan baik dalam menangani keluhan
orang tua peserta didik.
E. Supervisi Akademik
Supervisi
akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya
mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran Glickman
(1981). Sementara itu, Daresh (1989) menyebutkan bahwa supervisi
akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan
demikian, esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan
profesionalismenya. Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas
dari penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas
dikatakan, bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu
guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran merupakan
salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni,
1987). Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran
sebagai suatu proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian
kegiatan supervisi akademik. Apabila dikatakan bahwa supervisi akademik
merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka
dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru,
sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu dikembangkan dan cara
mengembangkannya.
Sergiovanni
(1987) menegaskan bahwa refleksi praktis penilaian unjuk kerja guru dalam
supervisi akademik adalah melihat realita kondisi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, misalnya: Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas?
Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid di dalam kelas?
Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang
berarti bagi guru dan murid? Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam
mencapai tujuan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara
mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan
diperoleh informasi mengenai kemampuan guru dalam mengelola kegiatan
pembelajaran. Namun satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa setelah
melakukan penilaian unjuk kerja guru tidak berarti selesailah tugas atau
kegiatan supervisi akademik, melainkan harus dilanjutkan dengan perancangan dan
pelaksanaan pengembangan kemampuannya. Dengan demikian, melalui supervisi
akademik guru akan semakin mampu memfasilitasi
belajar bagi murid-muridnya. Alfonso, Firth, dan Neville (1981)
menegaskan “Instructional supervision is here in defined as: behavior
officially designed by the organization that directly affects teacher behavior
in such a way to facilitate pupil learning and achieve the goals of
organization”.
Menurut
Alfonso, Firth, dan Neville, ada tiga konsep pokok (kunci) dalam pengertian
supervisi akademik.
a) Supervisi akademik harus secara langsung mempengaruhi
dan mengembangkan perilaku guru dalam mengelola proses pembelajaran. Inilah
karakteristik esensial supervisi akademik. Sehubungan dengan ini, janganlah
diasumsikan secara sempit, bahwa hanya ada satu cara terbaik yang bisa
diaplikasikan dalam semua kegiatan pengembangan perilaku guru. Tidak ada
satupun perilaku supervisi akademik yang baik dan cocok bagi semua guru
(Glickman, 1981). Tegasnya, tingkat kemampuan, kebutuhan, minat, dan kematangan
profesional serta karakteristik personal guru lainnya harus dijadikan dasar
pertimbangan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program supervisi
akademik (Sergiovanni, 1987 dan Daresh, 1989).
b) Perilaku supervisor dalam membantu guru mengembangkan
kemampuannya harus didesain secara ofisial, sehingga jelas waktu mulai dan
berakhirnya program pengembangan tersebut. Desain tersebut terwujud dalam
bentuk program supervisi akademik yang mengarah pada tujuan tertentu. Oleh
karena supervisi akademik merupakan tanggung jawab bersama antara supervisor
dan guru, maka alangkah baik jika programnya didesain bersama oleh supervisor
dan guru.
c) Tujuan akhir supervisi akademik adalah agar guru
semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya.
Tujuan supervisi akademik adalah
membantu guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran yang
dicanangkan bagi murid-muridnya (Glickman, 1981). Melalui supervisi akademik
diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru semakin meningkat
(Neagley, 1980). Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan
secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan
keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen)
atau kemauan (willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab
dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran
akan meningkat.
Sedangkan menurut Sergiovanni (1987)
ada tiga tujuan supervisi akademik, yaitu:
a)
Supervisi akademik diselenggarakan
dengan maksud membantu guru mengembangkan kemampuannya profesionalnnya dalam
memahami akademik, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya dan
menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.
b)
Supervisi akademik diselenggarakan
dengan maksud untuk memonitor kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kegiatan
memonitor ini bisa dila-kukan melalui kunjungan kepala sekolah ke kelas-kelas
di saat guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya,
maupun dengan sebagian murid-muridnya.
c)
Supervisi akademik diselenggarakan
untuk mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas
mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta mendorong
guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh (commitment)
terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Alfonso, Firth, dan Neville (1981) supervisi
akademik yang baik adalah supervisi yang mampu berfungsi mencapai
multitujuan tersebut di atas. Tidak ada keberhasilan bagi supervisi akademik
jika hanya memerhatikan salah satu tujuan tertentu dengan mengesampingkan
tujuan lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan inilah supervisi akademik
akan berfungsi mengubah perilaku mengajar guru. Pada gilirannya nanti perubahan
perilaku guru ke arah yang lebih berkualitas akan menimbulkan perilaku belajar
murid yang lebih baik. Alfonso, Firth, dan Neville (1981) mengemukakan bahwa
perilaku supervisi akademik secara langsung berhubungan dan berpengaruh
terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui supervisi akademik, supervisor
mempengaruhi perilaku mengajar guru sehingga perilakunya semakin baik dalam
mengelola proses belajar mengajar. Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik
itu akan mempengaruhi perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan
bahwa tujuan akhir supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid
yang lebih baik.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip supervisi
akademik, akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori
supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik.
Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok (team
effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas
dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. Pembahasannya semata-mata
untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu harus
menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan dan guru
sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan, keseluruhan
anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya sebagai prakarsa,
dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor merupakan bagian
darinya. Semua ini merupakan prinsip-prinsip supervisi akademik modern
yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi akademik di
sekolah-sekolah.
Selain tersebut di atas, berikut ini ada beberapa
prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh supervisor dalam
melaksanakan supervisi akademik, yaitu:
a)
Supervisi akademik harus mampu
menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus
diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan
demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara
super- visor dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat,
seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan
penuh humor (Dodd, 1972).
b)
Supervisi akademik harus dilakukan
secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang
hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa
supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan
program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah
berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor,
melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat
problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.
c)
Supervisi akademik harus demokratis.
Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik
tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan kooperatif.
Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab
perbaikan program akademik bukan hanya pada supervisor melainkan juga pada
guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik sebaiknya direncana- kan,
dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif dengan guru, kepala
sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.
d)
Program supervisi akademik harus
integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan
terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan
pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku
administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem
perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso,
dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara
integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan
program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini
diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak
pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).
e)
Supervisi akademik harus
komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek
pengembangan akademik, walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek
tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya.
Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi
akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembangan profesional, dan memotivasi
guru.
f)
Supervisi akademik harus
konstruktif. Supervisi akademik bukanlah sekali-kali untuk mencari
kesalahan-kesalahan guru. Memang dalam proses pelaksanaan supervisi akademik
itu terdapat kegiatan penilaian unjuk kerjan guru, tetapi tujuannya bukan untuk
mencari kesalahan-kesalahannya. Supervisi akademik akan mengembangkan
pertumbuhan dan kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan
problem-problem akademik yang dihadapi.
g)
Supervisi akademik harus obyektif.
Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan program supervisi
akademik harus obyektif. Objektivitas dalam penyusunan program berarti bahwa
program supervisi akademik itu harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata
pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan
program supervisi akademik. Di sinilah letak pentingnya instrumen pengukuran
yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk mengukur seberapa
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.
Para pakar pendidikan telah banyak menegaskan bahwa
seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi yang
memadai. Seseorang tidak akan bisa bekerja secara profesional apabila ia
hanya memenuhi salah satu kompetensi di antara sekian kompetensi yang
dipersyaratkan. Kompetensi tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan dan
motivasi. Betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara
profesional apabila ia tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam
mengerjakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, betapapun tingginya motivasi kerja
seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Supervisi akademik yang baik harus mampu membuat guru
semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi kepribadian,
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Oleh karena itu, supervisi akademik harus menyentuh pada pengembangan seluruh
kompetensi guru. Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus
menjadi perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya,
maupun penilaiannya.
Pertama, apa yang disebut dengan substantive
aspects of professional development (yang selanjutnya akan disebut dengan
aspek substantif). Aspek ini menunjuk pada kompetensi guru yang harus
dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek ini menunjuk pada kompetensi
yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan sokongan terhadap
keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat kompetensi guru yang
harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu
kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial.
Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori
yang dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid
belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga
berkaitan dengan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan
pelajaran pada bidang studi yang diajarkannya.
Kedua, apa yang disebut dengan professional
development competency areas (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek
kompetensi). Aspek ini menunjuk pada luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak
berbeda dengan kasus profesional lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana
mengerjakan (know how to do) tugas-tugasnya. Ia harus memiliki
pengetahuan tentang bagaimana merumuskan tujuan akademik, murid-muridnya,
materi pelajaran, dan teknik akademik. Tetapi, mengetahui dan memahami keempat
aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang guru harus mampu menerapkan pengetahuan
dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia harus bisa mengerjakan (can do).
Selanjutnya, seorang guru harus mau mengerjakan (will do) tugas-tugas
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki oleh seorang guru, apabila ia tidak mau mengerjakan
tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya. Akhirnya seorang guru harus mau
mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya sendiri.
F. Profesionalisme
Guru
Menurut Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa yang disebut Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru sebagai
tenaga profesional harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu
(1) Mempunyai
komitmen terhadap siswa dan proses belajarnya;
(2) Menguasai
mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa;
(3) Bertanggung
jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, dan
(4) Mampu
berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari dari
lingkungan profesinya. (Hasan, 2003:5)
Untuk lebih
mendorong tumbuhnya profesionalisme guru selain apa yang telah diutarakan oleh
Balitbang Diknas, tentunya “penghargaan yang profesional” terhadap profesi guru
masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat
tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam
mendorong tumbuhnya semangat profesionalisme pada diri guru.
Dengan adanya pengembangan profesionalisme guru, maka peranan guru harus lebih
ditingkatkan. Guru tidak hanya disanjung, dihormati, disegani, dikagumi,
diagungkan, tetapi guru harus lebih mengoptimalkan rasa tanggungjawabnya. Peranan
guru sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru menurut Gerstner dkk., peranan guru
tidak hanya sebagai teacher (pengajar), tapi guru harus berperan sebagai:
1. Pelatih (coach), guru yang profesional yang berperan ibarat pelatih olah
raga. Ia lebih banyak membantu siswanya dalam permainan, bedanya permainan itu
adalah belajar (game of learning) sebagai pelatih, guru mendorong siswanya
untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai
prestasi setinggi-tingginya.
2. Konselor,
guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa
hormat dan keakraban dari siswa, menciptakan suasana dimana siswa belajar dalam
kelompok kecil di bawah bimbingan guru.
3. Manajer belajar, guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan, ia
membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, mengeluarkan ide terbaik yang
dimilikinya. Di sisi lain, ia bertindak sebagai bagian dari siswa, ikut belajar
bersama mereka sebagai pelajar, guru juga harus belajar dari teman seprofesi.
Sosok guru itu diibaratkan segala bisa.
Wujud nyata
pemerintah dalam peningkatan kualitas guru salah satunya dengan sertifikasi
guru. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik pada guru.
Sertifikat guru adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan
tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti bahwa bukti formal pengakuan
formalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikat ini diberikan kepada guru yang telah memenuhi standard profesional.
Guru profesional merupakan syarat mutlak ut menciptakan sistem dan praktek yang
berkualitas. Tujuan utama dalam mengikuti sertifikasi bukan untuk mendapatkan
tunjangan profesi melainkan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah
memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam kompetensi guru. Dengan
menyadari hal ini, maka guru tidak akan mencari cara lain guna memperoleh
sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk
menghadapi sertifikasi. Adapun tujuan dari sertifikasi adalah:
a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas
sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.
c. Meningkatkan martabat guru.
d. Meningkatkan profesionalitas guru.
“Guru
yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi
pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan” (Danumihardja, 2001:39).
Namun “untuk menyiapkan guru yang inovatif merupakan kendala yang sangat sulit,
jika dikaitkan dengan sistem kesejahteraan bagi tenaga guru di Indonesia yang
jauh dari memadai (Surya, 2005:5).
Sagala
(2005:210) mengemukakan guru yang profesional harus memiliki sepuluh kompetensi
dasar, yaitu :
1)
Menguasai
landasan-landasan pendidikan
2)
Menguasai bahan
pelajaran
3)
Kemampuan
mengelola program belajar mengajar
4)
Kemampuan
mengelola kelas
5)
Kemampuan
mengelola interaksi belajar mengajar
6)
Menilai hasil
belajar siswa
7)
Kemampuan
mengenal dan menterjemahkan kurikulum
8)
Mengenal fungsi
dan program bimbingan dan penyuluhan
9)
Memahami
prinsip-prinsip dan hasil pengajaran
10)
Mengenal dan
menyelenggarakan administrasi pendidikan
G.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Profesionalisme Guru
Profesionalisme
guru dipengaruhi oleh beberapa faktor dan merupakan permasalahan, yaitu faktor
“kualifikasi standar guru dan relevansi antara bidang keahlian guru dengan
tugas mengajar (Taufik, 2002:244). Gibson et al (1985:51-53) mengemukakan bahwa
“ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi profesional guru , yaitu pertama
variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis individu”.
Cascio
(Sukmadinata, 2004:21) menyatakan bahwa “abilitas dan motivasi merupakan
faktor-faktor yang berinteraksi dengan kinerja, profesionalisme berhubungan
dengan kinerja.” Faktor-faktor yang tidak langsung mempengaruhi kinerja ialah
manusia, modal, metode, produksi, lingkungan organisasi, lingkungan negara,
lingkungan regional dan umpan balik.
Selain
faktor-faktor tersebut di atas yang perlu diperhatikan dan dikuasai guru agar
profesional dan berkinerja tinggi di era informasi, guru juga perlu menguasai
sejumlah standar kompetensi dan penjabaran berbagai sub kompetensi dan
pengalaman belajar yang terkandung dalam kompetensi pedagogik, sosial dan
kepribadian sesuai rumusan yang dihasilkan oleh Asosiasi LPTKI Indonesia tahun
2006. Masalah kualifikasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi
profesionalisme dan kinerja guru untuk menunjukkan profilnya sebagai guru
berkualitas sesuai dengan tuntutan era informasi dalam era globalisasi.
H. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Profesionalisme Guru dilihat dari Perspektif Input-Proses-Ouput
Dari
beberapa faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru dapat
dibedakan/dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu dari perspektif masukan
(input), proses dan perspektif keluaran (output). Yang dimaksud dengan
perspektif masukan adalah hal-hal yang terdapat dalam pribadi guru yaitu
mencakup kualifikasi atau tingkat pendidikan guru, masa kerja, pengalaman
kerja, latihan yang dijalani, penguasaan kompetensi sosial, pedagogik dan
keterampilan. Selain itu ada pula faktor input yang berasal dari lingkungan di
sekitar guru seperti faktor kepemimpinan kepala sekolah, iklim kerja di
sekolah, dukungan dari keluarga, dukungan dari dewan sekolah/komite sekolah,
peserta didik dan masyarakat.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi profesionalisme guru dilihat dari perspektif proses
belajar-mengajar di kelas mencakup faktor-faktor motivasi mengajar dan mendidik
yang tinggi pada diri guru, motivasi dan minat belajar yang tinggi pada diri
peserta didik untuk belajar di sekolah, ketersediaan media dan sumber belajar
di sekolah yang memadai, penguasaan guru dalam aplikasi psikologi pendidikan
dalam proses pembelajaran di kelas, penguasaan guru dalam aplikasi pengetahuan
tentang perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas,
penguasaan guru terhadap landasan pendidikan di kelas, penguasaan guru dalam
aplikasi berbagai metode, strategi pembelajaran yang inovatif di kelas,
penguasaan guru tentang berbagai teori belajar mutakhir yang relevan dalam
pembelajaran di kelas, penguasaan guru terhadap aplikasi metode evaluasi proses
dan hasil pembelajaran yang inovatif, penguasaan guru terhadap aplikasi teori
bimbingan konseling dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik, penguasaan
guru dalam aplikasi teori administrasi pendidikan dalam pembelajaran di kelas,
kemampuan guru menguasai materi pelajaran dan mengelola PBM secara profesional,
kedisiplinan guru dan peserta didik dalam belajar, bekerja dan mengajar di
kelas, kemampuan guru dalam mengkaji metodologi keilmuan bidang studi,
kemampuan guru dalam menguasai struktur dan materi kurikulum, kemampuan guru
mengidentifikasi substansi materi bidang studi sesuai perkembangan dan potensi
peserta didik, kemampuan guru memilih substansi, cakupan dan tata urut materi
pembelajaran secara konstekstual, kemampuan guru menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi dalam pembelajaran secara kontekstual, kemampuan guru
dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas, kemampuan guru dalam
berkomunikasi sosial dengan peserta didik di kelas, dan kemampuan guru dalam
mendesain peningkatan mutu pembelajaran sesuai hasil penelitian tindakan kelas.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi profesionalisme guru dilihat dari perspektif keluaran
(output) yaitu mencakup faktor-faktor profesionalitas dan kinerja lulusan
sekolah di dunia kerja atau di masyarakat, respon dan penghargaan masyarakat
dan dunia kerja terhadap lulusan sekolah, dan perilaku teladan yang ditunjukkan
oleh para lulusan sekolah di dunia kerja dan di masyarakat.
I. Kerangka Pemikiran
Para pakar pendidikan telah banyak menegaskan bahwa
seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi yang
memadai. Seseorang tidak akan bisa bekerja secara profesional apabila ia
hanya memenuhi salah satu kompetensi di antara sekian kompetensi yang
dipersyaratkan. Kompetensi tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan dan
motivasi. Betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara
profesional apabila ia tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam
mengerjakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, betapapun tingginya motivasi kerja
seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Supervisi akademik yang baik harus mampu membuat guru
semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi
kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial. Oleh karena itu, supervisi akademik harus menyentuh pada pengembangan
seluruh kompetensi guru. Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang
harus menjadi perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya,
pelaksanaannya, maupun penilaiannya.
Pertama, apa yang disebut dengan substantive
aspects of professional development (yang selanjutnya akan disebut dengan
aspek substantif). Aspek ini menunjuk pada kompetensi guru yang harus
dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek ini menunjuk pada kompetensi
yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan sokongan terhadap
keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat kompetensi guru yang
harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu kompetensi-kompetensi
kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Aspek substansi pertama dan
kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru
tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar, penciptaan hubungan
guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga berkaitan dengan seberapa luas
pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada bidang studi yang
diajarkannya.
Kedua, apa yang disebut dengan professional
development competency areas (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek
kompetensi). Aspek ini menunjuk pada luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak
berbeda dengan kasus profesional lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana
mengerjakan (know how to do) tugas-tugasnya. Ia harus memiliki
pengetahuan tentang bagaimana merumuskan tujuan akademik, murid-muridnya,
materi pelajaran, dan teknik akademik.
Tetapi, mengetahui dan memahami
keempat aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang guru harus mampu menerapkan
pengetahuan dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia harus bisa mengerjakan (can
do). Selanjutnya, seorang guru harus mau mengerjakan (will do)
tugas-tugas berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru, apabila ia tidak mau mengerjakan
tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya. Akhirnya seorang guru harus mau
mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment