Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan
pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal dan merupakan sebuah
reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam
peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Terkait padanya antara lain
diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan
aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta
yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal
menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan
kaidah-kaidah hukum.
Problematik yang berhubungan dengan penemuan
hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam
kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk
diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim
itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta
dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh
hakim itu merupakan sumber hukum.
Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya
yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit (das sein) tertentu.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan.
Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari
kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication
function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making
function).
Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari
para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum
perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu
hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum
pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil
analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam
kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama
yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan
perundangan-undangan.
Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum
tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Seorang
ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan
merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan
yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi
semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau
Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum
pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :
1. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang
konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam
masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang
berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya
sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur
semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat
untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
2. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan,
penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan
dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan
sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari
dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang
tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga
didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa :
1. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja
menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum
sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau
pemaknaan.
2. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di
dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak
dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya
perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.
3. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan
perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Istilah “penemuan hukum” oleh beberapa pakar
sering dipermasalahkan, bahwa apakah tidak lebih tepat istilah “pelaksanaan
hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum” atau “penciptaan hukum”. Istilah
“pelaksanaan hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa sengketa atau
pelanggaran. Namun disamping itu pelaksanaan hukum dapat pula terjadi kalau ada
sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula
merupakan penegakan hukum. Adapun istilah “penerapan hukum” tidak lain berarti
menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Dan
istilah “pembentukan hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku
umum, bagi setiap orang.
Sedangkan istilah “penciptaan hukum” terasa
kurang tepat karena memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada,
kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi ada). Hukum bukanlah selalu berupa
kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau
peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya yang harus digali
serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya istilah “penemuan hukum”lah yang
rasanya lebih tepat untuk digunakan.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap
yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukum juga dapat mengadakan penemuan hukum, namun
hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah hukum melainkan ilmu
atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum,
akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh
karena doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam
putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu or doktrin) menjadi hukum.
Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang diberi tugas untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.
Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud
adalah sumber atau tempat, terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber
utama penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah peraturan
perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan (‘urf), yurisprudensi, perjanjian
internasional dan doktrin. Jadi menurutnya terdapat tingkatan-tingkatan,
hierarki atau kewedaan dalam sumber hukum.
Dalam
ajaran penemuan hukum “undang-undang” diprioritaskan atau didahulukan dari
sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti dari sebuah
kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-undang, karena undang-undang
bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum.
Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, namun senantiasa
perlu pula diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik. Apabila
dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuannya atau jawabannya,
maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan (yang tidak tertulis).
Dan kalau hukum kebiasaan ternyata tidak
memberi jawaban, maka dicarilah dalam “yurisprudensi”, yang berarti setiap
putusan hakim, dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara
sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi. Dan
kadang pula yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang
dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.
No comments:
Post a Comment