BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di
zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang
pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain pendidikan yang ada
sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan
masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui
perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan
zaman dahulu dengan sekarang
Filsafat
perennialisme merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada
dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari
filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan,
dan nilai. Berikut ini filsafat perennialisme dalam filsafat pendidikan.
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau
“lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung
dalam kata itu adalah filsafat perennialisme mengandung kepercayaan filsafat
yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme
lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
suatu yang baru. Perennialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacauan,
ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral,
intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak
beresan ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat perennialisme?
2. Bagaimana tujuan pendidikan menurut
filsafat perennialisme?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Filsafat
Filsafat Pendidikan Perennialismedengan perumusan masalah di atas adalah :
1. Menjelaskanpengertian filsafat perennialisme.
2. Menjelaskan tujuan pendidikan menurut filsafat
perennialisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perennialisme
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau
“lasting for a very long time” – abadi atau kekal [1].Dari
makna yang terkandung dalam kata itu adalah filsafat perennialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Istilah
philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan untuk pertama kalinya di dunia Barat oleh
Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia yang
diterbitkan pada tahun 1540[2].
Istilah tersebut dimasyhurkan oleh
Leibniz dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian jejak-jejak
kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari
yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.[3]
Sebagaimana
diungkapkan oleh Leibniz filsafat perenial merupakan metafisika yang mengakui
realitas ilahi yang substansial bagi dunia benda-benda, hidup dan pikiran ; merupakan psikologi yang
menemukan sesuatu yang sama di dalam
jiwa dan bahkan identik dengan realitas ilahi. Unsur-unsur filsafat
perenial dapat ditemukan pada tradisi
bangsa primitif dalam setiap agama dunia dan pada bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh
pada setiap hal dari agama-agama yang lebih tinggi.[4]
Istilah
perenial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang
dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan, wujud yang absolut, sumber dari sagala sumber. Kedua, membahas
fenomena pluralisme agama secara kritis
dan kontemplatif. Ketiga, berusaha menelusuri akar-akar religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol
serta pengalaman keberagamaan.[5]
Ada
perbedaan pandangan diantara para tokoh berkenaan dengan awal kemunculan filsafat perenial. Satu pendapat
mengatakan bahwa istilah filsafat perenial
berasal dari Leibniz, karena istilah itu digunakan dalam surat untuk temannya Remundo tertanggal 26 Agustus 1714,
meskipun demikian Leibniz tidak pernah menerapkan istilah tersebut sebagai nama
terhadap sistem filsafat siapapun termasuk sistem filsafatnya sendiri.[6]
Kemudian
pada pertengahan abad ini (1948) Adolf Huxley mempopulerkan istilah filsafat
perenial tersebut dengan menulis buku yang diberi judul The Perennial
Philosophi.[7]
Pandangan lain yang menyangkal pendapat ini telah menunjukkan bukti bahwa jauh
sebelum tanggal tersebut Augustino Steucho
(1490-1518) telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul “De
Perenni Philosophia” pada tahun 1540.
Buku tersebut merupakan upaya untuk
mensintesiskan antara filsafat, agama, dan sejarah berangkat dari sebuah
tradisi filsafat yang sudah mapan. Karya
Steuchus De Perenni Philosophia telah
mempengaruhi banyak orang, antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficino,
filsafat perenial disebutnya sebagai
filsafat kuno yang antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang
berarti filsafat atau teologi kuno yang terhormat.[8]
Steuco
menggunakan istilah perenni untuk menyebut sistemnya sendiri yang sudah mapan dan kompleks. Dalam konteks
ini istilah perenial dapat dipahami dalam dua arti : pertama, sebagai suatu
nama dari suatu tradisi filsafat
tertentu, kedua, sebagai sifat yang menunjuk pada filsafat yang memiliki
keabadian ajaran, apapun namanya.[9]
Namun
jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus atau Leibniz, agama hindu telah membicarakannya
dalam istilah yang disebut Sanatana
Darma. Demikian juga di kalangan kaum Muslim, mereka telah mengenalnya lewat karya ibnu Miskawaih
(932-1030), al-Hikmah al-Khalidah yang
telah begitu panjang lebar membicarakan filsafat perenial. Dalam buku itu, Miskawaih banyak membicarakan
pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang orang suci dan para filosof,
termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia Kuno, India, dan Romawi.[10]
Meminjam
istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat perennial juga bisa disebut sebagai tradisi dalam pengertian al-din,
al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud
adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek dan percabangannya.
Disebut al-sunnah karena perennial
mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasan turun-temurun di
kalangan masyarakat tradisional. Disebut
al-silsilah karena perennial juga merupakan rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan
dan pemikiran di dunia tradisional
kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas dalam dunia
tasawuf. Dengan demikian filsafat
perenial adalah tradisi yang bukan dalam pengertian mitologi yang sudah kuno yang hanya berlaku
bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar
riil.[11]
Perennialisme
melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di
berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme
memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive
road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada
kebudayaan masa lampauyang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan
nya.
Asas
yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat
dua, yaitu (a) perennialisme yang theologis – bernaung dibawah supremasi gereja
katolik. Dengan orientasipada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b)
perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[12]
2.2 Prinsip-Prinsip Pendidikan Perennialisme
Dibidang
pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh tokohnya: Plato,
Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang
abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin
bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan
utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan
asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut
Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itudan kepada masyarakat,
agar supaya kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada
dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”.
Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek
harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti
halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh
Thomas Aquinas adalah sebagai ”Usaha mewujutkan kapasitas yang ada dalam
individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru
adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip
pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan
tinggi dan pendidikan orang dewasa[13].
2.3 Pandangan-Pandangan Filsafat Perenialisme tentang
pendidikan
Perenialisme
memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan
kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan
masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan
adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang
kebudayaan ideal tersebut.
Pendidikan
menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain adalah
suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut kelompok ini tidak akan pernah
dapat menjadi situasi kehidupan yang ril. Anak dalam hal ini menyusun rancangan
dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugasnya
kemudian adalah bagaimana merealisasikan nilainilai yang diwariskan kepadanya
dan jika memunginkan meningkatkan dan menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha
sendiri.[14]
Perenialisme
sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari dirinya pada
keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang dan waktu mestilalah
membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena itu tugas pendidikan
itu adalah mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana pengetahuan itu
termasuk kebenaran. Kebenaran itu sendiri dimana-mana sama, sedemikian rupa menjadikan
pendidikan itu dimana pun mestilah sama, sedangkan anak didik sebagai individu
dipandang oleh kelompok ini adalah sebagai makhluk rasional dan spiritual.
Secara implisit tentunya juga anak didik adalah makhluk moral dan etik[15]
Kelompok
perenialisme misalnya, menyebebutkan pendidikan itu pada dasarnya meningkatkan
kualitas manusia sebagai manusia dalam kerangka nilai-nilai kebenaran yang universal,
tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan demikian system pendidikan apapun
dan di dalam masyarakat manapun mesti mengacu pada nilai-nilai kebenaran
universal. Sedemikian rupa anak didik dalam pendidikan dibantu untuk menemukan dan
menjalin nilai-nilai universal ini dalam kehidupan mereka.
Sejalan
dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat
universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan
mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan.
Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”.
Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan
hidup itu sendiri.
b. Tujuan pendidikan
Bagi
perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah
yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan
pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan
menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan
dan kebaikan dalam hidup.
c. Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran
dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah
adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk
terjun kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan
peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan
hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
d. Kurikulum
Kurikulum
pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi
pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itumateri pelajaran
terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab
demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi
adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
e. Metode
Metode
pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah
membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang
tertuang dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
f. Peranan guru dan peserta didik
Peran
guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga
sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru
mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority
(otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang
qualifiet dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas
yang lebih, dan perfect knowladge[16].
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Merupakan
terapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara
kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa
hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini
dua filsafat-filsafat dalam filsafat pendidikan. Perenialisme diambil dari kata
perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English
diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a
very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah
filsafat perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme
lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenialsme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekacawan,
ketikdak pastian dan ketidak teraturan, terutama pada kehidupan moral,
intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak
beresan ini.
3.2 Saran
Keterbatasan informasi dan
ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi sebab adanya
keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis
khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt Remaja
Rosdakarya, 2008
Amsal
Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan PeNA, 2009
Dinn
Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010
M., Amril. 2002.
Etika Islam Telaah Pemikiran Moral Raghib alIsfahani. Pekanbaru: LSFK2P.
Muhmidayeli. 2005.
Filsafat Pendidikan Islam. Pekanbaru: LSFK2P.
Parasetya,
filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
Zuhairini,
dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI AKSARA, 2008
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2016/10/10/filsafat-pendidikan/
http://luphypamali.blogspot.com/2016/10/perenialisme.html
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2016/10/10/filsafat-perenialisme-dalam-pendidikan/
http://sentangperkasa.yolasite.com/blog/pendidikan-menurut-pandangan-perenialisme
http://dadanggani.blogspot.com/2016/10/filsafat-esensialisme-dalam-filsafat.html
[1]
Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): penerbit BUMI
AKSARA, 2008, hal 27
[2]
Lihat pengantar Sayyed Hossein Nasr dalam buku Frithjof Schuon, Islam dan
Filsafat Perenial, Op. Cit 7
[3]
Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 40
[4]
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial Perenial : Refleksi
Pluralisme Agama Di Indonesia, (Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM,
2006)
[5]
Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 40
[6]
Ibid, 10
[7]
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, Terjemah : Ali Nur Zaman, ( Yogyakarta :
Qolam, 2001) 4
[8]
Komaruddin dan Nafis, Op. Cit. 41
[9]
Arqom Kuswanjono, ...Op. Cit 11
[10]
Komaruddin dan Nafis, Op. Cit 40
[11]
Ibid 42
[12]
Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28
[13]
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/
[14]
Muhmidayeli, 2005: 180
[15]
Amril M., 2005: 26-27
[16]
http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/perenialisme.html
No comments:
Post a Comment