Beranda

Welcome

Selamat Datang di Blog Sarana Informasi ...... Welcome on this blog...benvenuti nel nostro blog..bienvenue sur notre blog...Willkommen in unserem Blog... bienvenido a nuestro blog...... 블로그에 오신 것을 환영합니다 beullogeue osin geos-eul hwan-yeonghabnida....

Friday, January 19, 2024

MAKALAH DEFINISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT FILSAFAT PERENIALISME

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

 

 

1.1    Latar Belakang

Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang

Filsafat perennialisme merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini filsafat perennialisme dalam filsafat pendidikan.

Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah filsafat perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

Perennialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacauan, ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

 

1.2    Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian filsafat perennialisme?

2.      Bagaimana tujuan pendidikan menurut filsafat perennialisme?

 

1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Filsafat Filsafat Pendidikan Perennialismedengan perumusan masalah di atas adalah :

1.      Menjelaskanpengertian filsafat perennialisme.

2.      Menjelaskan tujuan pendidikan menurut filsafat perennialisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

 

 

2.1    Pengertian Perennialisme

Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal [1].Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah filsafat perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan  untuk pertama kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540[2]. Istilah  tersebut dimasyhurkan oleh Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715  yang menegaskan pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.[3]

Sebagaimana diungkapkan oleh Leibniz filsafat perenial merupakan metafisika yang mengakui realitas ilahi yang substansial bagi dunia benda-benda,  hidup dan pikiran ; merupakan psikologi yang menemukan sesuatu yang sama di  dalam jiwa dan bahkan identik dengan realitas ilahi. Unsur-unsur filsafat perenial  dapat ditemukan pada tradisi bangsa primitif dalam setiap agama dunia dan pada  bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh pada setiap hal dari agama-agama yang lebih tinggi.[4]

Istilah perenial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan, wujud yang absolut,  sumber dari sagala sumber. Kedua, membahas fenomena pluralisme agama secara  kritis dan kontemplatif. Ketiga, berusaha menelusuri akar-akar religiusitas  seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol serta pengalaman keberagamaan.[5]

Ada perbedaan pandangan diantara para tokoh berkenaan dengan awal  kemunculan filsafat perenial. Satu pendapat mengatakan bahwa istilah filsafat  perenial berasal dari Leibniz, karena istilah itu digunakan dalam surat untuk  temannya Remundo tertanggal 26 Agustus 1714, meskipun demikian Leibniz tidak pernah menerapkan istilah tersebut sebagai nama terhadap sistem filsafat siapapun termasuk sistem filsafatnya sendiri.[6]

Kemudian pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial Philosophi.[7] Pandangan lain yang menyangkal pendapat ini telah menunjukkan bukti bahwa jauh sebelum tanggal tersebut Augustino Steucho  (1490-1518) telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul “De Perenni  Philosophia” pada tahun 1540. Buku tersebut merupakan upaya untuk  mensintesiskan antara filsafat, agama, dan sejarah berangkat dari sebuah tradisi  filsafat yang sudah mapan. Karya Steuchus De Perenni Philosophia telah  mempengaruhi banyak orang, antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficino, filsafat  perenial disebutnya sebagai filsafat kuno yang antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang berarti filsafat atau teologi kuno yang terhormat.[8]

Steuco menggunakan istilah perenni untuk menyebut sistemnya sendiri  yang sudah mapan dan kompleks. Dalam konteks ini istilah perenial dapat dipahami dalam dua arti : pertama, sebagai suatu nama dari suatu tradisi filsafat  tertentu, kedua, sebagai sifat yang menunjuk pada filsafat yang memiliki keabadian ajaran, apapun namanya.[9]

Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus  atau Leibniz, agama hindu telah membicarakannya dalam istilah yang disebut  Sanatana Darma. Demikian juga di kalangan kaum Muslim, mereka telah  mengenalnya lewat karya ibnu Miskawaih (932-1030), al-Hikmah al-Khalidah  yang telah begitu panjang lebar membicarakan filsafat perenial. Dalam buku itu,  Miskawaih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang orang suci dan para filosof, termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia Kuno, India, dan Romawi.[10]

Meminjam istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat perennial juga bisa disebut  sebagai tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud  adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek dan percabangannya. Disebut  al-sunnah karena perennial mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral  yang sudah menjadi kebiasan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional.  Disebut al-silsilah karena perennial juga merupakan rantai yang mengaitkan  setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional  kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas dalam dunia tasawuf.  Dengan demikian filsafat perenial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian  mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil.[11]

Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada kebudayaan masa lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya.

Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu (a) perennialisme yang theologis – bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasipada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[12]

 

 

2.2    Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme

Dibidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.

Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itudan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek harus dikembangkan secara seimbang.

Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai ”Usaha mewujutkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.

Prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa[13].

 

2.3    Pandangan-Pandangan Filsafat Perenialisme tentang pendidikan

Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam

kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.

Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut kelompok ini tidak akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan yang ril. Anak dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian adalah bagaimana merealisasikan nilainilai yang diwariskan kepadanya dan jika memunginkan meningkatkan dan menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri.[14]

Perenialisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang dan waktu mestilalah membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena itu tugas pendidikan itu adalah mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana pengetahuan itu termasuk kebenaran. Kebenaran itu sendiri dimana-mana sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu dimana pun mestilah sama, sedangkan anak didik sebagai individu dipandang oleh kelompok ini adalah sebagai makhluk rasional dan spiritual. Secara implisit tentunya juga anak didik adalah makhluk moral dan etik[15]

Kelompok perenialisme misalnya, menyebebutkan pendidikan itu pada dasarnya meningkatkan kualitas manusia sebagai manusia dalam kerangka nilai-nilai kebenaran yang universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan demikian system pendidikan apapun dan di dalam masyarakat manapun mesti mengacu pada nilai-nilai kebenaran universal. Sedemikian rupa anak didik dalam pendidikan dibantu untuk menemukan dan menjalin nilai-nilai universal ini dalam kehidupan mereka.

Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.

b.      Tujuan pendidikan

Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.

c.       Sekolah

Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.

d.      Kurikulum

Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itumateri pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.          

e.       Metode

Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.

f.       Peranan guru dan peserta didik

Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge[16].

 

 


BAB III

PENUTUP

 

 

 

3.1    Kesimpulan

Merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini dua filsafat-filsafat dalam filsafat pendidikan. Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah filsafat perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

Perenialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialsme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan, ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan ini.

 

3.2    Saran

            Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis khususnya.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt Remaja Rosdakarya, 2008

 

Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA, 2009

 

Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010

 

M., Amril. 2002. Etika Islam Telaah Pemikiran Moral Raghib alIsfahani. Pekanbaru: LSFK2P.

 

Muhmidayeli. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Pekanbaru: LSFK2P.

 

Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002

 

Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI AKSARA, 2008

 

http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2016/10/10/filsafat-pendidikan/

http://luphypamali.blogspot.com/2016/10/perenialisme.html

http://kukuhsilautama.wordpress.com/2016/10/10/filsafat-perenialisme-dalam-pendidikan/

http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme

http://dadanggani.blogspot.com/2016/10/filsafat-esensialisme-dalam-filsafat.html

 

 

 



[1] Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI AKSARA, 2008, hal 27

[2] Lihat pengantar Sayyed Hossein Nasr dalam buku Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, Op. Cit  7

[3] Komaruddin dan Nafis, Op. Cit  40

[4] Arqom Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial Perenial : Refleksi Pluralisme Agama Di Indonesia, (Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2006)

[5] Komaruddin  dan Nafis, Op. Cit 40

[6] Ibid, 10

[7] Aldous Huxley, Filsafat Perennial, Terjemah : Ali Nur Zaman, ( Yogyakarta : Qolam,  2001) 4

[8] Komaruddin dan Nafis, Op. Cit.  41

[9] Arqom Kuswanjono, ...Op. Cit 11

[10] Komaruddin dan Nafis, Op. Cit  40

[11] Ibid  42

[12] Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28

[13] http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/

[14] Muhmidayeli, 2005: 180

[15] Amril M., 2005: 26-27

[16] http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/perenialisme.html

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts