Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Thursday, January 7, 2021

KAJIAN TEORI (Kepala Sekolah Sebagai Manajer di Sekolah)

 


 

 

A. Kepala Sekolah Sebagai Manajer di Sekolah

Antara kepemimpinannya dan manajerial tidak dapat dipisahkan. Kepemimpinan akan menjiwai manajer dalam melaksanakan tugasnya. Tugas kepala sekolah sering dirumuskan sebagai EMASLIM, artinya educator (pendidikan), manager, administrator, supervisor, leader (pemimpin), inovator (pencipta), dan motivator (pendorong). Dalam melaksanakan ketujuh tugas itulah kepemimpinan akan ditetapkan. Dengan kata lain, kepeminpinan harus terpadu dalam pelaksanaan ketujuh tugas tersebut.

Sejalan dengan implementasi konsep MBS, maka semakin penting peran kepala sekolah sebagai manajer (pengelola) Pendidikan disatuan sekolah dalam upaya meningkatkan mutu sekolah. Sebagai seorang manajer aktifitasnya harus melakukan manajemen (mengelola) sekolah yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan.

5

 
Dalam pengelolaan sekolah hendaknya melalui berbagai kegiatan (aktivitas), sebagaimana dikemukakan oleh A.Tabrani Rusyan “Pada umumnya kegiatan manajer atau aktivitas manajemen itu adalah : Planing, Organizing, Staffing, Directing dan Controlling”. (1997 : 20). Sedangkan Dadi Permadi Berpendapat "Prinsip Prinsip manajemen yang lama dirumuskan dengan POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling). Dalam manajemen yang modern sudah berubah dimana sebelum membuat perencanaan sebaiknya didahului dengan mengkaji informasi informasi yang relevan. Dan kedua pendapat di atas pada prinsipnya mempunyai kesamaan pendapat bahwa dalam rangka pengelolaan sekolah tidak lepas dari perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan, yang pada manajemen modern sebelum memulai langkah tersebut perlu mengkaji sumber informasi terutama relevansinya dengan perubahan perubahan (inovasi).

Oleh karena itu, peran kepala sekolah sebagai manajer mempunyai tugas dan kewjiban sebagai berikut

1.     Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;

2.     Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;

3.     Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah dan pemerintah tentang mutu sekolah;

4.     Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu yang diharapkan.

 

B. Tuntutan Terhadap Manajer Sekolah

Kepala sekolah adalah penghubung terpenting dalam jaringan itu untuk memastikan efektivitas sekolah. Kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Dalam kenyataannya, banyak diantaranya yang tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah. Karenanya, orang-orang seperti ini telah mencapai puncak inkompetensinya dan akan tetap disitu sampai pensiun.

Para kepala sekolah perlu memperoleh persiapan dan pelatihan, untuk mengelola sekolahnya secara efektif dan ini merupakan kebutuhan yang mendesak di negara sedang berkembang seperti di Indonesia ini. Hal ini dimaksudkan untuk membantu kepala sekolah merefleksikan realitas situasi di Indonesia, yang peranannya kepala sekolah semakin rumit, cara ini dirancang untuk lebih menyadarkan kepala sekolah tentang perlunya upaya terus menerus untuk mengembangkan diri agar dapat menjadi kepala sekolah yang efektif. Hal ini perlu ditularkan pada staf sekolah, agar pengembangan diri ini mengelembaga di sekolah yang bersangkutan.

 

C. Fungsi Kepala Sekolah

1.       Sebagai administrator, mengelola adiministrasi sekolah, dalam hal menyusun program tahunan (RAPBS), serta hal hal yang berkaitan dengan sekolah.

2.       Sebagai komunikator. Kepala sekolah memberikan pengarahan pembinaan para guru.

3.       Sebagai motivator. Kepala sekolah hendaknya dapat membangkitkan dan memelihara kegairahan kerja pada guru, dengan memberikan gagasan gagasan yang baik bagi penyampaian KBM.

4.       Sebagai inovator. Kepala sekolah hendaknya memiliki prakarsa atau gagasan perbaikan dalam pembaharuan pendidikan dan mendorong guru untuk melakukan hal yang berkaitan dengan pelajaran.

5.       Sebagai fasilitator. Kepala sekolah harus mampu mengusahakan pengadaan alat/sarana sekolah, seperti meubelair dan sebagainya.

6.       Sebagai dinamisator. Kepala sekolah harus mampu sebagai pengerak dalam pencapaian tujuan sekolah.

7.       Sebagai transformator. Kepala sekolah sebagai alat penyampai nilai nilai pada gurunya.

8.       Sebagai stimulator. Kepala sekolah harus mampu sebagai perangsang pemicu semangat kerja kepada guru.

9.       Kepala sekolah sebagai pelaksana dan pengemban kurikulum.

10.    Kepala sekolah sebagai pembimbing. Kepala sekolah harus mampu mengembangkan profesi guru.

 

D. Kepala Sekolah dan Sistem Kerja

Tanggung jawab seorang kepala sekolah adalah tercapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sitem kerja pada unit kejanya secara efektif. Suatu sistem, kerja secara sederhana dapat digambarkan dalam hubungan kondisi proses hasil sebagai berikut :

Penjelasan Sistem Kerja Kepala Sekolah

Kondisi: Semua masukan yang diperlukan sebagai kondisi dalam proses seperti faktor lingkungan kerja (baik fisik maupun non fisik), diantaranya SDM, ruangan belajar dan bekerja, peralatan belajar mengajar, struktur organisasi, prosedur, intruksi, kebijakan pemerintah (kurikulum), hubungan antar pribadi dana suasana kerja.

Proses : Semua kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai hasil (keluaran) misalnya bila sekolah ditinjau sebagai suatu sistem, maka proses disini adalah interaksi sernua komponen sekolah dalam pembelajaran.

Hasil : hasil adalah keluaran, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan dari proses kerja. Misalnya : barang dan jasa tertentu atau laporan mengenal pelaksanaan pekerjaan. Hasil sekolah sebagai sistem adalah lulusan sekolah.

Balikan formatif : balikan (feedback) formatif adalah informasi yang digunakan untuk mempengaruhi kualitas hasil balikan ini mengharuskan adanya perubahan dalam cara menghasilkan perubahan tertentu, sebagai contoh kepala sekolah meminta agar guru menggunakan tehnik mengajar tertentu dalam mengajar.

Balikan motivatif : informasi yang digunakaan untuk mempengaruhi kualititas hasil / keluaran. Informasi ini untuk meningkatkan kecapatan bekerja misalnya, kepala sekola memuji seorang guru yang bekerja dengan baik dalam menangani keluhan orang tua peserta didik.

 

E. Supervisi Akademik

Supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran Glickman (1981).  Sementara itu,  Daresh (1989) menyebutkan bahwa supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian,  esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran sebagai suatu proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi akademik. Apabila dikatakan bahwa supervisi akademik merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu dikembangkan dan cara mengembangkannya.

Sergiovanni (1987) menegaskan bahwa refleksi praktis penilaian unjuk kerja guru dalam supervisi akademik adalah melihat realita kondisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya:  Apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas? Apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid di dalam kelas? Aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang berarti bagi guru dan murid?  Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam mencapai tujuan akademik? Apa kelebihan dan kekurangan guru dan bagaimana cara mengembangkannya?. Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan diperoleh informasi mengenai kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Namun satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa setelah melakukan penilaian unjuk kerja guru tidak berarti selesailah tugas atau kegiatan supervisi akademik, melainkan harus dilanjutkan dengan perancangan dan pelaksanaan pengembangan kemampuannya. Dengan demikian, melalui supervisi akademik guru akan semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya. Alfonso, Firth, dan Neville (1981) menegaskan “Instructional supervision is here in defined as: behavior officially designed by the organization that directly affects teacher behavior in such a way to facilitate pupil learning and achieve the goals of organization”.

Menurut Alfonso, Firth, dan Neville, ada tiga konsep pokok (kunci) dalam pengertian supervisi akademik.

a)     Supervisi akademik harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan perilaku guru dalam mengelola proses pembelajaran. Inilah karakteristik esensial supervisi akademik. Sehubungan dengan ini, janganlah diasumsikan secara sempit, bahwa hanya ada satu cara terbaik yang bisa diaplikasikan dalam semua kegiatan pengembangan perilaku guru. Tidak ada satupun perilaku supervisi akademik yang baik dan cocok bagi semua guru (Glickman, 1981). Tegasnya, tingkat kemampuan, kebutuhan, minat, dan kematangan profesional serta karakteristik personal guru lainnya harus dijadikan dasar pertimbangan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program supervisi akademik (Sergiovanni, 1987 dan Daresh, 1989).

b)     Perilaku supervisor dalam membantu guru mengembangkan kemampuannya harus didesain secara ofisial, sehingga jelas waktu mulai dan berakhirnya program pengembangan tersebut. Desain tersebut terwujud dalam bentuk program supervisi akademik yang mengarah pada tujuan tertentu. Oleh karena supervisi akademik merupakan tanggung jawab bersama antara supervisor dan guru, maka alangkah baik jika programnya didesain bersama oleh supervisor dan guru.

c)     Tujuan akhir supervisi akademik adalah agar guru semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya.

Tujuan supervisi akademik adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan bagi murid-muridnya (Glickman, 1981). Melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru semakin meningkat (Neagley, 1980). Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness) atau motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas pembelajaran akan meningkat.

Sedangkan menurut Sergiovanni (1987) ada tiga tujuan supervisi akademik, yaitu:

a)     Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud membantu guru mengembangkan kemampuannya profesionalnnya dalam memahami akademik, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya dan menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.

b)     Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud untuk memonitor kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kegiatan memonitor ini bisa dila-kukan melalui kunjungan kepala sekolah ke kelas-kelas di saat guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya, maupun dengan sebagian murid-muridnya.

c)     Supervisi akademik diselenggarakan untuk mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh (commitment) terhadap tugas dan tanggung jawabnya.

Menurut Alfonso, Firth, dan Neville (1981) supervisi akademik yang baik adalah supervisi  yang mampu berfungsi mencapai multitujuan tersebut di atas. Tidak ada keberhasilan bagi supervisi akademik jika hanya memerhatikan salah satu tujuan tertentu dengan mengesampingkan tujuan lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan inilah supervisi akademik akan berfungsi mengubah perilaku mengajar guru. Pada gilirannya nanti perubahan perilaku guru ke arah yang lebih berkualitas akan menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik. Alfonso, Firth, dan Neville (1981) mengemukakan bahwa perilaku supervisi akademik secara langsung berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar mengajar. Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan akhir supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid yang lebih baik.

Berkaitan  dengan prinsip-prinsip supervisi akademik, akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik. Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok (team effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. Pembahasannya semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu harus menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan dan guru sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan, keseluruhan anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya sebagai prakarsa, dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor merupakan bagian darinya.  Semua ini merupakan prinsip-prinsip supervisi akademik modern yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi akademik di sekolah-sekolah.

Selain tersebut di atas, berikut ini ada beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan direalisasikan oleh supervisor dalam melaksanakan supervisi akademik, yaitu:

a)     Supervisi akademik harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara super- visor dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat, seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor (Dodd, 1972).

b)     Supervisi akademik harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor, melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.

c)     Supervisi akademik harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan kooperatif. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik sebaiknya direncana- kan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif dengan guru, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.

d)     Program supervisi akademik harus integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso, dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).

e)     Supervisi akademik harus komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan akademik, walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembangan profesional, dan memotivasi guru.

f)      Supervisi akademik harus konstruktif. Supervisi akademik bukanlah sekali-kali untuk mencari kesalahan-kesalahan guru. Memang dalam proses pelaksanaan supervisi akademik itu terdapat kegiatan penilaian unjuk kerjan guru, tetapi tujuannya bukan untuk mencari kesalahan-kesalahannya. Supervisi akademik akan mengembangkan pertumbuhan dan kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan problem-problem akademik yang dihadapi.

g)     Supervisi akademik harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan program supervisi akademik harus obyektif. Objektivitas dalam penyusunan program berarti bahwa program supervisi akademik itu harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan program supervisi akademik. Di sinilah letak pentingnya instrumen pengukuran yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk mengukur seberapa kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.

Para pakar pendidikan telah banyak menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi yang memadai.  Seseorang tidak akan bisa bekerja secara profesional apabila ia hanya memenuhi salah satu kompetensi di antara sekian kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan dan motivasi. Betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, betapapun tingginya motivasi kerja seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.

Supervisi akademik yang baik harus mampu membuat guru semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Oleh karena itu, supervisi akademik harus menyentuh pada pengembangan seluruh kompetensi guru.  Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus menjadi perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya, maupun penilaiannya.

Pertama, apa yang disebut dengan substantive aspects of professional development (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek substantif). Aspek ini menunjuk pada kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek ini menunjuk pada kompetensi yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan sokongan terhadap keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu yaitu kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga berkaitan dengan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada bidang studi yang diajarkannya.

Kedua, apa yang disebut dengan professional development competency areas (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek kompetensi). Aspek ini menunjuk pada luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak berbeda dengan kasus profesional lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana mengerjakan (know how to do) tugas-tugasnya. Ia harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana merumuskan tujuan akademik, murid-muridnya, materi pelajaran, dan teknik akademik. Tetapi, mengetahui dan memahami keempat aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang guru harus mampu menerapkan pengetahuan dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia harus bisa mengerjakan (can do). Selanjutnya, seorang guru harus mau mengerjakan (will do) tugas-tugas berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru, apabila ia tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya. Akhirnya seorang guru harus mau mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya sendiri.

 

F. Profesionalisme Guru

Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa yang disebut Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

            Guru sebagai tenaga profesional harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu

(1)     Mempunyai komitmen terhadap siswa dan proses belajarnya;

(2)     Menguasai mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa;

(3)     Bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, dan

(4)     Mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari dari lingkungan profesinya. (Hasan, 2003:5)

 

Untuk lebih mendorong tumbuhnya profesionalisme guru selain apa yang telah diutarakan oleh Balitbang Diknas, tentunya “penghargaan yang profesional” terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat profesionalisme pada diri guru.
Dengan adanya pengembangan profesionalisme guru, maka peranan guru harus lebih ditingkatkan. Guru tidak hanya disanjung, dihormati, disegani, dikagumi, diagungkan, tetapi guru harus lebih mengoptimalkan rasa tanggungjawabnya. Peranan guru sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru menurut Gerstner dkk., peranan guru tidak hanya sebagai teacher (pengajar), tapi guru harus berperan sebagai:
1. Pelatih (coach), guru yang profesional yang berperan ibarat pelatih olah raga. Ia lebih banyak membantu siswanya dalam permainan, bedanya permainan itu adalah belajar (game of learning) sebagai pelatih, guru mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.

2. Konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa, menciptakan suasana dimana siswa belajar dalam kelompok kecil di bawah bimbingan guru.
3. Manajer belajar, guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan, ia membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, mengeluarkan ide terbaik yang dimilikinya. Di sisi lain, ia bertindak sebagai bagian dari siswa, ikut belajar bersama mereka sebagai pelajar, guru juga harus belajar dari teman seprofesi. Sosok guru itu diibaratkan segala bisa.

Wujud nyata pemerintah dalam peningkatan kualitas guru salah satunya dengan sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik pada guru. Sertifikat guru adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti bahwa bukti formal pengakuan formalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Sertifikat ini diberikan kepada guru yang telah memenuhi standard profesional. Guru profesional merupakan syarat mutlak ut menciptakan sistem dan praktek yang berkualitas. Tujuan utama dalam mengikuti sertifikasi bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi melainkan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam kompetensi guru. Dengan menyadari hal ini, maka guru tidak akan mencari cara lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Adapun tujuan dari sertifikasi adalah:

a.    Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

b.   Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.

c.    Meningkatkan martabat guru.

d.   Meningkatkan profesionalitas guru.

 

“Guru yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan” (Danumihardja, 2001:39). Namun “untuk menyiapkan guru yang inovatif merupakan kendala yang sangat sulit, jika dikaitkan dengan sistem kesejahteraan bagi tenaga guru di Indonesia yang jauh dari memadai (Surya, 2005:5).

Sagala (2005:210) mengemukakan guru yang profesional harus memiliki sepuluh kompetensi dasar, yaitu :

1)     Menguasai landasan-landasan pendidikan

2)     Menguasai bahan pelajaran

3)     Kemampuan mengelola program belajar mengajar

4)     Kemampuan mengelola kelas

5)     Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar

6)     Menilai hasil belajar siswa

7)     Kemampuan mengenal dan menterjemahkan kurikulum

8)     Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan

9)     Memahami prinsip-prinsip dan hasil pengajaran

10) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan

 

G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru

            Profesionalisme guru dipengaruhi oleh beberapa faktor dan merupakan permasalahan, yaitu faktor “kualifikasi standar guru dan relevansi antara bidang keahlian guru dengan tugas mengajar (Taufik, 2002:244). Gibson et al (1985:51-53) mengemukakan bahwa “ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi profesional guru , yaitu pertama variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis individu”.

            Cascio (Sukmadinata, 2004:21) menyatakan bahwa “abilitas dan motivasi merupakan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kinerja, profesionalisme berhubungan dengan kinerja.” Faktor-faktor yang tidak langsung mempengaruhi kinerja ialah manusia, modal, metode, produksi, lingkungan organisasi, lingkungan negara, lingkungan regional dan umpan balik.

            Selain faktor-faktor tersebut di atas yang perlu diperhatikan dan dikuasai guru agar profesional dan berkinerja tinggi di era informasi, guru juga perlu menguasai sejumlah standar kompetensi dan penjabaran berbagai sub kompetensi dan pengalaman belajar yang terkandung dalam kompetensi pedagogik, sosial dan kepribadian sesuai rumusan yang dihasilkan oleh Asosiasi LPTKI Indonesia tahun 2006. Masalah kualifikasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi profesionalisme dan kinerja guru untuk menunjukkan profilnya sebagai guru berkualitas sesuai dengan tuntutan era informasi dalam era globalisasi. 

 

H. Faktor-faktor  Yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru dilihat dari   Perspektif Input-Proses-Ouput

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru dapat dibedakan/dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu dari perspektif masukan (input), proses dan perspektif keluaran (output). Yang dimaksud dengan perspektif masukan adalah hal-hal yang terdapat dalam pribadi guru yaitu mencakup kualifikasi atau tingkat pendidikan guru, masa kerja, pengalaman kerja, latihan yang dijalani, penguasaan kompetensi sosial, pedagogik dan keterampilan. Selain itu ada pula faktor input yang berasal dari lingkungan di sekitar guru seperti faktor kepemimpinan kepala sekolah, iklim kerja di sekolah, dukungan dari keluarga, dukungan dari dewan sekolah/komite sekolah, peserta didik dan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru dilihat dari perspektif proses belajar-mengajar di kelas mencakup faktor-faktor motivasi mengajar dan mendidik yang tinggi pada diri guru, motivasi dan minat belajar yang tinggi pada diri peserta didik untuk belajar di sekolah, ketersediaan media dan sumber belajar di sekolah yang memadai, penguasaan guru dalam aplikasi psikologi pendidikan dalam proses pembelajaran di kelas, penguasaan guru dalam aplikasi pengetahuan tentang perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas, penguasaan guru terhadap landasan pendidikan di kelas, penguasaan guru dalam aplikasi berbagai metode, strategi pembelajaran yang inovatif di kelas, penguasaan guru tentang berbagai teori belajar mutakhir yang relevan dalam pembelajaran di kelas, penguasaan guru terhadap aplikasi metode evaluasi proses dan hasil pembelajaran yang inovatif, penguasaan guru terhadap aplikasi teori bimbingan konseling dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik, penguasaan guru dalam aplikasi teori administrasi pendidikan dalam pembelajaran di kelas, kemampuan guru menguasai materi pelajaran dan mengelola PBM secara profesional, kedisiplinan guru dan peserta didik dalam belajar, bekerja dan mengajar di kelas, kemampuan guru dalam mengkaji metodologi keilmuan bidang studi, kemampuan guru dalam menguasai struktur dan materi kurikulum, kemampuan guru mengidentifikasi substansi materi bidang studi sesuai perkembangan dan potensi peserta didik, kemampuan guru memilih substansi, cakupan dan tata urut materi pembelajaran secara konstekstual, kemampuan guru menggunakan teknologi komunikasi dan informasi dalam pembelajaran secara kontekstual, kemampuan guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas, kemampuan guru dalam berkomunikasi sosial dengan peserta didik di kelas, dan kemampuan guru dalam mendesain peningkatan mutu pembelajaran sesuai hasil penelitian tindakan kelas.

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru dilihat dari perspektif keluaran (output) yaitu mencakup faktor-faktor profesionalitas dan kinerja lulusan sekolah di dunia kerja atau di masyarakat, respon dan penghargaan masyarakat dan dunia kerja terhadap lulusan sekolah, dan perilaku teladan yang ditunjukkan oleh para lulusan sekolah di dunia kerja dan di masyarakat.  

 

I. Kerangka Pemikiran

Para pakar pendidikan telah banyak menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi yang memadai.  Seseorang tidak akan bisa bekerja secara profesional apabila ia hanya memenuhi salah satu kompetensi di antara sekian kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan dan motivasi. Betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Sebaliknya, betapapun tingginya motivasi kerja seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila ia tidak memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengerjakan tugas-tugasnya.

Supervisi akademik yang baik harus mampu membuat guru semakin kompeten, yaitu guru semakin menguasai kompetensi, baik kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Oleh karena itu, supervisi akademik harus menyentuh pada pengembangan seluruh kompetensi guru.  Menurut Neagley (1980) terdapat dua aspek yang harus menjadi perhatian supervisi akademik baik dalam perencanaannya, pelaksanaannya, maupun penilaiannya.

Pertama, apa yang disebut dengan substantive aspects of professional development (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek substantif). Aspek ini menunjuk pada kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik. Aspek ini menunjuk pada kompetensi yang harus dikuasai guru. Penguasaannya merupakan sokongan terhadap keberhasilannya mengelola proses pembelajaran. Ada empat kompetensi guru yang harus dikembangkan melalui supervisi akademik, yaitu kompetensi-kompetensi kepribadian, pedagogik, professional, dan sosial. Aspek substansi pertama dan kedua merepresentasikan nilai, keyakinan, dan teori yang dipegang oleh guru tentang hakikat pengetahuan, bagaimana murid-murid belajar, penciptaan hubungan guru dan murid, dan faktor lainnya. Aspek ketiga berkaitan dengan seberapa luas pengetahuan guru tentang materi atau bahan pelajaran pada bidang studi yang diajarkannya.

Kedua, apa yang disebut dengan professional development competency areas (yang selanjutnya akan disebut dengan aspek kompetensi). Aspek ini menunjuk pada luasnya setiap aspek substansi. Guru tidak berbeda dengan kasus profesional lainnya. Ia harus mengetahui bagaimana mengerjakan (know how to do) tugas-tugasnya. Ia harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana merumuskan tujuan akademik, murid-muridnya, materi pelajaran, dan teknik akademik.

Tetapi, mengetahui dan memahami keempat aspek substansi ini belumlah cukup. Seorang guru harus mampu menerapkan pengetahuan dan pemahamannya. Dengan kata lain, ia harus bisa mengerjakan (can do). Selanjutnya, seorang guru harus mau mengerjakan (will do) tugas-tugas berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Percumalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru, apabila ia tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya. Akhirnya seorang guru harus mau mengembangkan (will grow) kemampuan dirinya sendiri.

 

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts